Diposting oleh
Al Ilmu
komentar (0)
Setelah Allah SWT menciptakan bumi dengan gunung-gunungnya, laut-lautannya dan tumbuh – tumbuhannya, menciptakan langit dengan mataharinya, bulan dan bintang-bintangnya yang bergemerlapan menciptakan malaikat-malaikatnya ialah sejenis makhluk halus yang diciptakan untuk beribadah menjadi perantara antara Zat Yang Maha Kuasa dengan hamba-hamba terutama para rasul dan nabinya maka tibalah kehendak Allah SWT. untuk menciptakan sejenis makhluk lain yang akan menghuni dan mengisi bumi memeliharanya menikmati tumbuh-tumbuhannya,mengelola kekayaan yang terpendam di dalamnya dan berkembang biak turun-temurun waris-mewarisi sepanjang masa yang telah ditakdirkan baginya.
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. ” (QS. al-Baqarah: 30)
Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan makna khilafah (perihal menjadi khalifah) Nabi Adam (berarti tanah, manusia, atau cokelat muda; bahasa Ibrani: אָדָם; bahasa Arab: آدم). Ada yang mengatakan, bahwa ia sebagai khalifah dari kelompok manusia yang pertama-tama datang ke bumi di mana kelompok ini membuat kerusakan dan menumpahkan darah di dalamnya. Ada yang mengatakan, bahwa ia adalah khalifatullah, dengan pengertian bahwa ia sebagai khalifah (utusan Allah) dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan hukum-hukum-Nya, karena ia adalah utusan Allah yang pertama. Adam adalah bapak umat manusia (abu al- basyar). Allah Swt. menciptakan baginya pasangan atau istri. Kini keturunan Adam di dunia terdiri atas berbagai ras dan suku dengan warna kulit dan bahasa yang beragam.
Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah saw tentang Nabi Adam: “Apakah ia sebagai nabi yang diutus?” Beliau menjawab: “Benar.” Beliau ditanya: “Ia menjadi rasul bagi siapa? Sementara di bumi tidak ada seorang pun?” Beliau menjawab: “Ia menjadi rasul bagi anak-anaknya.”
Tabir penciptaan disingkap di tengah-tengah para malaikat-Nya. Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
Berkenaan dengan ayat tersebut, para mufasir memberikan komentar yang beragam. Dalam tafsir al-Manar disebutkan: “Sesungguhnya ayat-ayat ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat ditafsirkan zahirnya. Sebab, dilihat dari ketentuan dialog (at-Takhathub) ia mengandung konsultasi dari Allah SWT. Tentu yang demikian itu mustahil bagi-Nya. Di samping itu, ia juga mengandung pemberitahuan dari-Nya kepada para malaikat yang kemudian diikuti dengan penentangan dan perdebatan dari mereka. Hal seperti ini tidak layak bagi Allah SWT dan bagi para malaikat-Nya. Saya lebih setuju untuk mengalihkan makna cerita tersebut pada sesuatu yang lain.”
Sedangkan dalam tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada para malaikat-Nya, bahwa jika Dia menjadikan ciptaan di muka bumi maka mereka akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah.”
Ketika Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, ” (QS. al-Baqarah: 30). Mereka bertanya: “Apakah ini adalah khalifah yang Engkau ceritakan kepada kami bahwa mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah, ataukah khalifah selainnya?”
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya para malaikat melalui fitrah mereka yang suci yang tidak membayangkan kecuali kebaikan dan kesucian, mereka mengira bahwa tasbih dan mengultuskan Allah adalah puncak dari segala wujud. Puncak ini terwujud dengan adanya mereka, sedangkan pertanyaan mereka hanya menggambarkan keheranan mereka, bukan berasal dari penentangan atau apa pun juga.”
Kita melihat bagaimana para mufasir berijtihad untuk menyingkap hakikat, lalu Allah SWT menyingkapkan kedalaman dari Al-Qur’an pada masing-masing dari mereka. Kedalaman Al-Qur’an sangat mengagumkan. Kisah tersebut disampaikan dalam gaya dialogis, suatu gaya yang memiliki pengaruh yang kuat. Tidakkah Anda melihat bahwa Allah SWT berfirman:
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’” (QS. Fushshilat: 11)
Apakah seseorang membayangkan bahwa Allah SWT berbicara dengan langit dan bumi, dan bumi dan langit pun menjawabnya sehingga terjadi dialog ini di antara mereka? Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan langit dan bumi sehingga keduanya taat. Allah SWT menggambarkan apa yang terjadi dengan gaya dialogis hanya untuk meneguhkan dalam pikiran dan menegaskan maknanya serta penjelasannya. Penggunaan gaya dramatis dalam kisah Nabi Adam mengisyaratkan makna yang dalam.
Kita membayangkan bahwa Allah SWT ketika menetapkan penciptaan Nabi Adam, Dia memberitahukan kepada malaikat-Nya dengan tujuan agar mereka bersujud kepadanya, bukan dengan tujuan mengambil pendapat mereka atau bermusyawarah dengan mereka. Maha Suci Allah SWT dari hal yang demikian itu. Allah SWT memberitahukan mereka bahwa Dia akan menjadikan seorang hamba di muka bumi, dan bahwa khalifah ini akan mempunyai keturunan dan cucu-cucu, di mana mereka akan membuat kerusakkan di muka bumi dan menumpahkan darah di dalamnya. Lalu para malaikat yang suci mengalami kebingungan. Bukankah mereka selalu bertasbih kepada Allah dan mensucikan-Nya, namun mengapa khalifah yang terpilih itu bukan termasuk dari mereka? Apa rahasia hal tersebut, dan apa hikmah Allah dalam masalah ini? Kebingungan melaikat dan keinginan mereka untuk mendapatkan kemuliaan sebagai khalifah di muka bumi, dan keheranan mereka tentang penghormatan Adam dengannya, dan masih banyak segudang pertanyaan yang tersimpan dalam diri mereka. Namun Allah SWT segera menepis keraguan mereka dan kebingungan mereka, dan membawa mereka menjadi yakin dan berserah diri. Firman-Nya:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
Ayat tersebut menunjukan keluasan ilmu Allah SWT dan keterbatasan ilmu para malaikat, yang karenanya mereka dapat berserah diri dan meyakini kebenaran kehendak Allah. Kita tidak membayangkan terjadinya dialog antara Allah SWT dan para malaikat sebagai bentuk pengultusan terhadap Allah dan penghormatan terhadap para malaikat-Nya. Dan kita meyakini bahwa dialog terjadi dalam diri malaikat sendiri berkenaan dengan keinginan mereka untuk mengemban khilafah di muka bumi, kemudian Allah SWT memberitahu mereka bahwa tabiat mereka bukan disiapkan untuk hal tersebut.
Sesungguhnya tasbih pada Allah SWT dan menyucikan-Nya adalah hal yang sangat mulia di alam wujud, namun khilafah di muka bumi bukan hanya dilakukan dengan hal itu. Ia membutuhkan karakter yang lain, suatu karakter yang haus akan pengetahuan dan lumrah baginya kesalahan. Kebingungan atau keheranan ini, dialog yang terjadi dalam jiwa para malaikat setelah diberitahu tentang penciptaan Nabi Adam, semua ini layak bagi para malaikat dan tidak mengurangi kedudukan mereka sedikit pun. Sebab, meskipun kedekatan mereka dengan Allah SWT dan penyembahan mereka terhadap-Nya serta penghormatan-Nya kepada mereka, semua itu tidak menghilangkan kedudukan mereka sebagai hamba Allah SWT di mana mereka tidak mengetahui ilmu Allah SWT dan hikmah-Nya yang tersembunyi, serta alam gaibnya yang samar. Mereka tidak mengetahui hikmah-Nya yang tinggi dan sebab-sebab perwujudannya pada sesuatu.
Setelah beberapa saat para malaikat akan memahami bahwa Nabi Adam adalah ciptaan baru, di mana dia berbeda dengan mereka yang hanya bertasbih dan menyucikan Allah, dan dia pun berbeda dengan hewan-hewan bumi dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya yang hanya menumpahkan darah dan membuat kerusakkan. Sesungguhnya Nabi Adam akan menjadi ciptaan baru dan keberadaannya disertai dengan hikmah yang tinggi yang tidak ada seorang pun mengetahuinya kecuali Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas membaca ayat tersebut: “Liya’rifuun” (agar mereka mengenal Aku). Pengetahuan merupakan tujuan dari penciptaan manusia. Dan barangkali pendekatan yang terbaik berkenaan dengan tafsir ayat tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Abduh: “Dialog yang terdapat dalam ayat tersebut adalah urusan Allah SWT dengan para malaikat-Nya di mana Dia menggambarkan kepada kita dalam kisah ini dengan ucapan, pertanyaan, dan jawaban. Kita tidak mengetahui hakikat hal tersebut. Tetapi kita mengetahui bahwa dialog tersebut tidak terjadi sebagaimana lazimnya yang dilakukan oleh sesama kita, manusia.”
Para malaikat mengetahui bahwa Allah SWT akan menciptakan khalifah di muka bumi. Allah SWT menyampaikan perintah-Nya kepada mereka secara terperinci. Dia memberitahukan bahwa Dia akan menciptakan manusia dari tanah. Maka ketika Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh di dalamnya, para malaikat harus bersujud kepadanya. Yang harus dipahami bahwa sujud tersebut adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah, karena sujud ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.’ Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; hendaklah kamu bersyukur dengan bersujud kepadanya. ‘ Lalu seluruh malikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis. Dia menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang yang kafir. ” (QS. Shad: 71-74)
Allah SWT mengumpulkan segenggam tanah dari bumi; di dalamnya terdapat yang berwarna putih, hitam, kuning, coklat dan merah. Oleh karena itu, manusia memiliki beragam warna kulit. Allah SWT mencampur tanah dengan air sehingga menjadi tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dari tanah inilah Allah menciptakan Nabi Adam. Allah SWT menyempurnakannya dengan kekuasaan-Nya lalu meniupkan roh-Nya di dalamnya, kemudian bergeraklah tubuh Nabi Adam dan tanda kehidupan mulai ada di dalamnya.
Selanjutnya, Nabi Adam membuka kedua matanya dan ia melihat para malaikat semuanya bersujud kepadanya, kecuali satu makhluk yang berdiri di sana. Nabi Adam tidak tahu siapakah makhluk yang tidak mau bersujud itu. Ia tidak mengenal namanya. Iblis berdiri bersama para malaikat tetapi ia bukan berasal dari golongan mereka. Iblis berasal dari kelompok jin. Allah SWT menceritakan kisah penolakan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam pada beberapa surah. Allah SWT berfirman:
“Allah berfirman: ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi? ‘Iblis berkata: ‘Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman: ‘Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.’ Mis berkata: ‘Ya Tuhanku, ben tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat).’ Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.’” (QS. Shad: 75-83)
Nabi Adam mengikuti peristiwa yang terjadi di depannya. Ia merasakan suasana cinta, rasa takut, dan kebingungan. Nabi Adam sangat cinta kepada Allah SWT yang telah menciptakannya dan memuliakannya dengan memerintahkan para malaikat-Nya untuk sujud kepadanya. Adam juga merasa takut saat melihat Allah SWT marah terhadap iblis dan mengusirnya dari pintu rahmat-Nya. Ia merasakan kebingungan ketika melihat makhluk ini yang membencinya, padahal ia belum mengenalnya. Makhluk itu membayangkan bahwa ia lebih baik dari Nabi Adam, padahal tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa salah satu dari mereka lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
Kemudian alangkah anehnya alasan iblis. Ia membayangkan bahwa api lebih baik dari tanah. Dari mana ia mendapatkan ilmu ini? Seharusnya ilmu ini berasal dari Allah SWT karena Dialah yang menciptakan api dan tanah dan mengetahui mana di antara keduanya yang paling utama.
Dari dialog tersebut, Nabi Adam mengetahui bahwa iblis adalah makhluk yang memakai atribut keburukan dan sifat yang tercela. Ia meminta kepada Allah SWT agar mengekalkannya sampai hari kebangkitan. Iblis tidak ingin mad. Namun Allah SWT mengetahui bahwa ia akan tetap hidup sampai hari yang ditentukan. Ia akan hidup sampai menjemput ajalnya dan kemudian mati. Nabi Adam mengetahui bahwa Allah SWT telah melaknat iblis dan telah mengusirnya dari rahmat-Nya. Akhirnya, Nabi Adam mengetahui musuh abadinya. Nabi Adam bingung dengan kenekatan musuhnya dan kasih sayang Allah SWT.
Barangkali ada seseorang yang bertanya kepada saya:”Mengapa Anda tidak meyakini terjadi dialog antara Allah SWT dan para malaikat-Nya dan Anda cenderung menakwilkan ayat-ayat tersebut, sedangkan Anda menerima adanya dialog antara Allah dan iblis.”
Saya jawab: “Sesungguhnya akal menunjukkan kita kepada kesimpulan tersebut. Terjadinya dialog antara Allah SWT dan para malaikat-Nya adalah hal yang mustahil karena para malaikat suci dari kesalahan dan dosa dan keinginan-keinginan manusiawi yang selalu mencari ilmu. Sesuai dengan karakter penciptaan mereka, mereka adalah pasukan yang setia dan mulia. Adapun iblis ia terikat dan tunduk terhadap ketentuan agama, dan karakternya sebagai jin mendekati karakter jenis ciptaan Nabi Adam. Dengan kata lain, bahwa jin dapat beriman dan dapat juga menjadi kafir. Sesungguhnya kecenderungan agama mereka dapat saja tidak berfungsi ketika mereka tertipu oleh kesombongan yang palsu sehingga mereka mempunyai gambaran yang salah. Maka dari sisi inilah terjadi dialog. Dialog di sini berarti kebebasan. Tabiat manusia dan jin cenderung untuk menggunakan kebebasannya, sedangkan tabiat para malaikat tidak dapat menggunakan kebebasan. Nabi Adam menyaksikan secara langsung—setelah penciptaannya— kadar kebebasan yang Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya yang terkena tanggung jawab. Terjadinya pelajaran ini di depan Nabi Adam mengandung maksud yang dalam.
Allah SWT tidak pernah mencabut kebebasan yang diberikan-Nya kepada iblis. Namun pada akhirnya, iblis tetap sebagai hamba yang kafir. Iblis benar-benar menolak untuk sujud kepada Nabi Adam. Allah SWT mengetahui bahwa ia akan menolak untuk sujud kepada Nabi Adam dan akan menentang-Nya. Bisa saja Allah SWT menghancurkannya atau mengubahnya menjadi tanah namun Allah memberikan kebebasan kepada makhluk-makhluk-Nya yang dibebani tanggung jawab. Dia memberikan kepada mereka kebebasan mutlak sehingga mereka bisa saja menolak perintah-Nya. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa keingkaran orang-orang kafir dan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya tidak berarti meng-urangi kebesaran kerajaan-Nya dan sebaliknya, keimanan orang-orang mukmin dan kepatuhan orang-orang yang taat tidak berarti menambah kebesaran kekuasaan-Nya. Semua itu kembali kepada mereka.
Adam menyadari bahwa kebebasan di alam wujud adalah merupakan karunia yang Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya. Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas penggunaan kebebasan itu. Setelah mempelajari pelajaran kebebasan, Nabi Adam mempelajari pelajaran kedua dari Allah SWT, yaitu ilmu. Nabi Adam mengetahui bahwa iblis adalah simbol kejahatan di alam wujud. Sebagaimana ia mengetahui bahwa para malaikat adalah simbol kebaikan, sementara ia belum mengenal dirinya saat itu. Kemudian Allah SWT memberitahukan kepadanya tentang hakikatnya, hikrnah penciptaannya, dan rahasia penghormatannya. Allah SWT berfirman:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. ” (QS. al-Baqarah: 31)
Allah SWT memberinya rahasia kemampuan untuk meringkas sesuatu dalam simbol-simbol dan nama-nama. Allah SWT mengajarinya untuk menamakan benda-benda: ini burung, ini bintang, ini pohon, ini awan, dan seterusnya. Nabi Adam mempelajari semua nama-nama tersebut. Yang dimaksud dengan nama-nama di sini adalah ilmu dan pengetahuan. Allah SWT menanamkan pengetahuan yang luas dalam jiwa Nabi Adam dan keinginan yang terus mendorongnya untuk mengetahui sesuatu. Hasrat untuk menggali ilmu dan belajar juga diwariskan kepada anak-anaknya Nabi Adam. Inilah tujuan dari penciptaan Nabi Adam dan inilah rahasia di balik penghormatan para malaikat kepadanya. Setelah Nabi Adam mempelajari nama benda-benda; kekhususannya dan kemanfaatannya, Allah SWT menunjukkan benda-benda tersebut atas para malaikat-Nya dan berkata:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orangyang benar. ” (QS. al-Baqarah: 31)
Yang dimaksud adalah kebenaran mereka untuk menginginkan khilafah. Para malaikat memperhatikan sesuatu yang ditunjukkan oleh Allah SWT kepada mereka, namun mereka tidak mengenali nama-namanya. Mereka mengakui di hadapan Allah SWT tentang kelemahan mereka untuk menamai benda-benda tersebut atau memakai simbol-simbol untuk mengungkapkannya.
Para malaikat berkata sebagai bentuk pengakuan terhadap ketidakmampuan mereka:
“Maha Suci Engkau.” (QS. al-Baqarah: 32)
Yakni, kami menyucikan-Mu dan mengagungkan-Mu.
“Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 32)
Yakni, mereka mengembalikan semua ilmu kepada Allah SWT. Allah SWT berkata kepada Adam:
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” (QS. al-Baqarah: 33)
Kemudian Nabi Adam memberitahu mereka setiap benda yang Allah SWT tunjukkan kepada mereka dan mereka tidak mengenali nama-namanya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat itu lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?’” (QS. al-Baqarah: 31-33)
Allah SWT ingin berkata kepada para malaikat, bahwa Dia mengetahui keheranan yang mereka tunjukkan, ketika Dia memberitahu mereka tentang penciptaan Nabi Adam sebagaimana Dia mengetahui kebingungan yang mereka sembunyikan dan sebagaimana juga Dia mengetahui kemaksiatan dan pengingkaran yang disembunyikan oleh iblis.
Para malaikat menyadari bahwa Nabi Adam adalah makhluk yang mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui. Ini adalah hal yang sangat mulia. Dan para malaikat mengetahui, mengapa Allah memerintahkan mereka untuk bersujud kepadanya sebagaimana mereka memahami rahasia penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi, di mana ia akan menguasainya dan memimpin di dalamnya dengan ilmu dan pengetahuan. Yaitu, pengetahuan terhadap Sang Pencipta yang kemudian dinamakan dengan Islam atau iman. Para malaikat pun mengetahui sebab-sebab kemakmuran bumi dan pengubahannya dan penguasaanya, serta semua hal yang berkenaan dengan ilmu-ilmu mated di muka bumi.
Adalah hal yang maklum bahwa kesempurnaan manusia tidak akan terwujud kecuali dengan pencapaian ilmu yang dengannya manusia dapat mengenal Sang Pencipta, dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan alam. Jika manusia berhasil di satu sisi, namun gagal di sisi yang lain maka ia laksana burung yang terbang dengan sayap satu di mana setiap kali ia terbang sayap yang lain mencegahnya.
Nabi Adam mengetahui semua nama-nama dan terkadang ia berbicara bersama para malaikat, namun para malaikat disibukkan dengan ibadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Adam merasa kesepian. Kemudian Adam tidur dan tatkala ia bangun ia mendapati seorang perempuan yang memiliki mata yang indah, dan tampak penuh dengan kasih sayang. Kemudian terjadilah dialog di antara mereka:
Adam berkata: “Mengapa kamu berada di sini sebelum saya tidur.” Perempuan itu menjawab: “Ya.” Adam berkata: “Kalau begitu, kamu datang di tengah-tengah tidurku?” Ia menjawab: ‘Ya.” Adam bertanya: “Dari mana kamu datang?” Ia menjawab: “Aku datang dari dirimu. Allah SWT menciptakan aku darimu saat kamu tidur.” Adam bertanya: “Mengapa Allah menciptakan kamu?” Ia menjawab: “Agar engkau merasa tenteram denganku.” Adam berkata: “Segala puji bagi Allah. Aku memang merasakan kesepian.”
Para malaikat bertanya kepada Adam tentang namanya. Nabi Adam menjawab: “Namanya Hawa.” Mereka bertanya: “Mengapa engkau menamakannya Hawa, wahai Adam?” Adam berkata: “Karena ia diciptakan dariku saat aku dalam keadaan hidup.”
Nabi Adam adalah makhluk yang suka kepada pengetahuan. Ia membagi pengetahuannya kepada Hawa, di mana ia menceritakan apa yang diketahuinya kepada pasangannya itu, sehingga Hawa mencintainya. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
Kita tidak mengetahui tempat surga ini. Al-Qur’an tidak membicarakan tempatnya, dan para mufasir berbeda pendapat tentang hal itu. Sebagian mereka berkata: “Itu adalah surga yang bakal dihuni oleh manusia (jannah al-Ma’wa) dan tempatnya di langit.” Namun sebagian lagi menolak pendapat tersebut. Sebab jika ia adalah jannah al-Ma’wa maka iblis tidak dapat memasukinya dan tidak akan terjadi kemaksiatan di dalamnya. Sebagian lagi mengatakan: “Ia adalah surga yang lain, yang Allah ciptakan untuk Nabi Adam dan Hawa.” Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa ia adalah surga (taman) dari taman-taman bumi yang terletak di tempat yang tinggi. Dan sekelompok mufasir yang lain menganjurkan agar kita menerima ayat tersebut apa adanya dan menghentikan usaha untuk mencari hakikatnya. Kami sendiri sependapat dengan hal ini. Sesungguhnya pelajaran yang dapat kita ambil berkenaan dengan penentuan tempatnya tidak sedikit pun menyamai pelajaran yang dapat kita ambil dari apa yang terjadi di dalamnya.
Nabi Adam dam Hawa memasuki surga dan di sana mereka berdua merasakan kenikmatan manusiawi semuanya. Di sana mereka juga mengalami pengalaman-pengalaman yang berharga. Kehidupan Nabi Adam dan Hawa di surga dipenuhi dengan kebebasan yang tak terbatas. Dan Nabi Adam mengetahui makna kebahagiaan yang ia rasakan pada saat ia berada di surga bersama Hawa. Ia tidak lagi mengalami kesepian. Ia banyak menjalin komunikasi dengan Hawa. Mereka menikmati nyanyian makhluk, tasbih sungai-sungai, dan musik alam sebelum ia mengenal bahwa alam akan disertai dengan penderitaan dan kesedihan. Allah SWT telah mengizinkan bagi mereka untuk mendekati segala sesuatu dan menikmati segala sesuatu selain satu pohon, yang barangkali ia adalah pohon penderitaan atau pohon pengetahuan. Allah SWT berkata kepada mereka sebelum memasuki surga:
“Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
Nabi Adam dan Hawa mengerti bahwa mereka dilarang untuk memakan sesuatu dari pohon ini, namun Nabi Adam adalah manusia biasa, dan sebagai manusia ia lupa dan hatinya berbolak-balik serta tekadnya melemah. Maka iblis memanfaatkan kemanusiaan Nabi Adam dan mengumpulkan segala kedengkiannya yang disembunyikan dalam dadanya. Iblis terus berusaha membangkitkan waswas dalam diri Nabi Adam. Apakah aku akan menunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak akan sirna? Nabi Adam bertanya-tanya dalam dirinya. Apa yang akan terjadi seandainya ia memakan buah tersebut, barangkali itu benar-benar pohon keabadian. Nabi Adam memang memimpikan untuk kekal dalam kenikmatan dan kebebasan yang dirasakannya dalam surga.
Berlalulah waktu di mana Nabi Adam dan Hawa sibuk memikirkan pohon itu. Kemudian pada suatu hari mereka menetapkan untuk memakan pohon itu. Mereka lupa bahwa Alllah SWT telah mengingatkan mereka agar tidak mendekatinya. Mereka lupa bahwa iblis adalah musuh mereka sejak dahulu. Nabi Adam mengulurkan tangannya ke pohon itu dan memetik salah satu buahnya dan kemudian memberikannya kepada Hawa. Akhirnya mereka berdua memakan buah terlarang itu.Allah SWT berfirman:
“Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS. Thaha: 121)
Tidak benar apa yang disebutkan oleh kitab-kitab kaum Yahudi bahwa Hawa menggoda Nabi Adam yang karenanya ia bertanggung jawab terhadap pemakanan buah itu. Nas Al-Qur’an tidak menyebut Hawa, namun ia menyebut Nabi Adam sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Demikianlah setan disalahkan dan Nabi Adam juga disalahkan karena kesombongan. Salah seorang dari mereka menghina manusia, dan yang lain ingin menjadi tandingan bagi Allah SWT dalam hal kekekalan.
Belum selesai Nabi Adam memakan buah tersebut sehingga ia merasakan penderitaan, kesedihan, dan rasa malu. Berubahlah keadaan di sekitamya dan berhentilah musik indah yang memancar dari dalam dirinya. Ia mengetahui bahwa ia tak berbusana, demikian juga istrinya. Akhirnya, ia mengetahui bahwa ia seorang lelaki dan bahwa istrinya seorang wanita. Ia dan istrinya mulai memetik daun-daun pohon untuk menutup tubuh mereka yang terbuka. Kemudian Allah SWT mengeluarkan perintah agar mereka turun dari surga.
Lalu setelah diusir dari surga, dimanakah Adam dan Hawa diturunkan, dan dimanakah bertemunya? Belum ada keterangan yang paling shahih tentang itu. Namun, sebagian ulama sepakat, bahwa keduanya diturunkan secara terpisah dan kemudian bertemu di Jabal Rahmah, di Arafah.
Menurut Al-Imam At-Thabari dalam Tarikhnya (jilid 1 hlm 121-126), bahwa Mujahid meriwayatkan keterangan Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib yang mengatakan : ”Adam diturunkan dari surga ke bumi di negeri India.” Abu Shaleh meriwayatkan juga dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Hawa diturunkan di Jeddah (Arab : Nenek perempuan) yang merupakan bagian dari Makkah. Kemudian dalam riwayat lain At-Thabari meriwayatkan lagi bahwa iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan Wasith. Sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran).
Riwayat lain menyebutkan, Adam diturunkan di bukit Shafa dan Siti Hawa di bukit Marwah. Sedangkan riwayat lain menyebutkan Adam AS diturunkan di antara Makkah dan Thaif. Ada pula yang berpendapat Adam di turunkan di daerah India, sementara Hawa diturunkan di Irak.
Al-quran sendiri tidak menerangkan secara jelas dimana Adam dan Hawa diturunkan. Alquran hanya menjelaskan tentang proses diturunkanya Adam dan Hawa ke bumi. Lihat Al-Baqarah [2]:30-38 dan Al-A’raaf [7]:11-25.
Sementara itu, menurut legenda dalam agama Kristen, setelah diusir dari Taman Eden (surga), Adam pertama kali menjejakkan kakinya di muka bumi di sebuah gunung yang dikenal sebagai Puncak Adam atau Al-Rohun yang kini terdapat di Sri Lanka.
Bila sebagian ulama berselisih pendapat mengenai tempat diturunkannya Adam dan Hawa, namun mereka bersepakat kalau keduanya kemudian bertemu di Jabal Rahmah, setelah terpisah selama ratusan tahun.
Keyakinan bahwa bertemunya Adam dan Hawa di Jabal Rahmah di Arafah itu kemudian dikukuhkan dengan dibangunnya sebuah tugu oleh pemerintah Arab Saudi di tempat tersebut.
Nabi Adam dan Hawa turun ke bumi. Mereka keluar dari surga. Nabi Adam dalam keadaan sedih sementara Hawa tidak henti-hentinya menangis. Karena ketulusan taubat mereka, akhirnya Allah SWT menerima taubat mereka dan Allah SWT memberitahukan kepada mereka bahwa bumi adalah tempat mereka yang asli, di mana mereka akan hidup di dalamnya, mati di atasnya, dan akan dibangkitkan darinya pada hari kebangkitan. Allah SWT berfirman:
“Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan. ” (QS. al-A’raf: 25)
Kemudian Allah SWT menceritakan kisah tentang pelajaran ketiga yang diperoleh Nabi Adam selama keberadaannya di surga dan setelah keluarnya ia darinya dan turunnya ia ke bumi.
Allah SWT berfirman:
“Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali Mis. la membangkang. Maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan ditimpa panas matahari di dalamnya.’ Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa ?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.’” (QS. Thaha: 115-123)
Sebagian orang menganggap bahwa Nabi Adam keluar dari surga karena kesalahannya dan kemaksiatannya. Ini adalah anggapan yang tidak benar karena Allah SWT berkehendak menciptakan Nabi Adam di mana Dia berkata kepada malaikat: “Sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Dan Dia tidak mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di surga.”
Tidaklah turunnya Nabi Adam ke bumi sebagai penurunan penghinaan tetapi ia merupakan penurunan kemuliaan sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi. Allah SWT mengetahui bahwa Nabi Adam dan Hawa akan memakan buah itu, dan selanjutnya mereka akan turun ke bumi. Allah SWT juga mengetahui bahwa setan akan merampas kebebasan mereka. Pengalaman merupakan dasar penting dari proses menjadi khalifah di muka bumi agar Nabi Adam dan Hawa mengetahui—begitu juga keturunan mereka— bahwa setan telah mengusir kedua orang tua mereka dari surga, dan bahwa jalan menuju surga dapat dilewati dengan ketaatan kepada Allah SWT dan permusuhan pada setan.
Apakah dikatakan kepada kita bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa, dan bahwa Nabi Adam terpaksa atau dipaksa untuk berbuat kesalahan sehingga ia keluar dari surga dan kemudian turun ke bumi? Sebenarnya anggapan ini tidak kalah bodohnya dari anggapan pertama. Sebab, Nabi Adam merasakan kebebasan sepenuhnya, yang karenanya ia mengemban tanggung jawab dari perbuatannya. Ia durhaka dan memakan buah tersebut sehingga Allah SWT mengeluarkannya dari surga. Maksiat yang dilakukannya tidak berlawanan dengan kebebasannya, bahkan keberadaannya yang asli bersandar kepada kebebasannya. Alhasil, Allah SWT mengetahui apa yang bakal terjadi. Dia mengetahui sesuatu sebelum terjadinya sesuatu itu. Pengetahuan-Nya itu berarti cahaya yang menyingkap, bukan kekuatan yang memaksa. Dengan kata lain, Allah SWT mengetahui apa yang akan terjadi, tetapi Dia tidak men-cegahnya atau mendorongnya agar terjadi. Allah SWT memberikan kebebasan kepada hamba-hamba-Nya dan semua makhluk-Nya. Yang demikian itu berkenaan dengan hikmah-Nya yang tinggi dalam memakmurkan bumi dan mengangkat khalifah di dalamnya.
Nabi Adam memahami pelajaran ketiga. Ia memahami bahwa iblis adalah musuhnya. Secara pasti ia mengerti bahwa iblis adalah penyebab ia kehilangan nikmat dan penyebab kehancurannya. Ia mengerti bahwa Allah SWT akan menyiksa seseorang jika ia berbuat maksiat, dan bahwa jalan menuju ke surga dapat dilewati dengan ketaatan kepada Allah SWT. Ia memahami bahwa Allah SWT menerima taubat, memaafkan, menyayangi, dan memilih. Allah SWT mengajari mereka agar beristigfar dan mengucapkan:
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 23)
Allah SWT menerima taubatnya dan memaafkannