Soal Sesat, Benarkah Hanya Tuhan yang Tahu?

Tidak berdasar orang muslim yang mengatakan bahwa manusia tidak berhak mengatakan siapa manusia yang sesat dan siapa tidak sesat

Oleh: Zarnuzi Ghufron*

Hidayatullah.com--"Siapa yang punya otoritas untuk menilai sesat, siapa yang yang tahu faham ini sesat atau tidak, tiada yang berhak untuk menilai sesat kecuali Tuhan".

Kalimat-kalimat seperti ini akhir-akhir ini sering kita dengar, baik di televisi atau di media tulis, diungkapkan oleh orang yang menolak penilaian suatu faham tertentu, seperti Ahmadiyah, Lia Aminudin, dan lainnya sebagai faham yang sesat. Menurut mereka, yang mengetahui sesat atau tidak hanyalah Tuhan. Di antara mereka ada yang mencoba menukil sebuah ayat dari Al-Quran:

"Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang dapat petunjuk." (QS An-Nahl:125)

Bisakah ayat ini dijadikan legitimasi pendapat mereka? Sepertinya kita perlu memperhatikan ayat sebelumnya dan segala hal yang terkait dengan ayat ini untuk mengetahui kejelasan pemahaman ayat ini.

Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad saw ketika berselisih dengan kaum Yahudi dalam menetapkan hari yang diagungkan Allah swt di setiap minggunya untuk dijadikan hari raya dan hari berkumpul bersama untuk beribadah. Sebelumnya, Allah swt telah menetapkan hari Jumat kepada Nabi Ibrahim as., kepada kaum Yahudi lewat lisan Nabi Musa as., dan kepada kaum Nasrani lewat lisan Nabi Isa as. Akan tetapi kaum Yahudi menolak dan memilih hari Sabtu, serta kaum Nasrani menolak dan memilih hari Minggu.

Nabi Muhammad saw mengajak kaum Yahudi untuk kembali mengikuti petunjuk Tuhan dan mereka pun tetap menolak dan memilih dalam kesesatan. Dan Allah swt berkata kepada Nabi Muhammad bahwa Dia yang lebih mengetahui siapa yang berhak Dia beri petunjuk dan siapa yang berhak mendapat kesesatan, dan tugas Nabi hanyalah menunjukan jalan kebenaran yang telah Tuhan berikan agar terhindar dari kesesatan, adapun hidayah adalah hak absolut Tuhan. (lihat:Tafsir Ibnu Katsir, dll)

Dari keterangan ini dapat kita fahami bahwa pemahaman ayat tersebut bukan menunjukan manusia tidak bisa mengetahui siapa yang sesat dan bukan, akan tetapi siapa yang berhak Tuhan beri petunjuk dan Dia sesatkan setelah Dia mengutus para Rasul untuk memberi tahu umat manusia; mana jalan sesat dan mana jalan yang benar.

Menjadi mentahlah argumen orang yang mengatakan, "Manusia tidak berhak menilai tentang sesat atau bukan, karena hanya Tuhan yang tahu," karena Allah swt sendiri telah memberi tahu kepada kita, siapa yang yang menurut Dia sesat atau bukan lewat Rasul yang Dia utus dan Kitab Suci yang Dia turunkan yang berisi firman-firman-Nya.

"Sesungguhnya kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka Sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri". (QS Al-Zumar:41)

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)."(QS.Al-Baqoroh:185)

Orang yang menolak adanya klaim sesat di dunia --karena menurutnya hanya Tuhan yang tahu, sebenarnya memiliki kerancuan di dalam berpikir. Mereka seolah-olah ingin mengagungkan Tuhan, akan tetapi sebenarnya malah sebaliknya. Di sini dapat kita ketahui kerancuan cara berpikir mereka:

Pertama, kita tahu Allah swt akan menempatkan orang yang sesat di dalam neraka, sebagai balasan atas perbuatannya ketika di dunia. Jika dilihat dari cara berpikir mereka, seolah Tuhan tidak bijaksana (Maha Suci Allah dari ketidakbijaksanaan), karena Tuhan menempatkan orang-orang yang menurut Dia sesat di neraka, sedangkan mereka tidak tahu kalau perbuatan mereka selama di dunia adalah sesat, karena hanya Tuhan yang tahu. Jika demikian, sama dengan mengganggap Tuhan berbuat tidak adil (Maha Suci Allah dari ketidakadilan) karena ingin menghukum manusia yang tersesat tanpa memberi tahu apa itu sesat terlebih dahulu, atau dalam bahasa kita, tidak ada sosialisai atau informasi sebelumnya.

Di dalam Al-Quran, penghuni neraka mengeluh karena menyesal tidak mengikuti petunjuk Tuhan ketika mereka hidup di dunia. Hal ini akan berbeda jika kita mengikuti asumsi tentang sesat yang tahu hanya Tuhan, maka keluhan ahli neraka akan berubah menjadi perotes:

" Ya Tuhan...! Kenapa Kau masukan aku ke neraka karena menurutmu aku sesat, kami kan tidak tahu kalau apa yang aku lakukan selama di dunia ternyata sesat, yang tahu kan hanya Engkau. Kenapa Engkau tidak memberi tahu kami, agar kami bisa menjauhinya".

Kedua, seolah Tuhan telah melakukan kesia-siaan (Maha Suci Allah dari kesia-siaan dari apa yang Dia perbuat) di dalam mengutus para Nabi dan menurunkan Kitab Suci kepada hamba-Nya, karena manusia tetap saja tidak mendapat informasi apa itu sesat atau bukan, padahal dengan jelas Dia berfirman di dalam Al-Quran bahwa Dia mengutus para rasul dengan membawa kitab suci untuk menjadi petunjuk bagi manusia.

Ketiga, jika mereka benar-benar tetap mengatakan bahwa hanya Tuhan yang tahu, kenapa mereka tidak mencari informasi dari firman Tuhan itu sendiri (Kitab Suci: Al-Quran) atau lewat para utusan-Nya(Rasul), atau mereka memang tidak mengimani keduanya sebagai sumber dari Tuhan? Lalu dengan petunjuk apa dan siapa mereka dapat mengetahui tentang sesat, sedangkan neraka telah menanti orang-orang yang sesat di dunia, apakah mereka ingin langsung bertanya dengan Tuhan?

Maha suci Allah swt yang Maha Bijaksana, yang telah mengutus Rasul dan menurunkan Kitab Suci sebagai pemberi informasi tentang kebenaran dan kesesatan kepada manusia, sehingga mereka dapat memilih jalan mana yang harus ditempuh dengan segala konsekuensinya.

Dan Maha Adil Allah swt yang tidak akan menyiksa hamba yang tersesat karena Dia belum menurunkan informasi tentang jalan yang benar dan jalan yang sesat, dan Dia yang akan menyiksa setiap orang yang menolak untuk mengikuti petunjuk yang telah Dia berikan kepada umat manusia lewat para Rasul.

"Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah swt), maka sesungguhnya dia telah berbuat untuk (keselamatan) diri sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) diri sendiri, dan seseorang yang berdosa tidak bisa memikul dosa orang lain dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul." (QS.Al- Isro:17)

Itulah kebijaksanaan Tuhan, yang tidak akan meminta pertanggung jawaban kepada hamba-Nya kecuali bagi mereka yang telah diberi tahu tentang tanggung jawab apa yang harus dipikulnya di hadapan-Nya.

Dari sinilah pula kita mengetahui fungsi diutusnya para Rasul dengan membawa Kitab Suci, yang tidak lain adalah untuk memberi petunjuk kepada kita, mana jalan yang sesat yang harus kita jauhi dan mana jalan yang lurus yang harus kita tempuh.

"Dialah (Allah) yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai." (QS Al-Taubah:33)

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah." (QS:Al-Nisa:80)

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahanam, dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS:Al-Nisa:115)

Saya rasa sangat tidak berdasar orang -terlebih jika orang muslim- yang mengatakan bahwa manusia tidak bisa mengetahui; siapa manusia yang sesat dan bukan, karena tidak mau memahami fungsi diturunkannya Kitab Suci dan diutusnya rasul oleh Allah swt. Dan sekarang bukan saatnya lagi untuk mengatakan tidak adanya informasi tentang hal ini, karena Rasul telah diutus, firman Tuhan telah diturunkan, yang tertuang dalam kitab suci dan pewaris para nabi (ulama) sangat banyak untuk kita jadikan tempat bertanya tentang agama.

"(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah swt sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah swt Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." QS: Al-Nisa:165)

"Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi ingkar/kafir, padahal ayat-ayat Allah swt dibacakan kepada kamu, dan rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah swt, maka sesungguhnya ia Telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus."( QS: Ali Imron:101)

Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya mereka para ulama adalah pewaris para nabi." (HR.Bukhori)

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak mengetahui." (Al-Nahl : 43)

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan apa dan siapa yang sesat, karena sangat banyaknya kriteria sesat yang tertulis di dalam Al-Quran dan As-Sunah. Tulisan ini hanya bertujuan memberi informasi bahwa informasi tentang sesat itu terdapat di dalam dua kitab tersebut. Dan bukan saatnya lagi untuk mengatakan bahwa yang tahu hanya Tuhan dan kita tidak ada yang tahu, karena Tuhan sendiri telah memberi tahu kita lewat Al-Quran dan Sunah rasul-Nya, dan kita pun bisa mengetahui. Walaupun kita tidak mengingkari bahwa Tuhan lebih mengetahui, akan tetapi informasi yang telah Tuhan berikan sudah sangat mencukupi untuk dijadikan petunjuk.

Sekarang tinggal diri kita, mau atau tidak untuk memanfaatkan kedua sumber informasi tersebut. Bagi yang belum mampu memahami isi kedua kitab tersebut dengan baik, lebih baik bertanya kepada ulama yang berkompeten di bidangnya atau mengikuti fatwa-fatwa mereka agar terhindar dari kesalahfahaman.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Sariah Universitas Al Ahqoff, Hadramaut,Yaman

Mantan Komandan Densus 88 Tuding Al Qaeda Terlibat

TAFSIR SURAT AL-’ASHR (MURTADHA MUTHAHHARI)

TAFSIR SURAT AL-’ASHR
Menurut MURTADHA MUTHAHHARI Dalam
DURUS FIL QUR’ANIL KARIM

Menurut Ibnu Katsir, surat Al-’Ashr merupakan surat yang sangat populer di kalangan para sahabat. Setiap kali para sahabat mengakhiri suatu pertemuan, mereka menutupnya dengan surat Al-’Ashr.

Imam Syafi’I dan juga Tafsir Mizan menyatakan bahwa walaupun surat Al-’Ashr pendek, tapi ia menghimpun hampir seluruh isi Al-Qur’an. Kalau Al-Qur’an tidak diturunkan seluruhnya dan yang turun itu hanya surat Al-’Ashr saja, maka itu sudah cukup untuk menjadi pedoman umat manusia.

Thabathaba’i menyebutkan, “Surat ini menghimpun seluruh pengetahuan Qur’ani. Surat ini menghimpun seluruh maksud Al-Qur’an dengan kalimat-kalimat yang indah dan singkat. Surat ini mengandung ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah, meskipun surat ini lebih tampak sebagai surat Makkiyah.”

Di zaman Rasulullah ada seorang Nabi palsu, Musailamah Al-Kadzab, yang menyaingi Rasulullah dengan mendakwakan dirinya sebagai Nabi. Musailamah Al-Kadzab bersahabat dengan ‘Amr bin Ash, salah satu sahabat Nabi yang termasuk terakhir dalam memeluk Islam. Ketika surat ini turun, ‘Amr bin Ash belum masuk Islam, tetapi ia sudah mendengarnya. Ketika ia berjumpa dengan Musailamah Al-Kadzab, Musailamah bertanya tentang surat ini: “Surat apa yang turun kepada sahabatmu di Mekah itu?” ’Amr bin Ash menjawab, “Turun surat dengan tiga ayat yang begitu singkat, tetapi dengan makna yang begitu luas.” “Coba bacakan kepadaku surat itu!” Kemudian surat Al-’Ashr ini dibacakan oleh ‘Amr bin Ash. Musailamah merenung sejenak, ia berkata, “Persis kepadaku juga turun surat seperti itu.” ‘Amr bin Ash bertanya, “Apa isi surat itu?” Musailamah menjawab: “Ya wabr, ya wabr. Innaka udzunani wa shadr. Wa sãiruka hafrun naqr. Hai kelinci, hai kelinci. Kau punya dada yang menonjol dan dua telinga. Dan di sekitarmu ada lubang bekas galian.” Mendengar itu ‘Amr bin Ash, yang masih kafir, tertawa terbahak-bahak, “Demi Allah, engkau tahu bahwa aku sebetulnya tahu bahwa yang kamu omongkan itu adalah dusta.”

Jika Imam Syafi’i berkata bahwa seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka surat Al-’Ashr ini sudah cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia. Maka dengan demikian kita pun bisa berkata, “Seandainya seluruh ayat Al-Qur’an tidak turun, maka ucapan Musailamah itu sudah cukup untuk membingungkan orang. Karena tidak mempunyai kandungan apa-apa di dalamnya.”

Dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah. Allah bersumpah dengan benda-benda, misalnya Wasy Syamsi. Demi Matahari (QS. Al-Syams 1). Allah bersumpah dengan waktu, misalnya Wadh Dhuhâ. Demi waktu dhuha. Wallaili idzâ sajâ. Demi malam apabila mulai gelap (QS. Al-Dhuha 1-2). Allah juga bersumpah dengan jiwa: Wanafsiw wa mâ sawwâhâ. Demi jiwa dan yang menyempurna-kannya (QS. Al-Syams 7). Namun, Allah paling sering bersumpah dengan waktu: Lâ uqsimu bi yaumil qiyâmah. Kami bersumpah dengan hari kiamat. (QS. Al-Qiyamah 1), Wallaili idzâ yaghsyâ, wannahâri idzâ tajallâ. Demi malam apabila gelap dan demi siang apabila terang benderang (QS. Al-Lail 1-2). Dalam surat Al-’Ashr ini Allah bersumpah dengan waktu: Wal-’Ashr.

Ada perbedaan di antara para ahli tafsir dalam mengartikan ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa ‘Ashr itu adalah waktu ashar, sebaliknya dari waktu dhuha. Waktu dhuha ialah seperempat waktu yang pertama sedangkan waktu ashar adalah seperempat waktu yang terakhir. Sebagian lagi ber-pendapat bahwa ‘Ashr di situ berarti masa, misalnya ‘Ashrush shahãbah (masa sahabat), ‘Ashrur rasul (masa Rasul). Al-’Ashr dalam Bahasa Arab biasanya dipakai untuk menunjukkan babakan atau periodisasi, misalnya ‘Ashrul hadid yang berarti zaman besi di dalam sejarah.

Menurut sebagian besar mufasir, Wal-’Ashr itu menunjukkan zaman Rasul. Allah bersumpah dengan zaman Rasul. Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa sebetulnya zaman itu, seperti juga makan (tempat), tidak ada yang baik atau jelek. Tidak ada waktu yang mulia atau waktu yang hina. Tidak ada tempat yang suci dan tidak ada pula tempat yang kotor. Seluruh waktu sama derajatnya dan seluruh tempat juga sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu waktu mempunyai nilai lebih tinggi dari waktu yang lain? Hal itu karena adanya peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi lebih mulia dari tempat yang lainnya bukan karena tempatnya itu, melainkan karena tempat itu berkaitan dengan suatu kejadian atau peristiwa.

Jika Rasulullah saw tidak turun di Mekah atau Ibrahim as tidak membangun Ka’bah di situ, maka kota Mekah itu sama nilainya dengan kota-kota lain. Mekah itu menjadi mulia karena di situ ada peristiwa besar. Waktu-waktu dalam hidup kita sama semuanya, tetapi ada waktu-waktu tertentu dalam sejarah hidup kita yang punya nilai lebih tinggi. Kita menghormati waktu tersebut, karena di dalamnya berkenaan dengan peristiwa yang sangat penting yang terjadi dalam hidup kita. Ada orang yang menganggap hari pernikahan-nya adalah hari yang sangat penting. Sehingga apabila ia melihat tanggal tersebut pada kalender, ia tersentak karena ingat bahwa tanggal itu ialah tanggal yang historis.

Mengapa kita suka memperingati hari-hari tertentu? Itu bukan karena keistimewaan harinya, tetapi karena ada peristiwa pada hari itu. Hal ini kita anggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. Meskipun ada sebagian orang yang membid’ahkan peringatan hari-hari tertentu, misalnya peringatan Hari Kelahiran Nabi. Hari itu menjadi mulia karena hari itu lahir seorang Rasul yang menjadi rahmatan lil ‘ãlamin. Sebagian orang itu mengkritik peringatan maulid Nabi, walaupun ia tidak mengkritik hari maulidnya sendiri. Orang itu mengkritik hari lahir Nabi, tapi tidak mengkritik hari lahir organisasinya. Bukankah kita sering menemukan apa yang kita sebut nostalgia? Ketika orang kembali ke tempat-tempat tertentu hanya sekedar mengenang kembali peristiwa masa lalu, karena tempat itu punya makna yang tersendiri buat dirinya. Jadi, dalam hal ini makna waktu dan makna tempat itu bersifat nisbi atau relatif (bergantung pada orangnya).

Oleh karena itu, ada hari-hari yang penting buat umat Islam, tetapi tidak penting menurut umat yang lain. Ada zaman-zaman tertentu yang begitu penting menurut kelompok Islam tertentu, tetapi tidak begitu penting bagi kelompok Islam yang lain. Bagi Ahlu Sunnah misalnya, ‘Ashrush shahãbah (zaman sahabat) adalah zaman yang penting. Ke zaman itulah Ahlu Sunnah merujuk.

Surat ini diawali dengan kata Wal-’Ashr, demi masa (Rasulullah). Masa Rasulullah dianggap seluruh mazhab sebagai masa yang paling penting. Dikarenakan masa itu ialah ‘Ashrut tasyri’ (masa ditetapkannya syari’at), masa diturunkannya Al-Qur’an, dan masa dikembangkannya agama Islam. Selanjutnya Thabathaba’i menyatakan, “Inilah masa terbitnya Islam di tengah-tengah masyarakat manusia dan masa munculnya kebenaran di atas kebatilan.”

Ayat kedua menyebutkan Innal insãna lafi khusr yang artinya: sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kata insan, menurut Muthahhari, mengandung penafsir-an bahwa di dalam manusia itu ada dua sifat, yaitu sifat Hayawaniyah dan sifat Insaniyah (sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat kemanusiaan). Manusia dalam sifat kebinatangannya sama dengan binatang yang lain, misalnya ingin makan, minum, menghindari hal yang menyakitkan, dan ingin memperoleh kenikmatan dalam hidup. Muthahhari membedakan antara istilah kenikmatan dan kebahagiaan (pleasure dan happiness). Binatang itu tidak pernah memiliki happiness, tetapi memiliki pleasure. Dari segi ini, kita pun sama halnya dengan binatang. Kalau Anda makan yang enak, Anda belum tentu bahagia, tetapi pasti Anda memperoleh pleasure (kenikmatan). Tapi misalnya jika Anda adalah seorang suami yang pergi jauh merantau dan pulang ke tanah air setelah sekian tahun, ketika Anda turun dari pesawat ke lapangan terbang, di seberang sana Anda melihat isteri dan anak Anda. Anda akan berlari dan mencium anak isteri Anda. Saat itu Anda bukan hanya merasakan pleasure, tetapi juga happiness.

Jadi apa yang membedakan kebahagiaan dengan kenikmatan? Kenikmat-an itu sifatnya hayawaniyah sedangkan kebahagiaan bersifat insaniyah.

Pada segi-segi kebinatangan, kita sama dengan mahluk-mahluk yang lain. Bahkan bila dibandingkan dengan mahluk yang lain, dalam segi jasmaniah kita adalah mahluk yang lemah, “ Wa khuliqal Insânu dha’îfâ” (QS An-Nisa 28). Manusia itu dicipta-kan dalam keadaan lemah. Manusia dan binatang ketika keluar dari perut ibunya sudah siap segala sesuatunya secara fisik. Namun, binatang ketika keluar dari perut ibunya, ia sudah berkembang hampir sempurna. Ia tidak memerlukan perkembang-an yang lain kecuali perkembangan fisik. Malah dalam perkembangan fisik, binatang itu lebih cepat berkembang dan lebih kuat daripada manusia. Anak ayam, misalnya, yang baru menetas dari telur, beberapa menit kemudian sudah bisa berjalan dan berlari.

Manusia tidak demikian -kecuali Gatotkaca dalam cerita pewayangan. Walau manusia itu sudah bisa berjalan, ia belum dikatakan sebagai manusia, tetapi calon manusia. Kucing itu “menjadi kucing” karena “dibuat menjadi kucing”, tetapi manusia “tidak dibuat menjadi manusia” atau tidak otomatis menjadi manusia. Manusia harus membuat dirinya menjadi manusia. “Kekucingan atau kebinatangan” itu dibuat oleh Allah sedang-kan manusia menjadikan “kemanusiaannya” oleh dirinya sendiri. Apakah manusia itu mau menjadi manusia atau tidak, bergantung kepada dirinya sendiri. Binatang memiliki sifat-sifat kebinatangannya itu tidak melalui proses belajar, tidak melalui proses perkembangan kepribadian. Kalau kucing menangkap tikus atau perilaku-perilaku lain seperti layaknya binatang, itu sudah dibuat untuk dapat berperilaku seperti itu. Tetapi manusia harus belajar untuk mengembang-kan sifat-sifat kemanusiaannya. Ia harus meningkatkan dirinya dari sifat hayawaniyah kepada sifat insaniyah. Ketika Allah menyatakan innal insãna lafi khusr, maksudnya ialah bahwa manusia itu berbeda dengan binatang yang bisa memperoleh kebinatangannya tanpa melalui proses usaha. Manusia berada dalam kerugian, karena kita harus mengembangkan sifat-sifat kemanusia-an, dengan keinginan kita sendiri.

Apa yang bisa mengembangkan sifat-sifat kemanusiaan itu ?

Kalau kita membandingkan binatang yang satu dengan yang lain yang sejenis, kita hanya bisa membedakan dalam segi jasmaniah. Antara kambing yang satu dengan kambing yang lain tidak begitu berbeda nilainya. Paling-paling hanya berbeda beberapa kilogram saja. Namun manusia yang satu dengan manusia yang lain nilainya bukan beberapa kilogram, nilainya kadang-kadang jauh seperti jauhnya langit dan bumi. Misalnya Abu Jahal dengan Rasulullah. Dari segi hayawaniyah, kedua manusia itu nilainya sama -mungkin lebih tinggi Abu Jahal beberapa kilogram- tetapi dari segi insaniyah, nilai Abu Jahal itu jauh lebih rendah daripada nilai Rasulullah saw.

Apa yang membedakan nilai seorang manusia yang satu dari manusia yang lain? Yang membedakannya adalah sejauh mana setiap orang mengembangkan nilai kemanusiaannya. Apa yang bisa mengem-bangkan nilai kita sebagai manusia? Illalladzîna ãmanu wa ’amilush shãlihat. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. (Al-’Ashr 3). Jadi, ada dua hal yang mengembangkan nilai kemanusiaan, pertama iman dan kedua amal saleh.

Mengapa iman? Binatang memiliki persepsi material. Jika ia mengejar kenikmatan, itu kenikmatan jasmaniah. Oleh karena itu, ia tidak punya happiness. Yang disebut kebahagiaan itu bukan yang bersifat jasmani, tetapi bersifat ruhani. Bisa jadi ada orang lapar, tetapi ia bahagia. Ada pula orang yang bergelimang dalam kenikmatan, tetapi ia tidak bahagia. Dengan imanlah manusia dapat meningkatkan derajat hayawaniyah-nya ke derajat insaniyah, dari pleasure kepada happiness. Imanlah yang dapat menghubung-kan manusia dengan sifat-sifat ruhaniah atau spiritual. Karena itu, manusia tanpa iman sama dengan binatang, nilainya sangat rendah. Ia menjadi orang-orang yang mengejar pleasure bukan mengejar happiness. Manusia yang kosong dari iman adalah manusia dalam pengertian majãzi saja dan pada hakekatnya ia adalah binatang.

Kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebahagiaan yang sangat tinggi. Misalnya ketika Rasulullah berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, marilah kita tenteramkan hati kita dengan shalat.” Rasul juga berkata, “Allah jadikan shalat itu sebagai penyejuk batinku.” Al-Qur’an melukiskan orang-orang seperti itu dengan “Qad aflaha man zakkâhâ. Sungguh berbahagia orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-Syams 9). Rasulullah pun bersabda mengenai kebahagiaan orang yang berpuasa, “Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: ketika berbuka dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya.” Kebahagiaan ketika berbuka bukan karena ia mendapat makanan setelah dilaparkan. Jika demikian, apa bedanya dengan binatang yang setelah dilaparkan lalu diberi makan. Kebahagiaan di situ karena ia telah menyelesaikan puasa hari itu dengan baik. Kalau orang-orang yang berpuasa pada malam Idul Fitri meneteskan air matanya ketika mendengar bunyi takbir, itu bukan kenikmatan tetapi kebahagiaan. Karena ia telah menyelesaikan satu bulan penuh dengan keberhasilan dalam melakukan puasanya.

Kemudian yang dapat meningkatkan nilai insaniyah kita adalah a’mãlush shãlihat (amal saleh). Jadi nilai seorang manusia itu diukur dari iman dan amal salehnya. Dalam Al-Qur’an dinyatakan: Wa likullin darajâtum mim mâ ‘amilû. Untuk setiap orang, derajat yang sesuai dengan amalnya (QS Al- An’am 132). Kalau Rasulullah diukur dari segi hayawaniyah-nya, maka beliau tergolong orang yang tidak sukses. Siti A’isyah berkata bahwa Rasulullah itu pernah berhari-hari tidak menemukan sesuatu untuk dimakan.

Menurut Muthahhari, amal saleh itu memiliki dua ciri. Pertama, ciri asli. Sesuatu disebut amal saleh karena memang pada zatnya sudah merupakan amal saleh. Misalnya shalat, zakat, dan berbuat baik kepada orang lain. Kedua, ciri amal saleh diukur berdasarkan hubungan dengan pelakunya. Misalnya shalat bisa hukumnya wajib, sunat, malah bisa haram tergantung pada pelakunya. Contohnya seseorang shalat karena ingin dianggap hebat dan ingin dipuji. Nilai orang itu bisa jatuh dari amal saleh menjadi amal yang jelek. Dalam sebuah hadits dinyatakan bahwa apabila seseorang meminjam dengan niat untuk tidak mengem-balikannya, maka Allah menilainya sebagai pencuri. Bila seseorang ketika mengucapkan ijab kabul dan dalam hatinya berniat untuk tidak membayar mas kawinnya, maka Allah menilainya sebagai pezina. Jadi perilakunya sama, tetapi karena berhubungan dengan pelakunya, maka nilainya bisa berubah.

Muthahhari mengatakan bahwa apabila seseorang menagih utang dan orang yang berutang itu mau shalat dan mengata-kan: “Nanti utang saya bayar setelah saya shalat”, maka Muthahhari menyatakan bahwa shalatnya bukan amal saleh. Mengapa? Karena orang itu ingin segera utangnya dibayar, sementara waktu shalatnya masih ada. Maka dalam hal itu, dahulukanlah membayar utang daripada melakukan shalat. Contoh lain misalnya suatu waktu kita akan pergi shalat Jum’at, lalu kita melihat orang yang tertabrak. Kalau kita tidak menolong dan malah terus pergi shalat, maka shalat Jum’at pada saat itu bukan amal saleh. Dalam hal ini kita harus menolong orang yang tertabrak itu dengan mengantarkannya ke rumah sakit. Karena jika kita tidak sempat shalat Jum’at, shalat Jum’at itu bisa kita ganti dengan shalat Dzuhur.

Di sini Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan daripada nilai-nilai individual. Lalu ada orang bertanya, “Bukan-kah hak Allah itu yang harus didahulukan daripada hak terhadap sesama?” Muthahhari menyatakan bahwa orang-orang yang bertanya semacam itu adalah orang-orang yang berpikiran sempit. Dia mengira bahwa hak Allah itu hanya shalat saja, padahal hak Allah juga adalah untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan di dalam waktu yang segera. Jadi amal saleh itu bukan hanya harus sesuai dengan syari’at, tapi juga harus layak dengan pelakunya.

Muthahhari memberi contoh lebih jauh. Misalnya, ada tiga orang yang setelah dicek secara psikologis, yang satu punya bakat sastra, yang kedua berbakat teknik dan yang ketiga berbakat musik. Misalnya orang yang berbakat sastra dia tidak mau masuk jurusan sastra –karena sulit cari kerja- lalu dia memilih teknik, maka memilih teknik bagi orang itu bukan amal saleh; karena tidak sesuai dengan predisposisinya (memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan dirinya).

Sekarang ini dikembangkan sebuah alat ukur. Banyak ditemukan bahwa orang-orang cerdas yang ber-IQ tinggi, hidupnya gagal. Di Amerika hal itu sering terjadi. Para psikolog heran, mestinya orang-orang yang cerdas itu dalam hidupnya berhasil, tetapi ternyata banyak yang gagal. Persentase orang yang bunuh diri bahkan banyak dilakukan oleh orang-orang yang ber-IQ tinggi. Persentase pengidap sakit jiwa juga didominasi oleh orang-orang yang kecerdasannya tinggi. Setelah mereka selidiki, ternyata bahwa kita salah mengukur kecerdasan itu. Kita harus mengukur bukan hanya IQ, tetapi juga harus mengembangkan emotional intelegence. Intelegensi emosional ialah kemampuan mengendalikan dirinya atau kemampuan mengendalikan emosinya. Ternyata yang lebih mendorong orang sukses dalam hidup bukan IQ, tetapi emotional intelegence.

Puasa itu bukan melatih IQ, boleh jadi IQ kita ketika berpuasa malah menurun. Tetapi intelegensi emosional kita yang mungkin meningkat kalau kita berpuasa dengan benar. Iman dan amal saleh adalah dua hal yang mengembangkan sifat insaniyah manusia secara individual. Sedangkan tawã shaubil haq wa tawã shaubish shabr (Al-’Ashr 3), adalah dua perilaku yang mengembangkan manusia secara sosial.

Nilai suatu masyarakat juga diukur dari iman dan amal saleh. Masyarakat yang rendah adalah masyarakat yang tidak beriman dan tidak beramal saleh atau masyarakat barbar, masyarakat biadab.

Menurut surat Al-’Ashr ini, kita punya kewajiban bukan hanya mengembangkan sifat insaniyah kita, tetapi juga kewajiban untuk mengembangkan masyarakat insaniyah atau masyarakat yang memiliki sifat kemanusiaan. Al-Qur’an menyebutkan dua caranya, yaitu tawãshaubil haq dan tawã shaubish shabr. Al-Qur’an tidak mengguna-kan kata tanãshahû (saling memberi nasihat), tetapi Al-Qur’an menggunakan kata “saling memberi wasiat”. Mengapa? Wasiat itu lebih dari sekedar nasihat. Nasihat itu boleh dilaksanakan boleh tidak -mungkin juga boleh didengar atau tidak- tapi kalau wasiat harus didengar dan dilaksanakan.

Pada kata tawã shau kita bukan hanya subyek, tetapi sekaligus objek. Kita bukan saja yang menerima wasiat, tetap juga yang diberi wasiat. Apa yang harus diwasiat-kan? Al-Haq dan Ash-Shabr.

Sebagaimana iman tidak bisa dipisahkan dengan amal saleh, maka Al-Haq tidak bisa dipisahkan dengan Ash-Shabr. Jadi orang tidak dikatakan beriman kalau tidak beramal saleh dan tidak dikatakan membela kebenaran kalau tidak tabah dalam membela kebenaran itu.

Kesimpulannya, dari surat yang pendek ini Allah mengajarkan kepada kita bahwa kita berada pada tingkat yang rendah atau dalam kerugian apabila kita tidak mengembangkan diri kita dengan iman dan amal saleh. Masyarakat kita juga menjadi masyarakat yang rendah bila kita tidak menegakkan Al-Haq dan Ash-Shabr di tengah-tengah masyarakat kita.

Sumber: http://kajianislam.wordpress.com

Dosa-Dosa Besar, dan Dosa Kecil yang Menjadi Besar

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)”. An Nisaa: 31

Hidup sebagai pilihan

Ayat di atas adalah adalah salah satu dari delapan ayat, yang dikatakan oleh Ibnu Abbaas r.a. sebagai berikut: “di dalam surah ini [surah an Nisaa] terdapat delapan ayat yang menjadi pangkal kebaikan bagi umat ini, sepanjang siang dan sepanjang malam”. Ayat-ayat itu dimulai dengan firman Allah SWT:
“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu”. (An Nisaa: 26)
“Dan Allah hendak menerima taubatmu”. (An Nisaa: 27)
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu “. (An Nisaa: 28).
Selanjutnya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya”.

Ayat-ayat yang mulia di atas menjadi pangkal kebaikan bagi masing-masing individu umat Islam sepanjang hari-hari yang ia lewati. Karena ayat-ayat tersebut memberikan batasan-batasan dan ranjau-ranjau yang harus diperhatikan oleh individu Muslim saat ia melakukan pilihan bagi ayunan langkahnya, sehingga ia tidak terjerumus ke dalam pilihan yang bodoh yang tidak berpedoman pada manhaj Allah. Manusia, tidak seperti makhluk Allah lainnya diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Manusia memiliki kemampuan lebih dari sekalian makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu adalah potensi akalnya, yang memberikannya kemampuan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya. Sementara makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah, terbentuk sebagai makhluk yang telah terprogram secara total oleh Allah, tanpa diberikan kemampuan untuk melakukan pilihan.
Dan puas menjadi makhluk yang mengalir di horison koridor yang telah dibentangkan oleh Allah SWT baginya. Kita mengetahui bahwa Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. Al Ahzaab: 72.

Dikatakan manusia telah menzhalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang kendali pilihan bebas dirinya saat menghadapi godaan syahwat atau saat menghadapi kehendak manhaj Allah SWT. Sementara makhluk-makhluk yang menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah seperti ini.
Seluruh makhluk selain manusia, hidup mengalir secara mekanis berdasarkan kehendak Allah, dan terbebas dari kesalahan melakukan pilihan bagi dirinya. Namun, Allah SWT dalam ayat-ayat tersebut memberikan informasi yang menenangkan manusia; yakni sekalipun manusia suatu kali pernah melakukan pilihan yang bodoh, sehingga melanggar kehendak dan ketentuan Allah, namun Allah berkehendak untuk memberikan cahaya penerang baginya yang menuntutnya dalam
mengarungi kehidupanya, memberikan kesempatan baginya untuk bertaubat kepada Allah, dan memberikan keringanan baginya atas kesalahan dan kekeliruan yang telah ia lakukan.

Dosa-dosa besar

Agar kita tidak terjerumus dalam dosa-dosa besar, hendaknya kita mengenal apa saja yang dikategorikan dalam dosa-dosa besar. Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Shadiq pernah ditanya oleh Amru bin Ubaid, seorang ulama Bashrah, dan seorang zahid tentang dosa-dosa besar. Kemudian beliau menjawab sambil menyebutkan dalilnya dari Al Qur’an. Di antara dosa-dosa besar adalah:

1. Syirik kepada Allah (An Nisaa: 48, Al Maaidah: 72)
2. Berputus asa dari mendapatkan rahmat Allah (Yusuf: 87)
3. Merasa aman dari ancaman Allah (Al A’raf: 99)
4. Durhaka pada orang tua (Maryam: 32)
5. Membunuh (An Nisaa: 93)
6. Menuduh wanita baik-baik berbuat zina (An Nuur: 23)
7. Memakan riba (Al Baqarah: 275)
8. Lari dari medan pertempuran (Al Anfaal: 16)
9. Memakan harta anak yatim (An Nisaa: 10)
10. Berbuat zina (Al Furqaan: 68-69)
11. Menyembunyikan persaksian (Al Baqarah: 283)
12. Sumpah palsu (Ali Imran: 77)
13. Berkhianat atas ghanimah (Ali Imran: 161)
14. Minum khamr (Al Maaidah: 90)
15. Meninggalkan shalat (Al Muddatsir: 42-43)
16. Melanggar perjanjian dan memutuskan tali silaturahmi (Al Baqarah: 27)

Berubahnya dosa kecil menjadi dosa besar

Imam Ibnul Qayyim pernah berkata: “Dosa-dosa besar biasanya disertai dengan rasa malu dan takut serta anggapan besar atas dosa tersebut, sedang dosa kecil biasanya tidak demikian. Bahkan yang biasa adalah bahwa dosa kecil sering disertai dengan kurangnya rasa malu, tidak adanya perhatian dan rasa takut, serta anggapan remeh atas dosa yang dilakukan, padahal bisa jadi ini adalah tingkatan dosa yang tinggi" (tahdzib madarij as salikin hal 185-186).

Dengan demikian maka dosa kecil dapat berubah menjadi besar dengan adanya faktor-faktor yang memperbesarnya, yaitu:

1. Terus menerus dalam melakukannya
“Tak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tak ada dosa besar jika diiringi istighfar.” Ucapan ini dinisbatkan kepada Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhu berdasarkan atsar yang saling menguatkan satu dengan yang lain (ithaf as-sa’adah al-muttaqin 10/687).

2. Anggapan remeh atas dosa tersebut
Rasulullah saw telah bersabda: “Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya.” (HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath)

3. Merasa senang dan bangga dengan dosa

4. Meremehkan “tutup dosa” dan kesantunan Allah
Yaitu ketika pelaku dosa kecil terbuai dengan kemurahan Allah dalam menutupi dosa. Ia tidak sadar bahwa itu adalah penangguhan dari Allah untuk-nya. Bahkan ia menyangka bahwa Allah sangat mengasihinya dan memberi perlakuan lain kepadanya.

5. Membongkar dan menceritakan dosa yang telah ditutupi oleh Allah
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ” Seluruh umatku akan dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam dosa (al mujahirun), termasuk terang-terangan dalam dosa ialah seorang hamba yang melakukan dosa dimalam hari lalu Allah menutupinya ketika pagi, namun ia berkata: “Wahai fulan aku tadi malam telah melakukan perbuatan begini dan begini!” (HR Muslim, kitabuz zuhd)

6. Jika pelakunya adalah orang alim yang jadi panutan atau dikenal keshalihannya
Yang demikian apabila ia melakukan dosa itu dengan sengaja, disertai kesombongan atau dengan mempertentangkan antara nash yang satu dengan yang lain maka dosa kecilnya bisa berubah menjadi besar. Tetapi lain halnya jika melakukannya karena kesalahan dalam ijtihad, marah atau yang semisalnya maka tentunya itu dimaafkan. (Dari Al-’Ibadat Al-Qalbiyah,Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif)

Bahaya mengganggap enteng dosa

Sebagai seorang mu’min, hendaknya kita tidak menganggap remeh dosa-dosa yang telah kita lakukan. Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Sesungguhnya seorang mu’min, ia melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk dibawah gunung, ia takut kalau gunung itu jatuh menimpanya. Dan sesungguhnya seorang fajir (yang banyak berbuat dosa) melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang hinggap di hidungnya maka ia berbuat demikian menggerakkan tangannya maka ia mengusirnya.”

Ketika akan berbuat dosa hendaknya kita mengingat perkataan bijak ini:
Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa engkau berbuat maksiat.

Semoga Allah mengaruniakan pada kita Al Furqaan dan menerima taubat kita.
Dikutip dari: http://arsaf.wordpress.com

Dosa-Dosa Besar, dan Dosa Kecil yang Menjadi Besar

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)”. An Nisaa: 31

Hidup sebagai pilihan

Ayat di atas adalah adalah salah satu dari delapan ayat, yang dikatakan oleh Ibnu Abbaas r.a. sebagai berikut: “di dalam surah ini [surah an Nisaa] terdapat delapan ayat yang menjadi pangkal kebaikan bagi umat ini, sepanjang siang dan sepanjang malam”. Ayat-ayat itu dimulai dengan firman Allah SWT:
“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu”. (An Nisaa: 26)
“Dan Allah hendak menerima taubatmu”. (An Nisaa: 27)
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu “. (An Nisaa: 28).
Selanjutnya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya”.

Ayat-ayat yang mulia di atas menjadi pangkal kebaikan bagi masing-masing individu umat Islam sepanjang hari-hari yang ia lewati. Karena ayat-ayat tersebut memberikan batasan-batasan dan ranjau-ranjau yang harus diperhatikan oleh individu Muslim saat ia melakukan pilihan bagi ayunan langkahnya, sehingga ia tidak terjerumus ke dalam pilihan yang bodoh yang tidak berpedoman pada manhaj Allah. Manusia, tidak seperti makhluk Allah lainnya diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya. Manusia memiliki kemampuan lebih dari sekalian makhluk Allah yang lain. Kelebihan manusia itu adalah potensi akalnya, yang memberikannya kemampuan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif-alternatif yang tersedia di hadapannya. Sementara makhluk-makhluk lain yang diciptakan Allah, terbentuk sebagai makhluk yang telah terprogram secara total oleh Allah, tanpa diberikan kemampuan untuk melakukan pilihan.
Dan puas menjadi makhluk yang mengalir di horison koridor yang telah dibentangkan oleh Allah SWT baginya. Kita mengetahui bahwa Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. Al Ahzaab: 72.

Dikatakan manusia telah menzhalimi dirinya ketika ia memilih untuk memegang kendali pilihan bebas dirinya saat menghadapi godaan syahwat atau saat menghadapi kehendak manhaj Allah SWT. Sementara makhluk-makhluk yang menundukkan dirinya kepada pilihan Allah, tidak menghadapi masalah seperti ini.
Seluruh makhluk selain manusia, hidup mengalir secara mekanis berdasarkan kehendak Allah, dan terbebas dari kesalahan melakukan pilihan bagi dirinya. Namun, Allah SWT dalam ayat-ayat tersebut memberikan informasi yang menenangkan manusia; yakni sekalipun manusia suatu kali pernah melakukan pilihan yang bodoh, sehingga melanggar kehendak dan ketentuan Allah, namun Allah berkehendak untuk memberikan cahaya penerang baginya yang menuntutnya dalam
mengarungi kehidupanya, memberikan kesempatan baginya untuk bertaubat kepada Allah, dan memberikan keringanan baginya atas kesalahan dan kekeliruan yang telah ia lakukan.

Dosa-dosa besar

Agar kita tidak terjerumus dalam dosa-dosa besar, hendaknya kita mengenal apa saja yang dikategorikan dalam dosa-dosa besar. Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Shadiq pernah ditanya oleh Amru bin Ubaid, seorang ulama Bashrah, dan seorang zahid tentang dosa-dosa besar. Kemudian beliau menjawab sambil menyebutkan dalilnya dari Al Qur’an. Di antara dosa-dosa besar adalah:

1. Syirik kepada Allah (An Nisaa: 48, Al Maaidah: 72)
2. Berputus asa dari mendapatkan rahmat Allah (Yusuf: 87)
3. Merasa aman dari ancaman Allah (Al A’raf: 99)
4. Durhaka pada orang tua (Maryam: 32)
5. Membunuh (An Nisaa: 93)
6. Menuduh wanita baik-baik berbuat zina (An Nuur: 23)
7. Memakan riba (Al Baqarah: 275)
8. Lari dari medan pertempuran (Al Anfaal: 16)
9. Memakan harta anak yatim (An Nisaa: 10)
10. Berbuat zina (Al Furqaan: 68-69)
11. Menyembunyikan persaksian (Al Baqarah: 283)
12. Sumpah palsu (Ali Imran: 77)
13. Berkhianat atas ghanimah (Ali Imran: 161)
14. Minum khamr (Al Maaidah: 90)
15. Meninggalkan shalat (Al Muddatsir: 42-43)
16. Melanggar perjanjian dan memutuskan tali silaturahmi (Al Baqarah: 27)

Berubahnya dosa kecil menjadi dosa besar

Imam Ibnul Qayyim pernah berkata: “Dosa-dosa besar biasanya disertai dengan rasa malu dan takut serta anggapan besar atas dosa tersebut, sedang dosa kecil biasanya tidak demikian. Bahkan yang biasa adalah bahwa dosa kecil sering disertai dengan kurangnya rasa malu, tidak adanya perhatian dan rasa takut, serta anggapan remeh atas dosa yang dilakukan, padahal bisa jadi ini adalah tingkatan dosa yang tinggi (tahdzib madarij as salikin hal 185-186).

Dengan demikian maka dosa kecil dapat berubah menjadi besar dengan adanya faktor-faktor yang memperbesarnya, yaitu:

1. Terus menerus dalam melakukannya
“Tak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tak ada dosa besar jika diiringi istighfar.” Ucapan ini dinisbatkan kepada Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhu berdasarkan atsar yang saling menguatkan satu dengan yang lain (ithaf as-sa’adah al-muttaqin 10/687).

2. Anggapan remeh atas dosa tersebut
Rasulullah saw telah bersabda: “Berhati-hatilah kalian terhadap dosa kecil, sebab jika ia berkumpul dalam diri seseorang akan dapat membinasakannya.” (HR ahmad dan Thabrani dalam Al Awsath)

3. Merasa senang dan bangga dengan dosa

4. Meremehkan “tutup dosa” dan kesantunan Allah
Yaitu ketika pelaku dosa kecil terbuai dengan kemurahan Allah dalam menutupi dosa. Ia tidak sadar bahwa itu adalah penangguhan dari Allah untuk-nya. Bahkan ia menyangka bahwa Allah sangat mengasihinya dan memberi perlakuan lain kepadanya.

5. Membongkar dan menceritakan dosa yang telah ditutupi oleh Allah
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: ” Seluruh umatku akan dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan dalam dosa (al mujahirun), termasuk terang-terangan dalam dosa ialah seorang hamba yang melakukan dosa dimalam hari lalu Allah menutupinya ketika pagi, namun ia berkata: “Wahai fulan aku tadi malam telah melakukan perbuatan begini dan begini!” (HR Muslim, kitabuz zuhd)

6. Jika pelakunya adalah orang alim yang jadi panutan atau dikenal keshalihannya
Yang demikian apabila ia melakukan dosa itu dengan sengaja, disertai kesombongan atau dengan mempertentangkan antara nash yang satu dengan yang lain maka dosa kecilnya bisa berubah menjadi besar. Tetapi lain halnya jika melakukannya karena kesalahan dalam ijtihad, marah atau yang semisalnya maka tentunya itu dimaafkan. (Dari Al-’Ibadat Al-Qalbiyah,Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-Syarif)

Bahaya mengganggap enteng dosa

Sebagai seorang mu’min, hendaknya kita tidak menganggap remeh dosa-dosa yang telah kita lakukan. Dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Sesungguhnya seorang mu’min, ia melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk
dibawah gunung, ia takut kalau gunung itu jatuh menimpanya. Dan sesungguhnya seorang fajir (yang banyak berbuat dosa) melihat dosa-dosanya bagaikan lalat yang hinggap di hidungnya maka ia berbuat demikian menggerakkan tangannya
maka ia mengusirnya.”

Ketika akan berbuat dosa hendaknya kita mengingat perkataan bijak ini:
“Janganlah engkau melihat kepada kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa engkau berbuat maksiat.”

Semoga Allah mengaruniakan pada kita Al Furqaan dan menerima taubat kita.

Kriteria Dosa Besar Menurut Al-Qur`an Dan Hadist

Oleh : Burhan Djamaluddin

Di dalam ajaran Islam, dikenal adanya dosa besar dan dosa kecil. Namun tidak didapati rincian dalam al-Qur'an dan Hadis, dua sumber agama Islam, tentang kesalahan apa saja yang dikategorikan dosa besar dan dosa kecil.

Dalam al-Qur'an, misalnya surat al-Nisa' ayat 37, dan surat al-Najm ayat 32, disebut kata kaba'ir dan kaba'ir al-ism. Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, hanya 3 ayat dalam al-Qur'an yang mengandung kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism. Dalam ayat-ayat itu, yang disebut kaba'ir tidak jelas. Kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism, yang biasanya diterjemahkan dengan dosa besar dan muncul dalam al-Qur'an sebanyak 3 kali itu, semuanya tidak menyebut kesalahan apa saja yang disebut dosa besar.

Hadist, yang fungsinya antara lain menjelaskan yang masih umum dalam al-Qur'an, tidak banyak membantu kita untuk dapat memahami kesalahan apa saja yang disebut dosa besar. Dalam Hadist, justeru yang terungkap hanya dosa-dosa yang paling besar diantara dosa-dosa besar (akbar al-kaba'ir), yaitu syirik, durhaka kepada kedua orang tua, saksi palsu, mundur dari medan perang melawan orang kafir, dan sihir. Jika ada dosa paling besar, tentu ada dosa besar dan dosa kecil. Dengan demikian, perincian dosa-dosa besar belum jelas adanya. Bahkan, ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an atau Hadist yang mengacu kepada arti dosa-dosa besar belum jelas. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengungkap kriteria-keriteria dosa besar, baik melalui sumber pertama (al-Qur'an) maupun sumber kedua (Hadist) Rasulullah, dengan cara menelusuri istilah atau ungkapan yang digunakan dalam dua sumber ajaran Islam tersebut.

Sebelum dicoba diuraikan ungkapan-ungkapan yang mengacu kepada arti dosa besar dalam al-Qur'an dan Hadis, terlebih dahulu dikemukakan beberapa ungkapan yang biasa diterjemahkan dengan arti dosa dalam bahasa Indonesia.

Istilah-Istilah Dosa Dalam Al-Qur'an

Dalam al-Qur'an, terdapat sejumlah istilah atau kata yang biasa diterjemahkan dengan dosa dalam bahasa Indonesia. Istilah-istilah tersebut ,misalnya: al-itsm, al-zanb, al-khith'u, al -sayyi'at dan al-hub.

Kata al-itsm dengan berbagai bentuk kata jadiannya, menurut perhitungan Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 44 kali dalam al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf, kata al-itsm, berarti 'amila ma la yahillu (mengerjakan sesuatu yang tidak halal atau tidak dibolehkan agama). Makna kata al-itsm, seperti diungkap Lewis Ma'luf, umum sekali, yaitu mencakup semua amal yang dilarang agama. Padahal al-Qur'an, ketika menunjuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya zina, mengungkapnya dengan kata fahisyat. Jadi, tidak selamanya hal-hal yang dilarang agama disebut al-itsm oleh al-Qur'an. Berbeda dengan Lewis Ma'luf, Al-Raghib al-Asfahani, salah seorang pakar bahasa al-Qur'an, mengemukakan bahwa kata al-itsm berarti sebutan bagi perbuatan-perbuatan yang menghambat tercapainya pahala. Dengan kata lain, al-itsm adalah sebutan bagi tindakan yang menghambat terwujudnya kebaikan.

Berbeda dengan Lewis Ma'luf dan al-Asfahani, al-Maraghi (penulis tafsir al-Maraghi), mengatakan bahwa al-itsm sama dengan al-zanb. Sesuatu perkataan atau tindakan baru dapat disebut al-itsm, demikian al-Maraghi, bila mendatangkan bahaya yang menimpa jasmani, jiwa, akal, dan harta benda (materi). Ibn Mandhur, penulis kamus Lisan al-Arab, lebih khusus lagi mengartikan al-itsm dengan al-khamar. Alasan yang dikemukakan Ibn Mandhur ialah bait syair Arab yang berbunyi "syaribtu al-itsm hatta dlalla 'aqliy, kazalika al-itsm tazhabu bi al-'uqul" (saya meminum al-ism, "al-khamar", maka ingatanku hilang. Memang khamar dapat menghilangkan ingatan).

Dalam al-Qur'an, terdapat dua tindakan yang dapat dikategorikan al-itsm, yakni meminum khamar dan bermain judi, seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 219. Memang, mengartikan al-itsm dengan sesuatu yang menghambat perbuatan baik, mendatangkan bahaya, dan bahkan secara eksplisit sama dengan khamar, seperti yang dilakukan oleh ibn Mandhur, tidak jauh dari hakikat kata al-itsm, seperti yang ditunjukkan oleh al-Qur'an. Seseorang yang meminum khamar dan bermain judi, misalnya, dapat mengganggu aktifitas yang positif, dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani,dan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan negatif lainnya.

Dari sejumlah kata al-itsm yang muncul dalam al-Qur'an, terlihat bahwa kata al-ism digunakan untuk menyebut pelanggaran yang memiliki efek negatif dalam kehidupan seseorang dan masyarakat.

Kata al-zanb dengan berbagai bentuk kata jadiannya disebut sebanyak 48 kali dalam al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf, kata al-zanb berarti tabi'ahu falam yufarriq israh (menyertai dan tidak pernah berpisah). Kata al-zanab yang dirangkai dengan binatang, misalnya zanab al-hayawan berarti ekor binatang. Ekor binatang biasanya terletak di belakang, dekat dengan tempat keluarnya kotoran. Ekor, kalau begitu, menggambarkan keterbelakangan atau kehinaan. Ungkapan zanab al-qawm berarti masyarakat terkebelakang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ungkapan al-zanb yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dosa, ditujukan kepada perbuatan-perbuatan yang mengandung nilai kehinaan dan keterbelakangan, seperti letak ekor binatang yang dekat dengan tempat keluarnya kotoran.

Diantara 48 kata al-zanb yang muncul dalam al-Qur'an adalah terdapat dalam surat Ali Imran ayat 135. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta ampun dari dosa (al-zanb), karena mengerjakan fahisyat, maka Allah akan mengampuni dosa mereka. Kata fahisyat berarti al-zina atau ma yusytaddu qubhuh min al-zunub (dosa yang paling jelek atau paling besar). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata al-zanb mengacu juga kepada perbuatan dosa yang paling jelek termasuk zina. Apalagi, diantara ulama tafsir, misalnya al-Maraghi, memang mengartikan kata fahisyat dalam ayat itu dengan arti zina.

Tindakan lain yang dikatakan al-zanb oleh al-Qur'an adalah mengubur hidup-hidup anak perempuan, seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah. Tindakan mereka disebutkan dalam surat al-Takwir ayat 9. Perbuatan masyarakat Jahiliyah seperti diungkap dalam ayat itu termasuk perbuatan keji, sebab tindakan itu tidak mengenal perikemanusiaan sama sekali. Dalam Islam, merusak tubuh manusia yang telah meninggal, jika tidak ada kepentingan keilmuan atau kepentingan lain, diketegorikan dosa, apalagi mengubur hidup-hidup manusia.

Mendustakan ayat-ayat Allah diungkap pula dengan kata al-zanb, seperti terdapat dalam surat al-Anfal ayat 54. Hal ini, menurut pandangan Allah, karena dosa mendustakan ayat-ayat Allah termasuk dosa paling besar. Dalam ajaran Islam, puncak ajaran agama adalah tauhid (mengesakan Allah). Oleh karena ajaran tauhid paling penting dalam ajaran Islam, maka orang-orang yang menganggap Allah memiliki anak, seperti dalam surat al-Maidah ayat 18, dikatakan sebagai orang berdosa besar.

Dari sekian banyak ayat yang mengadung kata al-zanb dalam al-Qur'an, dapat dipahami bahwa kata al-zanb digunakan untuk menyebut dosa terhadap Allah dan dosa terhadap sesama manusia. Kebanyakan kata al-zanb muncul dalam bentuk yang sangat umum, sehingga tidak dapat diketahui apakah dosa yang ditunjukkannya termasuk dosa besar atau dosa kecil. Untuk mengetahui besar kecilnya dosa yang ditunjuk oleh kata al-zanb harus didukung oleh petunjuk lain yang terdapat dalam konteks ayat yang memuat kata al-zanb itu, atau petunjuk dari Hadis Rasulullah.

Al-khith'u juga termasuk salah satu kata yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti dosa. Bentuk kata kerja madli (kata kerja lampau) dari kata al-khith'u ialah khati'a. Penggunaan kata khathi'a fi dinih berarti salaka sabila khatha'in amidan aw ghaira amidin (mengikuti jalan yang salah, baik disengaja maupun tidak disengaja). Nampaknya, kata al-khith'u ini dianggap sama dengan kata al-zanb oleh Lewis Ma'luf. Namun, Lewis menambahkan pendapat lain bahwa al-khith'u khusus digunakan untuk mengungkap kesalahan yang tidak disengaja.

Berbeda dengan Lewis, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-khith'u dengan arti melenceng dari arah yang sebenarnya. Pengertian melenceng seperti diungkap al-Asfahani ini, memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, niat mengerjakan sesuatu yang salah, kemudian benar-benar dikerjakan. Kesalahan seperti ini dinamakan al-khith'u al-tamm (betul-betul salah). Kedua, niat mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan tetapi yang dikerjakan justru sebaliknya. Dengan kata lain, benar niatnya, tetapi tindakannya salah. Ketiga, niat mengerjakan yang tidak boleh dikerjakan, tetapi yang dilakukan sebaliknya, yaitu mengerjakan perbuatan yang boleh dilakukan. Yang disebut ketiga ini, salah niatnya tetapi benar tindakannya. Kata al-khith'u dalam al-Qur'an, menurut perhitungan Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, muncul sebanyak 22 kali. Diantara kata al-khith'u yang muncul dalam al-Qur'an ialah dalam surat al-Isra' ayat 31. Kata al-khith'u dalam ayat ini dirangkai dengan kata kabiran (besar). Kata kabiran adalah sifat dari kata al-khith'u, sehingga rangkaian dua kata yang disebut terakhir ini berarti dosa besar. Dengan demikian, kata al-khith'u dalam ayat ini dapat diterjemahkan sebagai dosa besar jika dirangkai dengan kata kabiran.

Dari sekian banyak ayat al-Qur'an yang mengandung kata al-khith'u dapat dipahami bahwa kata ini digunakan untuk menyebut dosa yang cukup bervariasi, misalnya dosa terhadap Allah, dan dosa terhadap sesama manusia. Juga dapat dipahami bahwa al-Qur'an, ketika menggunakan kata al-khith'u atau al-khathiat, tidak menjelaskan secara tersurat, apakah dosa yang ditunjukkannya dosa besar atau dosa kecil. Untuk membedakan dosa yang ditunjukkannya, dibutuhkan petunjuk lain, seperti adanya kata kabiran dalam ayat 31 surat al-isyra' yang dikutip di depan.

Seperti disebut di depan, kata al-sayyi'at juga termasuk kata yang diterjemahkan dalam bahasa Indoenesia dengan arti dosa. Kata ini dengan segenap kata jadiannya, menurut perhitungan Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 167 kali. Seorang pakar bahasa al-Qur'an, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-sayyi'at atau al-su' dengan kullu ma yaghummu al-insan min al-umur al-dunyawiyyat wa al-ukhrawiyyat wa min al-ahwal al-nafsiyyat wa al-badaniyyat wa al-kharijat min fawat malin wa jahin wa faqd hamim (segala sesuatu yang dapat menyusahkan manusia, baik masalah keduniaan maupun masalah keakhiratan, atau baik masalah yang terkait dengan kejiwaan atau jasmani, yang diakibatkan oleh hilangnya harta benda, kedudukan dan meninggalnya orang-orang yang disayangi).

Ternyata kata al-sayyi'at yang muncul dalam al-Qur'an, semuanya merujuk kepada arti yang disebutkan al-Asfahani tersebut. Dalam al-Qur'an, surat Thaha ayat 22, dikatakan bahwa Tuhan memerintahkan Nabi Musa untuk memasukkan tangannya ke ketiaknya, niscaya tangan Nabi Musa akan keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacad. Hal itu sebagai mu'jizat lain yang dimiliki Nabi Musa dari Tuhannya. Kata al-su', dalam ayat ini berarti penyakit, yaitu al-barash (belang), yang banyak menimpa tangan, penyakit yang selalu menyusahkan orang yang ditimpanya. Oleh karena itu, sangat tepat bila kata al-su' diartikan juga dengan al-huzn (susah). Sesuatu hal yang jelek juga dikatakan al-su', dan karena itu kata al-su' dalam hal ini dilawankan dengan al-husna (baik), dan al-sayyiat dilawankan dengan kata al-hasanat, seperti terdapat dalam surat al-Nisa' ayat 79.

Dalam al-Qur'an, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan al-su antara lain: perzinaan (Surat al-Nisa' ayat 22), menjadikan syetan sebagai teman (surat al-Nisa' ayat 38), mengubur hidup-hidup anak perempuan seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah (surat al-Nisa' ayat 58-59). Dari sekian banyak kata al-su' atau al-sayyi'at yang muncul dalam al-Qur'an, kelihatannya tidak selalu mengacu kepada arti dosa besar (seperti yang disebutkan dalam Hadis Rasulullah) atau dosa kecil. Terkadang kata al-su' digunakan untuk menyebut dosa besar, seperti zina (surat al-Isra' ayat 32), membunuh anak perempuan hidup-hidup (surat al-Nahl ayat 59), dan sebagainya. Terkadang juga kata al-su' ada yang mengacu kepada dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-Nisa' ayat 31. Disamping itu, ada lagi kata al-su' dalam al-Qur'an yang tidak jelas mengacu kepada dosa besar atau dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-A'raf ayat 95, surat al-Ra'd ayat 6, surat Yunus ayat 28, surat al-Naml ayat 90, surat Ghafir ayat 40, dan lain-lain.

Kata al-hub, yang diterjemahkan dengan arti dosa, muncul dalam al-Qur'an sebanyak satu kali, yaitu dalam surat al-Nisa' ayat 2. Menurut al-Asfahani, kata al-hub sama dan sinonim dengan kata al-itsm. Oleh karena kata al-hub ini muncul hanya satu kali dalam al-Qur'an, tidak dapat diketahui berbagai makna yang timbul dari kata tersebut, apakah ia mengacu kepada arti dosa besar atau dosa kecil, atau dosa secara umum. Khusus dalam surat al-Nisa' ayat 2 di atas, karena kata al-hub dirangkai dengan kata kabiran, maka rangkaian itu diterjemahkan dengan dosa besar.

Kriteria Dosa Besar

Tidak mudah untuk menentukan kriteria dosa besar dalam al-Qur'an. Kesulitan itu tetap terasa, walaupun istilah-istilah yang biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan dosa telah dijelaskan sebelum ini. Diantara lima istilah tersebut, tidak satu pun yang secara eksplisit dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dosa besar. Bila al-Qur'an menyebut dosa besar, maka istilah-istilah tersebut dirangkai dengan kata kabir atau adim (dua kata yang berarti besar). Oleh karena itu, ditemukan rangkaian kata-kata: isman adiman, isman kabiran, zanban adiman, khith'an kabiran, atau huban kabiran, untuk merujuk dosa-dosa besar. Dengan demikian, jika ditemukan kata ism, zanb, khith' saja, maka tidak dihukumi sebagai dosa besar, tanpa melihat indikator lain yang dapat mengantarkan kita memahaminya sebagai dosa besar.

Sebagai dikatakan di atas, Hadis pun tidak banyak membantu kita menjelaskan kekaburan itu. Yang disebut dalam Hadis hanyalah dosa-dosa terbesar diantara dosa-dosa besar. Sedangkan dosa besar itu sendiri masih kabur. Setelah tidak jelas macam-macam dosa besar, menurut al-Qur'an dan Hadis, maka ijtihadlah yang harus difungsikan untuk mengetahui macam-macam dosa besar. Oleh karena dasar untuk mengetahui dosa besar itu ijtihad, maka hasilnya menjadi relatif. Jika dampak negatif yang ditimbulkan suatu tindakan pelanggaran dijadikan tolok ukur untuk mengetahui dosa besar, kesulitan yang ditemui ialah bahwa dampak negatif itu sendiri relatif juga. Suatu pelanggaran, yang dianggap oleh seseorang memiliki dampak yang relatif cukup besar bagi dirinya, belum tentu dirasakan sebagai hal yang sama oleh orang lain. Dalam menyelesaikan problem ini, akan digunakan tolok ukur lain, yaitu istilah apa yang digunakan al-Qur'an ketika mengancam pelanggar suatu aturan. Tentu yang dianalisa adalah bahasa yang digunakan oleh al-Qur'an atau Hadis tersebut.

Berdasarkan tolok ukur kebahasaan itu, dosa besar menurut al-Baruzi, seperti dikutip al-Ghimari setidak-tidaknya ada lima belas kategori, yaitu:
  1. dosa besar yang diancam dengan hukuman had,
  2. dosa besar yang ditandai dengan ungkapan "fahisyah",
  3. dosa besar karena pelanggaran yang dilakukan termasuk perbuatan syetan,
  4. dosa besar karena Allah tidak menyenangi tindakan itu termasuk pelakunya,
  5. dosa besar karena pelaku dosa diancam dengan laknat,
  6. dosa besar karena Allah marah terhadap pelakunya,
  7. dosa besar ditandai dengan ungkapan "shalat yang dikerjakan seseorang ditolak Allah",
  8. dosa besar karena pelakunya dikecam sebagai orang merugi,
  9. dosa besar ditandai dengan ungkapan "bukan dari golongan kami",
  10. dosa besar ditandai dengan ungkapan "Allah menutup pintu taubat bagi pelaku dosa",
  11. dosa besar ditandai dengan ungkapan "kemaksiatan menghabiskan kebaikan",
  12. dosa besar ditandai dengan ancaman wayl,
  13. dosa besar karena tindakan itu membatalkan amalan shaleh,
  14. dosa besar ditandai dengan ungkapan "Allah tidak menyenangi pelaku dosa",
  15. dan dosa besar ditandai dengan ungkapan "tidak perlu ditanyakan resiko yang akan diterima pelaku dosa".
Macam-macam dosa besar yang dikemukakan al-Baruzi tersebut, tidak dijelaskan semua di sini, karena disamping tidak memungkinkan dari segi tempat yang disediakan, juga karena sebagian besar dari dosa-dosa tersebut, sudah disebutkan dalam Hadis Rasulullah, bahkan ada yang termasuk dosa terbesar. Oleh karena itu hanya sebagian saja yang akan diuraikan di sini.

1. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Hukuman Had.

Terdapat sejumlah ayat al-Qur'an yang mengancam sebuah pelanggaran dengan hukuman had, misalnya surat al-Baqarah ayat 178. Ayat ini membicarakan hukuman had bagi pembunuh, atau terkenal dengan qishash. Secara eksplisit, memang sudah dikatakan dalam Hadis bahwa dosa pembunuhan termasuk dosa besar. Namun, tidak semua pelanggaran yang diancam dengan hukuman had disebut oleh Hadis Rasulullah. Dalam Hadis disebutkan bahwa dosa besar karena diancam hukuman had hanyalah zina, dan saksi palsu. Padahal dosa besar dengan tolok ukur ancaman had bagi sebuah pelanggaran cukup banyak, misalnya: membunuh, zina, qazaf (tuduhan palsu), mencuri, pengacau di jalan, liwath (homo seksual) .

Kata had berasal dari kata kerja hadda. Kalimat hadda Allah 'anna al-syarra, berarti kaffahu wa sharrafahu (menjauhkan atau memalingkan). Tegasnya, Allah menjauhkan kita dari bahaya. Ungkapan hadda al-muzniba berarti aqama 'alyhi al-had bima yamna'u ghairahu wa yamna'uhu min irtikab al-zanb (menerapkan hukuman had kepada seseorang yang berbuat dosa, agar dia jera dan agar orang lain yang mengetahui hukuman tersebut dapat juga jera). Kemudian muncullah istilah had dan dalam bentuk jamaknya hudud, yang berarti hukuman yang diterapkan di dunia bagi pelanggar hukum tertentu, seperti pencurian dengan hukuman potongan tangan, zina dengan hukuman rajam, pembunuhan dengan hukuman qishash, dan sebagainya.

Hukuman bagi pembunuhan, perzinaan, qazaf, mencuri, mengacau di jalan, dan liwath (homoseksual) dikategorikan dosa besar, bukan saja karena diancam dengan hukuman had, tetapi karena dampak negatif dari tindakan- tindakan tersebut memang besar. Di sini, untuk menilai tindakan-tindakan tersebut sebagai dosa besar, bukan saja acuan kebahasaan tetapi juga acuan dampak negatif yang ditimbulkannya. Pembunuhan, misalnya, memiliki dampak negatif yang cukup besar, sebab pembunuhan tidak saja menghilangkan nyawa orang yang terbunuh. Lebih dari itu, pembunuhan dapat menambah penderitaan keluarga yang ditinggalkannya, terutama jika yang terbunuh itu orang yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga.

Demikian juga perzinaan, dikategorikan dosa besar, karena disamping diancam dengan hukuman had, juga karena dampak negatif yang ditimbulkan zina cukup besar. Penyakit kelamin, anak lahir tanpa orang tua sah dan hidup terlantar, cemoohan masyarakat dan masih banyak lagi yang lainnya, adalah dampak-dampak yang ditimbulkan perzinaan. Qazaf pun tidak kalah besar dampaknya bila dibandingkan dengan pembunuhan dan perzinaan. Orang yang dituduh palsu, dalam hal ini wanita baik-baik yang dituduh berzina, nama baiknya akan tercemar, termasuk nama baik keluarganya. Wanita itu juga akan dikucilkan dari masyarakat, dan akan mengalami penderitaan batin yang cukup hebat. Tidak mudah untuk memulihkan nama baiknya, dan kalaupun bisa, membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan mental yang cukup prima. Wajar bila penuduh palsu diancam dengan hukuman berat, yaitu dipukul delapan puluh kali (hukuman had), kesaksian mereka ditolak selamanya, dan mereka dikategorikan orang fasik. Demikian juga mencuri dan mengacau di jalan, termasuk yang diancam dengan hukuman had oleh al-Qur'an. Hukuman-hukuman yang diancamkan kepada pezina, pencuri, penuduh palsu, dan pengacau di jalan tersebut cukup berat. Dengan melihat ancaman hukuman tersebut, tidak salah jika pelanggaran-pelanggaran yang diancam dengan hukuman had dikategorikan dosa besar.

2.Dosa Besar Ditandai Ungkapan "Fahisyat'.

Dosa besar dapat dikenal juga dengan adanya ungkapan fahisyat bagi tindakan pelanggaran. Diantara ayat yang menggunakan kata fahisyat untuk menunjuk suatu pelanggaran adalah ayat 15 surat al-Nisa'. Dalam ayat ini, Allah menetapkan bahwa para isteri yang dituduh mengerjakan perbuatan fahisyat, harus dibuktikan kebenarannya oleh empat orang saksi. Kata fahisyat berarti qabihat dan syani'at (jelek dan keji). Banyak mufassir menafsirkan kata fahisyat dalam ayat ini dengan arti zina. Namun dalam beberapa ayat lain, kata fahisyat muncul dalam makna yang sangat umum, misalnya dalam ayat 45 surat al-Ankabut. Dalam ayat disebut terakhir, dikatakan bahwa shalat dapat mencegah seseorang dari perbuatan fahsya' (bentuk jamak dari fahisyat). Kata fahisyat dalam ayat ini tidak dapat dipahami dengan makna zina, karena tidak ada petunjuk yang mengantarkan kita untuk dapat memahaminya dengan arti zina. Demikian pula kata fahsya' dalam ayat 169 surat al-Baqarah, ayat 28 surat al-A'raf, ayat 24 surat Yusuf, ayat 22 surat al-Nisa' dan sebagainya, muncul dengan makna yang sangat umum. Kata-kata fahsya' atau fahisyat dalam konteks seperti ini tidak dapat dipahami dengan mengacu kepada arti dosa besar atau dosa kecil. Namun pada saat tertentu, misalnya ada petunjuk yang tegas yang mengarah kepada arti dosa besar, kata fahisyat atau fahsya', dapat dijadikan dasar untuk menghukumi sebuah pelanggaran sebagai dosa besar.

3. Dosa Besar Karena Pelakunya Diancam Dengan Laknat.

Dosa besar terkadang dapat diketahui dengan adanya ungkapan lain yang digunakan al-Qur'an atau Hadis, selain yang dikemukakan di atas, yaitu pelakunya diancam dengan laknat, misalnya dalam ayat 51-52 surat al-Nisa. Dalam ayat ini, Allah menyatakan melaknat orang-orang musyrik dan orang-orang yang percaya kepada Thaghut dan orang-orang yang mengakui bahwa orang kafir Makkah lebih benar jalannya dari orang-orang beriman. Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata "la'ana" yang, dari segi bahasa, berarti akhaza wa sabba (menyiksa dan mencaci) dan dapat juga berarti ab'adahu min al-khair (menjauhkan dari kebaikan). Lebih jauh lagi, kata la'ana berarti 'azzaba (menyiksa). Al-Maraghi mengartikan kata la'ana dengan ab'adahu min al-khayr. Dengan arti bahasa dan istilah dari kata la'ana seperti dikutip di atas, dapat dipahami bahwa kata la'ana mengakibatkan jauhnya seseorang dari kebaikan, atau tegasnya, jauhnya seseorang dari rahmat Allah. Orang yang dijauhi memang ada kemungkinan karena tidak disenangi, dan dampak dari tidak disenangi orang antara lain tidak mendapatkan kebaikan orang lain. Orang tidak disenangi dalam ayat di atas ialah orang musyrik, dan kemusyrikan termasuk dalam akbar al-kabair (salah satu dosa terbesar diantara dosa-dosa besar).

Orang-orang yang tidak disenangi Allah, seperti tercantum dalam al-Qur'an cukup bervariasi, misalnya orang-orang kafir (Qs. al-Ahzab ayat 64). Bahkan golongan ini dinyatakan secara tegas akan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala di akhirat nanti. Golongan yang tidak disenangi Allah, juga termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah melanggar janji kepada Allah. Hati mereka pun enggan dan kaku, serta keras bagaikan batu, sehingga tidak mau menerima ayat-ayat Allah. Bahkan lebih jauh lagi, mereka berani merubah ayat-ayat Allah (ayat al-Qur'an), seperti merubah arti dan mengurangi atau menambah huruf dan kata-kata dalam ayat al-Qur'an tersebut.

Dalam Hadis Rasulullah pun terdapat kata la'ana, yaitu sabda Rasulullah: "la'ana Allah al-rasyi wa al-murtasyi" (Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap). Beberapa kata la'ana yang muncul, baik dalam al-Qur'an maupun dalam Hadis memang mengacu kepada arti dosa besar. Apalagi pelanggaran-pelanggaran yang diungkap dengan kata la'ana, dampak negatifnya memang besar, sehingga tepat bila kata la'ana digunakan sebagai dasar untuk menghukumi pelanggaran yang ditunjuknya sebagai dosa besar.

4. Dosa Besar Yang Ditandai Ungkapan "Kemaksiatan Dapat Merusak Kebaikan".

Dosa besar dalam kategori ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an, tetapi ditemukan dalam Hadis Rasulullah. Hadis tersebut berbunyi: "Iyyakum wa al-hasad fa inna al-hasad ya'kul al-hasanat kama ta'kul al-nar al-hathab" (Jauhilah sifat hasad (dengki), sebab dengki itu dapat memakan amalan baik, sebaimana halnya api membakar kayu). Dalam kamus Arab, kata hasad digunakan, misalnya dalam ungkapan "hasada fulan ni'matahu wa 'ala ni'matihi" yang berarti "tamanna zawala ni'matih wa tahawwulaha ilayhi" (Seseorang berharap hilangnya ni'mat yang didapat orang lain, dan dapat berpindah ke tangan dia). Hasad, kalau begitu, adalah sifat yang tidak terpuji. Kemudian, bagaimana sifat hasad dapat memakan amal-amal baik, sehingga digambarkan sebagai api membakar kayu? Tidak dijelaskan oleh Rasulullah. Dapat diduga bahwa alasan hasad dapat memakan amal-amal baik, adalah karena orang kalau sudah hasad, tidak pernah merasa puas dengan nikmat yang diberikan Allah. Bahkan, nikmat Allah yang ada di tangan orang lain diusahakan pindah ke tangannya. Dalam pandangan orang hasad, kebaikan dan nikmat yang ada di tangannya selalu dirasakan kurang. Bahkan, nikmat tersebut tidak diakui eksistensinya. Jadi, sifat hasad sama dengan api yang membakar kayu. Yang tersisa hanya arang dan debu. Lama kelamaan, arang dan debu pun akan hilang tanpa bekas. Gambaran hasad dapat menghilangkan kebaikan bersifat abstrak. Proses hilangnya kebaikan oleh sifat hasad tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, dibutuhkan perumpamaan. Kemudian, Rasulullah mengambil perumpamaan: Hasad menghilangkan kebaikan sama dengan api membakar kayu. Dengan cara mempersamakan seperti ini, sesuatu yang awalnya bersifat abstrak berubah menjadi kongkrit. Ia menjadi seakan-akan dapat diihat, seperti halnya benda nyata. Seseorang yang telah hangus amal baiknya, berarti ia tidak memiliki peluang untuk memperoleh balasan kebaikan dari Allah. Sebaliknya, justeru balasan keburukan (neraka) yang akan diperolehnya. Bila demikian, dapat dipahami kalau sifat hasad dikategorikan sebagai dosa besar.

5. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Wayl (Celaka).

Dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang mengandung kata wayl (celaka), antara lain dalam surat al-Muthaffifin ayat 1-3. Kata wayl menurut kamus bahasa Arab berarti al-halak (kehancuran). Kata wayl dalam ayat 1 surat al-Muthaffifin tersebut, menurut al-Maraghi, merujuk kepada arti kehancuran yang besar. Kehancuran besar menggambarkan besarnya dampak yang ditimbulkan. Kehancuran besar dalam ayat ini ialah menimbang dengan timbangan yang besar ketika membeli dan menimbang dengan timbangan kecil ketika menjual. Tindakan ini jelas mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam perdagangan, tanpa memperhatikan kerugian dan penderitaan orang lain. Setidak-tidaknya, ada dua keuntungan yang diraih oleh orang yang melakukan penipuan seperti itu: Pertama, keuntungan dari selisih timbangan barang yang dibeli; Kedua, keuntungan dari selisih harga jual barang. Oleh karena itu, tindakan tersebut sangat menguntungkan diri sendiri dan sangat merugikan orang lain. Dengan demikian, adalah tepat bila al-Qur'an mengancam pelakunya dengan kata wayl, yang merujuk kepada besarnya dosa bagi pelaku tindakan tersebut.

Al-Asfahani mengartikan kata wayl dengan al-qubh (jelek) atau al-tahassur (penyesalan). Pengertian wayl seperti yang dikemukakan al-Asfahani, secara etimologis, berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Lewis Ma'luf. Namun pada hakekatnya, dua pengertian itu memiliki makna yang sama, yaitu merujuk kepada arti kejelekan atau kejahatan yang besar, dan dampaknya menimbulkan kehancuran yang besar pula. Pendusta lagi banyak berbuat dosa, sebagai dikatakan dalam al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 7, tepat diancam dengan wayl. Kedustaan sudah cukup membahayakan, apalagi ditambah dengan kesenangan melakukan dosa.

6. Dosa Besar Ditandai Ungkapan"Allah Tidak Suka Melihat Pelaku Dosa".

Dosa besar dalam kategori ini ditandai ungkapan "la yandhuru" (tidak melihat). Kata nadhara, bentuk kata kerja lampau dari kata kerja yandhuru, dalam al-Qur'an ditemukan lebih seratus kali dengan berbagai bentuk kata jadiannya. Seperti dikatakan di atas, kata la yandhuru, yang berarti tidak melihat, bukan saja berarti tidak melihat karena tidak bertemu atau tidak menemukan, akan tetapi ungkapan itu memiliki arti tertentu, yaitu tidak ingin melihat karena merasa tidak senang dengan sesuatu. Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan ungkapan la yandhuru, dalam arti seperti disebut terakhir. Ungkapan la yandhuru dalam arti tersebut terakhir hanya ditemukan dalam Hadis, misalnya "la yandhuru Allah 'azza wa jalla ila al-rajuli ata rajulan aw imrataan fi duburiha" (Allah tidak senang melihat seseorang yang menyetubuhi sesama lelaki (homoseksual) dan bersetubuh dengan perempuan melalui duburnya (sodomi).

Ungkapan la yandhuru (tidak mau melihat) seperti dalam Hadis di atas, disebabkan ketidaksenangan kepada sesuatu. Ketidaksenangan boleh jadi menjurus kepada tidak mau melihat yang tidak disenangi itu, sebab pada umumnya orang yang tidak senang kepada sesuatu atau kepada seseorang, boleh jadi ia tidak mau melihat sesuatu atau seseorang yang dibencinya. Dalam Hadis lain dikatakan: Salasatun la yukallimuhum Allah yawm al-qiyamat wa la yuzakkihim wa la yandhuru ilayhim wa lahum 'azabun alim: syaikhun zanin, wa malikun kazzab, wa 'ailun mustakbirun (ada tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah di hari qiyamat, tidak dibersihkan hatinya, dan akan disiksa dengan siksaan yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja pendusta, dan orang miskin yang sombong).

Kata la yukallimuhum Allah (mereka tidak diajak bicara oleh Allah), bukan karena Allah tidak bertemu dengan orang itu, akan tetapi ungkapan itu memiliki makna kiasan, yaitu kiasan bahwa Allah tidak senang kepada mereka. Bahkan, ketidaksenangan Allah itu ditegaskan lagi dengan kata berikutnya wa la yandhuru ilayhim (Allah tidak mau melihat mereka). Mengapa Allah tidak senang kepada mereka ? Tentu saja karena perilaku mereka sudah melampaui batas. Orang tua yang berzina, dianggap melampaui batas, sebab orang tua seharusnya memberi contoh yang baik kepada anak cucu. Raja yang berdusta juga sangat dibenci Allah, sebab raja seharusnya jujur dalam menjalankan pemerintahan, bukan malah mengelabui rakyatnya.

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan sebelum ini, dapat dipahami bahwa al-Qur'an tidak menyebut secara tegas macam-macam dosa besar. Dalam al-Qur'an hanya terdapat ungkapan-ungkapan yang dapat mengantarkan kita untuk dapat menghukumi sebuah pelanggaran itu sebagai sebuah dosa besar. Dengan meresapi sejumlah istilah atau ungkapan yang menjadi tanda untuk memahami dosa besar, sebagaimana yang dikemukakan al-Baruzi, maka akan muncul puluhan macam dosa besar. Dosa-dosa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah hanyalah sebagian dari dosa-dosa besar yang terdapat dalam ajaran Islam. Untuk mengetahui secara rinci macam-macam dosa besar, kita hanya merujuk saja kepada ungkapan-ungkapan tersebut, baik yang terdapat dalam al-Qur'an maupun Hadis.

Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel
Tamat S-3 dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kriteria Dosa Besar Menurut Al-Qur`an Dan Hadist

Oleh : Burhan Djamaluddin

Di dalam ajaran Islam, dikenal adanya dosa besar dan dosa kecil. Namun tidak didapati rincian dalam al-Qur'an dan Hadis, dua sumber agama Islam, tentang kesalahan apa saja yang dikategorikan dosa besar dan dosa kecil.

Dalam al-Qur'an, misalnya surat al-Nisa' ayat 37, dan surat al-Najm ayat 32, disebut kata kaba'ir dan kaba'ir al-ism. Menurut Muhammad Fuad Abd al-Baqi, hanya 3 ayat dalam al-Qur'an yang mengandung kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism. Dalam ayat-ayat itu, yang disebut kaba'ir tidak jelas. Kata kaba'ir atau kaba'ir al-ism, yang biasanya diterjemahkan dengan dosa besar dan muncul dalam al-Qur'an sebanyak 3 kali itu, semuanya tidak menyebut kesalahan apa saja yang disebut dosa besar.

Hadis, yang fungsinya antara lain menjelaskan yang masih umum dalam al-Qur'an, tidak banyak membantu kita untuk dapat memahami kesalahan apa saja yang disebut dosa besar. Dalam Hadis, justeru yang terungkap hanya dosa-dosa yang paling besar diantara dosa-dosa besar (akbar al-kaba'ir), yaitu syirik, durhaka kepada kedua orang tua, saksi palsu, mundur dari medan perang melawan orang kafir, dan sihir. Jika ada dosa paling besar, tentu ada dosa besar dan dosa kecil. Dengan demikian, perincian dosa-dosa besar belum jelas adanya. Bahkan, ungkapan-ungkapan dalam al-Qur'an atau Hadis yang mengacu kepada arti dosa-dosa besar belum jelas. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengungkap kriteria-keriteria dosa besar, baik melalui sumber pertama (al-Qur'an) maupun sumber kedua (Hadis) Rasulullah, dengan cara menelusuri istilah atau ungkapan yang digunakan dalam dua sumber ajaran Islam tersebut.

Sebelum dicoba diuraikan ungkapan-ungkapan yang mengacu kepada arti dosa besar dalam al-Qur'an dan Hadis, terlebih dahulu dikemukakan beberapa ungkapan yang biasa diterjemahkan dengan arti dosa dalam bahasa Indonesia.

Istilah-Istilah Dosa Dalam Al-Qur'an

Dalam al-Qur'an, terdapat sejumlah istilah atau kata yang biasa diterjemahkan dengan dosa dalam bahasa Indonesia. Istilah-istilah tersebut ,misalnya: al-itsm, al-zanb, al-khith'u, al -sayyi'at dan al-hub.

Kata al-itsm dengan berbagai bentuk kata jadiannya, menurut perhitungan Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 44 kali dalam al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf, kata al-itsm, berarti 'amila ma la yahillu (mengerjakan sesuatu yang tidak halal atau tidak dibolehkan agama). Makna kata al-itsm, seperti diungkap Lewis Ma'luf, umum sekali, yaitu mencakup semua amal yang dilarang agama. Padahal al-Qur'an, ketika menunjuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya zina, mengungkapnya dengan kata fahisyat. Jadi, tidak selamanya hal-hal yang dilarang agama disebut al-itsm oleh al-Qur'an. Berbeda dengan Lewis Ma'luf, Al-Raghib al-Asfahani, salah seorang pakar bahasa al-Qur'an, mengemukakan bahwa kata al-itsm berarti sebutan bagi perbuatan-perbuatan yang menghambat tercapainya pahala. Dengan kata lain, al-itsm adalah sebutan bagi tindakan yang menghambat terwujudnya kebaikan.

Berbeda dengan Lewis Ma'luf dan al-Asfahani, al-Maraghi (penulis tafsir al-Maraghi), mengatakan bahwa al-itsm sama dengan al-zanb. Sesuatu perkataan atau tindakan baru dapat disebut al-itsm, demikian al-Maraghi, bila mendatangkan bahaya yang menimpa jasmani, jiwa, akal, dan harta benda (materi). Ibn Mandhur, penulis kamus Lisan al-Arab, lebih khusus lagi mengartikan al-itsm dengan al-khamar. Alasan yang dikemukakan Ibn Mandhur ialah bait syair Arab yang berbunyi "syaribtu al-itsm hatta dlalla 'aqliy, kazalika al-itsm tazhabu bi al-'uqul" (saya meminum al-ism, "al-khamar", maka ingatanku hilang. Memang khamar dapat menghilangkan ingatan).

Dalam al-Qur'an, terdapat dua tindakan yang dapat dikategorikan al-itsm, yakni meminum khamar dan bermain judi, seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 219. Memang, mengartikan al-itsm dengan sesuatu yang menghambat perbuatan baik, mendatangkan bahaya, dan bahkan secara eksplisit sama dengan khamar, seperti yang dilakukan oleh ibn Mandhur, tidak jauh dari hakikat kata al-itsm, seperti yang ditunjukkan oleh al-Qur'an. Seseorang yang meminum khamar dan bermain judi, misalnya, dapat mengganggu aktifitas yang positif, dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani,dan dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan negatif lainnya.

Dari sejumlah kata al-itsm yang muncul dalam al-Qur'an, terlihat bahwa kata al-ism digunakan untuk menyebut pelanggaran yang memiliki efek negatif dalam kehidupan seseorang dan masyarakat.

Kata al-zanb dengan berbagai bentuk kata jadiannya disebut sebanyak 48 kali dalam al-Qur'an. Menurut Lewis Ma'luf, kata al-zanb berarti tabi'ahu falam yufarriq israh (menyertai dan tidak pernah berpisah). Kata al-zanab yang dirangkai dengan binatang, misalnya zanab al-hayawan berarti ekor binatang. Ekor binatang biasanya terletak di belakang, dekat dengan tempat keluarnya kotoran. Ekor, kalau begitu, menggambarkan keterbelakangan atau kehinaan. Ungkapan zanab al-qawm berarti masyarakat terkebelakang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa ungkapan al-zanb yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dosa, ditujukan kepada perbuatan-perbuatan yang mengandung nilai kehinaan dan keterbelakangan, seperti letak ekor binatang yang dekat dengan tempat keluarnya kotoran.

Diantara 48 kata al-zanb yang muncul dalam al-Qur'an adalah terdapat dalam surat Ali Imran ayat 135. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta ampun dari dosa (al-zanb), karena mengerjakan fahisyat, maka Allah akan mengampuni dosa mereka. Kata fahisyat berarti al-zina atau ma yusytaddu qubhuh min al-zunub (dosa yang paling jelek atau paling besar). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata al-zanb mengacu juga kepada perbuatan dosa yang paling jelek termasuk zina. Apalagi, diantara ulama tafsir, misalnya al-Maraghi, memang mengartikan kata fahisyat dalam ayat itu dengan arti zina.

Tindakan lain yang dikatakan al-zanb oleh al-Qur'an adalah mengubur hidup-hidup anak perempuan, seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah. Tindakan mereka disebutkan dalam surat al-Takwir ayat 9. Perbuatan masyarakat Jahiliyah seperti diungkap dalam ayat itu termasuk perbuatan keji, sebab tindakan itu tidak mengenal perikemanusiaan sama sekali. Dalam Islam, merusak tubuh manusia yang telah meninggal, jika tidak ada kepentingan keilmuan atau kepentingan lain, diketegorikan dosa, apalagi mengubur hidup-hidup manusia.

Mendustakan ayat-ayat Allah diungkap pula dengan kata al-zanb, seperti terdapat dalam surat al-Anfal ayat 54. Hal ini, menurut pandangan Allah, karena dosa mendustakan ayat-ayat Allah termasuk dosa paling besar. Dalam ajaran Islam, puncak ajaran agama adalah tauhid (mengesakan Allah). Oleh karena ajaran tauhid paling penting dalam ajaran Islam, maka orang-orang yang menganggap Allah memiliki anak, seperti dalam surat al-Maidah ayat 18, dikatakan sebagai orang berdosa besar.

Dari sekian banyak ayat yang mengadung kata al-zanb dalam al-Qur'an, dapat dipahami bahwa kata al-zanb digunakan untuk menyebut dosa terhadap Allah dan dosa terhadap sesama manusia. Kebanyakan kata al-zanb muncul dalam bentuk yang sangat umum, sehingga tidak dapat diketahui apakah dosa yang ditunjukkannya termasuk dosa besar atau dosa kecil. Untuk mengetahui besar kecilnya dosa yang ditunjuk oleh kata al-zanb harus didukung oleh petunjuk lain yang terdapat dalam konteks ayat yang memuat kata al-zanb itu, atau petunjuk dari Hadis Rasulullah.

Al-khith'u juga termasuk salah satu kata yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti dosa. Bentuk kata kerja madli (kata kerja lampau) dari kata al-khith'u ialah khati'a. Penggunaan kata khathi'a fi dinih berarti salaka sabila khatha'in amidan aw ghaira amidin (mengikuti jalan yang salah, baik disengaja maupun tidak disengaja). Nampaknya, kata al-khith'u ini dianggap sama dengan kata al-zanb oleh Lewis Ma'luf. Namun, Lewis menambahkan pendapat lain bahwa al-khith'u khusus digunakan untuk mengungkap kesalahan yang tidak disengaja.

Berbeda dengan Lewis, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-khith'u dengan arti melenceng dari arah yang sebenarnya. Pengertian melenceng seperti diungkap al-Asfahani ini, memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, niat mengerjakan sesuatu yang salah, kemudian benar-benar dikerjakan. Kesalahan seperti ini dinamakan al-khith'u al-tamm (betul-betul salah). Kedua, niat mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan tetapi yang dikerjakan justru sebaliknya. Dengan kata lain, benar niatnya, tetapi tindakannya salah. Ketiga, niat mengerjakan yang tidak boleh dikerjakan, tetapi yang dilakukan sebaliknya, yaitu mengerjakan perbuatan yang boleh dilakukan. Yang disebut ketiga ini, salah niatnya tetapi benar tindakannya. Kata al-khith'u dalam al-Qur'an, menurut perhitungan Muhammad Fu'ad Abd al-Baqi, muncul sebanyak 22 kali. Diantara kata al-khith'u yang muncul dalam al-Qur'an ialah dalam surat al-Isra' ayat 31. Kata al-khith'u dalam ayat ini dirangkai dengan kata kabiran (besar). Kata kabiran adalah sifat dari kata al-khith'u, sehingga rangkaian dua kata yang disebut terakhir ini berarti dosa besar. Dengan demikian, kata al-khith'u dalam ayat ini dapat diterjemahkan sebagai dosa besar jika dirangkai dengan kata kabiran.

Dari sekian banyak ayat al-Qur'an yang mengandung kata al-khith'u dapat dipahami bahwa kata ini digunakan untuk menyebut dosa yang cukup bervariasi, misalnya dosa terhadap Allah, dan dosa terhadap sesama manusia. Juga dapat dipahami bahwa al-Qur'an, ketika menggunakan kata al-khith'u atau al-khathiat, tidak menjelaskan secara tersurat, apakah dosa yang ditunjukkannya dosa besar atau dosa kecil. Untuk membedakan dosa yang ditunjukkannya, dibutuhkan petunjuk lain, seperti adanya kata kabiran dalam ayat 31 surat al-isyra' yang dikutip di depan.

Seperti disebut di depan, kata al-sayyi'at juga termasuk kata yang diterjemahkan dalam bahasa Indoenesia dengan arti dosa. Kata ini dengan segenap kata jadiannya, menurut perhitungan Muhammad Fu'ad 'Abd al-Baqi, muncul sebanyak 167 kali. Seorang pakar bahasa al-Qur'an, al-Raghib al-Asfahani, mengartikan kata al-sayyi'at atau al-su' dengan kullu ma yaghummu al-insan min al-umur al-dunyawiyyat wa al-ukhrawiyyat wa min al-ahwal al-nafsiyyat wa al-badaniyyat wa al-kharijat min fawat malin wa jahin wa faqd hamim (segala sesuatu yang dapat menyusahkan manusia, baik masalah keduniaan maupun masalah keakhiratan, atau baik masalah yang terkait dengan kejiwaan atau jasmani, yang diakibatkan oleh hilangnya harta benda, kedudukan dan meninggalnya orang-orang yang disayangi).

Ternyata kata al-sayyi'at yang muncul dalam al-Qur'an, semuanya merujuk kepada arti yang disebutkan al-Asfahani tersebut. Dalam al-Qur'an, surat Thaha ayat 22, dikatakan bahwa Tuhan memerintahkan Nabi Musa untuk memasukkan tangannya ke ketiaknya, niscaya tangan Nabi Musa akan keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacad. Hal itu sebagai mu'jizat lain yang dimiliki Nabi Musa dari Tuhannya. Kata al-su', dalam ayat ini berarti penyakit, yaitu al-barash (belang), yang banyak menimpa tangan, penyakit yang selalu menyusahkan orang yang ditimpanya. Oleh karena itu, sangat tepat bila kata al-su' diartikan juga dengan al-huzn (susah). Sesuatu hal yang jelek juga dikatakan al-su', dan karena itu kata al-su' dalam hal ini dilawankan dengan al-husna (baik), dan al-sayyiat dilawankan dengan kata al-hasanat, seperti terdapat dalam surat al-Nisa' ayat 79.

Dalam al-Qur'an, perbuatan-perbuatan yang dikategorikan al-su antara lain: perzinaan (Surat al-Nisa' ayat 22), menjadikan syetan sebagai teman (surat al-Nisa' ayat 38), mengubur hidup-hidup anak perempuan seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah (surat al-Nisa' ayat 58-59). Dari sekian banyak kata al-su' atau al-sayyi'at yang muncul dalam al-Qur'an, kelihatannya tidak selalu mengacu kepada arti dosa besar (seperti yang disebutkan dalam Hadis Rasulullah) atau dosa kecil. Terkadang kata al-su' digunakan untuk menyebut dosa besar, seperti zina (surat al-Isra' ayat 32), membunuh anak perempuan hidup-hidup (surat al-Nahl ayat 59), dan sebagainya. Terkadang juga kata al-su' ada yang mengacu kepada dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-Nisa' ayat 31. Disamping itu, ada lagi kata al-su' dalam al-Qur'an yang tidak jelas mengacu kepada dosa besar atau dosa kecil, seperti yang muncul dalam surat al-A'raf ayat 95, surat al-Ra'd ayat 6, surat Yunus ayat 28, surat al-Naml ayat 90, surat Ghafir ayat 40, dan lain-lain.

Kata al-hub, yang diterjemahkan dengan arti dosa, muncul dalam al-Qur'an sebanyak satu kali, yaitu dalam surat al-Nisa' ayat 2. Menurut al-Asfahani, kata al-hub sama dan sinonim dengan kata al-itsm. Oleh karena kata al-hub ini muncul hanya satu kali dalam al-Qur'an, tidak dapat diketahui berbagai makna yang timbul dari kata tersebut, apakah ia mengacu kepada arti dosa besar atau dosa kecil, atau dosa secara umum. Khusus dalam surat al-Nisa' ayat 2 di atas, karena kata al-hub dirangkai dengan kata kabiran, maka rangkaian itu diterjemahkan dengan dosa besar.

Kriteria Dosa Besar

Tidak mudah untuk menentukan kriteria dosa besar dalam al-Qur'an. Kesulitan itu tetap terasa, walaupun istilah-istilah yang biasa diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan dosa telah dijelaskan sebelum ini. Diantara lima istilah tersebut, tidak satu pun yang secara eksplisit dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan dosa besar. Bila al-Qur'an menyebut dosa besar, maka istilah-istilah tersebut dirangkai dengan kata kabir atau adim (dua kata yang berarti besar). Oleh karena itu, ditemukan rangkaian kata-kata: isman adiman, isman kabiran, zanban adiman, khith'an kabiran, atau huban kabiran, untuk merujuk dosa-dosa besar. Dengan demikian, jika ditemukan kata ism, zanb, khith' saja, maka tidak dihukumi sebagai dosa besar, tanpa melihat indikator lain yang dapat mengantarkan kita memahaminya sebagai dosa besar.

Sebagai dikatakan di atas, Hadis pun tidak banyak membantu kita menjelaskan kekaburan itu. Yang disebut dalam Hadis hanyalah dosa-dosa terbesar diantara dosa-dosa besar. Sedangkan dosa besar itu sendiri masih kabur. Setelah tidak jelas macam-macam dosa besar, menurut al-Qur'an dan Hadis, maka ijtihadlah yang harus difungsikan untuk mengetahui macam-macam dosa besar. Oleh karena dasar untuk mengetahui dosa besar itu ijtihad, maka hasilnya menjadi relatif. Jika dampak negatif yang ditimbulkan suatu tindakan pelanggaran dijadikan tolok ukur untuk mengetahui dosa besar, kesulitan yang ditemui ialah bahwa dampak negatif itu sendiri relatif juga. Suatu pelanggaran, yang dianggap oleh seseorang memiliki dampak yang relatif cukup besar bagi dirinya, belum tentu dirasakan sebagai hal yang sama oleh orang lain. Dalam menyelesaikan problem ini, akan digunakan tolok ukur lain, yaitu istilah apa yang digunakan al-Qur'an ketika mengancam pelanggar suatu aturan. Tentu yang dianalisa adalah bahasa yang digunakan oleh al-Qur'an atau Hadis tersebut.

Berdasarkan tolok ukur kebahasaan itu, dosa besar menurut al-Baruzi, seperti dikutip al-Ghimari setidak-tidaknya ada lima belas kategori, yaitu dosa besar yang diancam dengan hukuman had, dosa besar yang ditandai dengan ungkapan "fahisyah", dosa besar karena pelanggaran yang dilakukan termasuk perbuatan syetan, dosa besar karena Allah tidak menyenangi tindakan itu termasuk pelakunya, dosa besar karena pelaku dosa diancam dengan laknat, dosa besar karena Allah marah terhadap pelakunya, dosa besar ditandai dengan ungkapan "shalat yang dikerjakan seseorang ditolak Allah", dosa besar karena pelakunya dikecam sebagai orang merugi, dosa besar ditandai dengan ungkapan "bukan dari golongan kami", dosa besar ditandai dengan ungkapan "Allah menutup pintu taubat bagi pelaku dosa", dosa besar ditandai dengan ungkapan "kemaksiatan menghabiskan kebaikan", dosa besar ditandai dengan ancaman wayl, dosa besar karena tindakan itu membatalkan amalan shaleh, dosa besar ditandai dengan ungkapan "Allah tidak menyenangi pelaku dosa", dan dosa besar ditandai dengan ungkapan "tidak perlu ditanyakan resiko yang akan diterima pelaku dosa". Macam-macam dosa besar yang dikemukakan al-Baruzi tersebut, tidak dijelaskan semua di sini, karena disamping tidak memungkinkan dari segi tempat yang disediakan, juga karena sebagian besar dari dosa-dosa tersebut, sudah disebutkan dalam Hadis Rasulullah, bahkan ada yang termasuk dosa terbesar. Oleh karena itu hanya sebagian saja yang akan diuraikan di sini.

1. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Hukuman Had.

Terdapat sejumlah ayat al-Qur'an yang mengancam sebuah pelanggaran dengan hukuman had, misalnya surat al-Baqarah ayat 178. Ayat ini membicarakan hukuman had bagi pembunuh, atau terkenal dengan qishash. Secara eksplisit, memang sudah dikatakan dalam Hadis bahwa dosa pembunuhan termasuk dosa besar. Namun, tidak semua pelanggaran yang diancam dengan hukuman had disebut oleh Hadis Rasulullah. Dalam Hadis disebutkan bahwa dosa besar karena diancam hukuman had hanyalah zina, dan saksi palsu. Padahal dosa besar dengan tolok ukur ancaman had bagi sebuah pelanggaran cukup banyak, misalnya: membunuh, zina, qazaf (tuduhan palsu), mencuri, pengacau di jalan, liwath (homo seksual) .

Kata had berasal dari kata kerja hadda. Kalimat hadda Allah 'anna al-syarra, berarti kaffahu wa sharrafahu (menjauhkan atau memalingkan). Tegasnya, Allah menjauhkan kita dari bahaya. Ungkapan hadda al-muzniba berarti aqama 'alyhi al-had bima yamna'u ghairahu wa yamna'uhu min irtikab al-zanb (menerapkan hukuman had kepada seseorang yang berbuat dosa, agar dia jera dan agar orang lain yang mengetahui hukuman tersebut dapat juga jera). Kemudian muncullah istilah had dan dalam bentuk jamaknya hudud, yang berarti hukuman yang diterapkan di dunia bagi pelanggar hukum tertentu, seperti pencurian dengan hukuman potongan tangan, zina dengan hukuman rajam, pembunuhan dengan hukuman qishash, dan sebagainya.

Hukuman bagi pembunuhan, perzinaan, qazaf, mencuri, mengacau di jalan, dan liwath (homoseksual) dikategorikan dosa besar, bukan saja karena diancam dengan hukuman had, tetapi karena dampak negatif dari tindakan- tindakan tersebut memang besar. Di sini, untuk menilai tindakan-tindakan tersebut sebagai dosa besar, bukan saja acuan kebahasaan tetapi juga acuan dampak negatif yang ditimbulkannya. Pembunuhan, misalnya, memiliki dampak negatif yang cukup besar, sebab pembunuhan tidak saja menghilangkan nyawa orang yang terbunuh. Lebih dari itu, pembunuhan dapat menambah penderitaan keluarga yang ditinggalkannya, terutama jika yang terbunuh itu orang yang menjadi tulang punggung kehidupan keluarga.

Demikian juga perzinaan, dikategorikan dosa besar, karena disamping diancam dengan hukuman had, juga karena dampak negatif yang ditimbulkan zina cukup besar. Penyakit kelamin, anak lahir tanpa orang tua sah dan hidup terlantar, cemoohan masyarakat dan masih banyak lagi yang lainnya, adalah dampak-dampak yang ditimbulkan perzinaan. Qazaf pun tidak kalah besar dampaknya bila dibandingkan dengan pembunuhan dan perzinaan. Orang yang dituduh palsu, dalam hal ini wanita baik-baik yang dituduh berzina, nama baiknya akan tercemar, termasuk nama baik keluarganya. Wanita itu juga akan dikucilkan dari masyarakat, dan akan mengalami penderitaan batin yang cukup hebat. Tidak mudah untuk memulihkan nama baiknya, dan kalaupun bisa, membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan mental yang cukup prima. Wajar bila penuduh palsu diancam dengan hukuman berat, yaitu dipukul delapan puluh kali (hukuman had), kesaksian mereka ditolak selamanya, dan mereka dikategorikan orang fasik. Demikian juga mencuri dan mengacau di jalan, termasuk yang diancam dengan hukuman had oleh al-Qur'an. Hukuman-hukuman yang diancamkan kepada pezina, pencuri, penuduh palsu, dan pengacau di jalan tersebut cukup berat. Dengan melihat ancaman hukuman tersebut, tidak salah jika pelanggaran-pelanggaran yang diancam dengan hukuman had dikategorikan dosa besar.

2.Dosa Besar Ditandai Ungkapan "Fahisyat'.

Dosa besar dapat dikenal juga dengan adanya ungkapan fahisyat bagi tindakan pelanggaran. Diantara ayat yang menggunakan kata fahisyat untuk menunjuk suatu pelanggaran adalah ayat 15 surat al-Nisa'. Dalam ayat ini, Allah menetapkan bahwa para isteri yang dituduh mengerjakan perbuatan fahisyat, harus dibuktikan kebenarannya oleh empat orang saksi. Kata fahisyat berarti qabihat dan syani'at (jelek dan keji). Banyak mufassir menafsirkan kata fahisyat dalam ayat ini dengan arti zina. Namun dalam beberapa ayat lain, kata fahisyat muncul dalam makna yang sangat umum, misalnya dalam ayat 45 surat al-Ankabut. Dalam ayat disebut terakhir, dikatakan bahwa shalat dapat mencegah seseorang dari perbuatan fahsya' (bentuk jamak dari fahisyat). Kata fahisyat dalam ayat ini tidak dapat dipahami dengan makna zina, karena tidak ada petunjuk yang mengantarkan kita untuk dapat memahaminya dengan arti zina. Demikian pula kata fahsya' dalam ayat 169 surat al-Baqarah, ayat 28 surat al-A'raf, ayat 24 surat Yusuf, ayat 22 surat al-Nisa' dan sebagainya, muncul dengan makna yang sangat umum. Kata-kata fahsya' atau fahisyat dalam konteks seperti ini tidak dapat dipahami dengan mengacu kepada arti dosa besar atau dosa kecil. Namun pada saat tertentu, misalnya ada petunjuk yang tegas yang mengarah kepada arti dosa besar, kata fahisyat atau fahsya', dapat dijadikan dasar untuk menghukumi sebuah pelanggaran sebagai dosa besar.

3. Dosa Besar Karena Pelakunya Diancam Dengan Laknat.

Dosa besar terkadang dapat diketahui dengan adanya ungkapan lain yang digunakan al-Qur'an atau Hadis, selain yang dikemukakan di atas, yaitu pelakunya diancam dengan laknat, misalnya dalam ayat 51-52 surat al-Nisa. Dalam ayat ini, Allah menyatakan melaknat orang-orang musyrik dan orang-orang yang percaya kepada Thaghut dan orang-orang yang mengakui bahwa orang kafir Makkah lebih benar jalannya dari orang-orang beriman. Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata "la'ana" yang, dari segi bahasa, berarti akhaza wa sabba (menyiksa dan mencaci) dan dapat juga berarti ab'adahu min al-khair (menjauhkan dari kebaikan). Lebih jauh lagi, kata la'ana berarti 'azzaba (menyiksa). Al-Maraghi mengartikan kata la'ana dengan ab'adahu min al-khayr. Dengan arti bahasa dan istilah dari kata la'ana seperti dikutip di atas, dapat dipahami bahwa kata la'ana mengakibatkan jauhnya seseorang dari kebaikan, atau tegasnya, jauhnya seseorang dari rahmat Allah. Orang yang dijauhi memang ada kemungkinan karena tidak disenangi, dan dampak dari tidak disenangi orang antara lain tidak mendapatkan kebaikan orang lain. Orang tidak disenangi dalam ayat di atas ialah orang musyrik, dan kemusyrikan termasuk dalam akbar al-kabair (salah satu dosa terbesar diantara dosa-dosa besar).

Orang-orang yang tidak disenangi Allah, seperti tercantum dalam al-Qur'an cukup bervariasi, misalnya orang-orang kafir (Qs. al-Ahzab ayat 64). Bahkan golongan ini dinyatakan secara tegas akan dimasukkan ke dalam neraka yang apinya menyala-nyala di akhirat nanti. Golongan yang tidak disenangi Allah, juga termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah melanggar janji kepada Allah. Hati mereka pun enggan dan kaku, serta keras bagaikan batu, sehingga tidak mau menerima ayat-ayat Allah. Bahkan lebih jauh lagi, mereka berani merubah ayat-ayat Allah (ayat al-Qur'an), seperti merubah arti dan mengurangi atau menambah huruf dan kata-kata dalam ayat al-Qur'an tersebut.

Dalam Hadis Rasulullah pun terdapat kata la'ana, yaitu sabda Rasulullah: "la'ana Allah al-rasyi wa al-murtasyi" (Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap). Beberapa kata la'ana yang muncul, baik dalam al-Qur'an maupun dalam Hadis memang mengacu kepada arti dosa besar. Apalagi pelanggaran-pelanggaran yang diungkap dengan kata la'ana, dampak negatifnya memang besar, sehingga tepat bila kata la'ana digunakan sebagai dasar untuk menghukumi pelanggaran yang ditunjuknya sebagai dosa besar.

4. Dosa Besar Yang Ditandai Ungkapan "Kemaksiatan Dapat Merusak Kebaikan".

Dosa besar dalam kategori ini tidak ditemukan dalam al-Qur'an, tetapi ditemukan dalam Hadis Rasulullah. Hadis tersebut berbunyi: "Iyyakum wa al-hasad fa inna al-hasad ya'kul al-hasanat kama ta'kul al-nar al-hathab" (Jauhilah sifat hasad (dengki), sebab dengki itu dapat memakan amalan baik, sebaimana halnya api membakar kayu). Dalam kamus Arab, kata hasad digunakan, misalnya dalam ungkapan "hasada fulan ni'matahu wa 'ala ni'matihi" yang berarti "tamanna zawala ni'matih wa tahawwulaha ilayhi" (Seseorang berharap hilangnya ni'mat yang didapat orang lain, dan dapat berpindah ke tangan dia). Hasad, kalau begitu, adalah sifat yang tidak terpuji. Kemudian, bagaimana sifat hasad dapat memakan amal-amal baik, sehingga digambarkan sebagai api membakar kayu? Tidak dijelaskan oleh Rasulullah. Dapat diduga bahwa alasan hasad dapat memakan amal-amal baik, adalah karena orang kalau sudah hasad, tidak pernah merasa puas dengan nikmat yang diberikan Allah. Bahkan, nikmat Allah yang ada di tangan orang lain diusahakan pindah ke tangannya. Dalam pandangan orang hasad, kebaikan dan nikmat yang ada di tangannya selalu dirasakan kurang. Bahkan, nikmat tersebut tidak diakui eksistensinya. Jadi, sifat hasad sama dengan api yang membakar kayu. Yang tersisa hanya arang dan debu. Lama kelamaan, arang dan debu pun akan hilang tanpa bekas. Gambaran hasad dapat menghilangkan kebaikan bersifat abstrak. Proses hilangnya kebaikan oleh sifat hasad tidak dapat dilihat. Oleh karena itu, dibutuhkan perumpamaan. Kemudian, Rasulullah mengambil perumpamaan: Hasad menghilangkan kebaikan sama dengan api membakar kayu. Dengan cara mempersamakan seperti ini, sesuatu yang awalnya bersifat abstrak berubah menjadi kongkrit. Ia menjadi seakan-akan dapat diihat, seperti halnya benda nyata. Seseorang yang telah hangus amal baiknya, berarti ia tidak memiliki peluang untuk memperoleh balasan kebaikan dari Allah. Sebaliknya, justeru balasan keburukan (neraka) yang akan diperolehnya. Bila demikian, dapat dipahami kalau sifat hasad dikategorikan sebagai dosa besar.

5. Dosa Besar Karena Diancam Dengan Wayl (Celaka).

Dalam al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang mengandung kata wayl (celaka), antara lain dalam surat al-Muthaffifin ayat 1-3. Kata wayl menurut kamus bahasa Arab berarti al-halak (kehancuran). Kata wayl dalam ayat 1 surat al-Muthaffifin tersebut, menurut al-Maraghi, merujuk kepada arti kehancuran yang besar. Kehancuran besar menggambarkan besarnya dampak yang ditimbulkan. Kehancuran besar dalam ayat ini ialah menimbang dengan timbangan yang besar ketika membeli dan menimbang dengan timbangan kecil ketika menjual. Tindakan ini jelas mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dalam perdagangan, tanpa memperhatikan kerugian dan penderitaan orang lain. Setidak-tidaknya, ada dua keuntungan yang diraih oleh orang yang melakukan penipuan seperti itu: Pertama, keuntungan dari selisih timbangan barang yang dibeli; Kedua, keuntungan dari selisih harga jual barang. Oleh karena itu, tindakan tersebut sangat menguntungkan diri sendiri dan sangat merugikan orang lain. Dengan demikian, adalah tepat bila al-Qur'an mengancam pelakunya dengan kata wayl, yang merujuk kepada besarnya dosa bagi pelaku tindakan tersebut.

Al-Asfahani mengartikan kata wayl dengan al-qubh (jelek) atau al-tahassur (penyesalan). Pengertian wayl seperti yang dikemukakan al-Asfahani, secara etimologis, berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh Lewis Ma'luf. Namun pada hakekatnya, dua pengertian itu memiliki makna yang sama, yaitu merujuk kepada arti kejelekan atau kejahatan yang besar, dan dampaknya menimbulkan kehancuran yang besar pula. Pendusta lagi banyak berbuat dosa, sebagai dikatakan dalam al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 7, tepat diancam dengan wayl. Kedustaan sudah cukup membahayakan, apalagi ditambah dengan kesenangan melakukan dosa.

6. Dosa Besar Ditandai Ungkapan"Allah Tidak Suka Melihat Pelaku Dosa".

Dosa besar dalam kategori ini ditandai ungkapan "la yandhuru" (tidak melihat). Kata nadhara, bentuk kata kerja lampau dari kata kerja yandhuru, dalam al-Qur'an ditemukan lebih seratus kali dengan berbagai bentuk kata jadiannya. Seperti dikatakan di atas, kata la yandhuru, yang berarti tidak melihat, bukan saja berarti tidak melihat karena tidak bertemu atau tidak menemukan, akan tetapi ungkapan itu memiliki arti tertentu, yaitu tidak ingin melihat karena merasa tidak senang dengan sesuatu. Dalam al-Qur'an, tidak ditemukan ungkapan la yandhuru, dalam arti seperti disebut terakhir. Ungkapan la yandhuru dalam arti tersebut terakhir hanya ditemukan dalam Hadis, misalnya "la yandhuru Allah 'azza wa jalla ila al-rajuli ata rajulan aw imrataan fi duburiha" (Allah tidak senang melihat seseorang yang menyetubuhi sesama lelaki (homoseksual) dan bersetubuh dengan perempuan melalui duburnya (sodomi).

Ungkapan la yandhuru (tidak mau melihat) seperti dalam Hadis di atas, disebabkan ketidaksenangan kepada sesuatu. Ketidaksenangan boleh jadi menjurus kepada tidak mau melihat yang tidak disenangi itu, sebab pada umumnya orang yang tidak senang kepada sesuatu atau kepada seseorang, boleh jadi ia tidak mau melihat sesuatu atau seseorang yang dibencinya. Dalam Hadis lain dikatakan: Salasatun la yukallimuhum Allah yawm al-qiyamat wa la yuzakkihim wa la yandhuru ilayhim wa lahum 'azabun alim: syaikhun zanin, wa malikun kazzab, wa 'ailun mustakbirun (ada tiga golongan yang tidak diajak bicara oleh Allah di hari qiyamat, tidak dibersihkan hatinya, dan akan disiksa dengan siksaan yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja pendusta, dan orang miskin yang sombong).

Kata la yukallimuhum Allah (mereka tidak diajak bicara oleh Allah), bukan karena Allah tidak bertemu dengan orang itu, akan tetapi ungkapan itu memiliki makna kiasan, yaitu kiasan bahwa Allah tidak senang kepada mereka. Bahkan, ketidaksenangan Allah itu ditegaskan lagi dengan kata berikutnya wa la yandhuru ilayhim (Allah tidak mau melihat mereka). Mengapa Allah tidak senang kepada mereka ? Tentu saja karena perilaku mereka sudah melampaui batas. Orang tua yang berzina, dianggap melampaui batas, sebab orang tua seharusnya memberi contoh yang baik kepada anak cucu. Raja yang berdusta juga sangat dibenci Allah, sebab raja seharusnya jujur dalam menjalankan pemerintahan, bukan malah mengelabui rakyatnya.

Kesimpulan

Dari uraian yang telah dipaparkan sebelum ini, dapat dipahami bahwa al-Qur'an tidak menyebut secara tegas macam-macam dosa besar. Dalam al-Qur'an hanya terdapat ungkapan-ungkapan yang dapat mengantarkan kita untuk dapat menghukumi sebuah pelanggaran itu sebagai sebuah dosa besar. Dengan meresapi sejumlah istilah atau ungkapan yang menjadi tanda untuk memahami dosa besar, sebagaimana yang dikemukakan al-Baruzi, maka akan muncul puluhan macam dosa besar. Dosa-dosa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah hanyalah sebagian dari dosa-dosa besar yang terdapat dalam ajaran Islam. Untuk mengetahui secara rinci macam-macam dosa besar, kita hanya merujuk saja kepada ungkapan-ungkapan tersebut, baik yang terdapat dalam al-Qur'an maupun Hadis.

Penulis adalah dosen tetap pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel
Tamat S-3 dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta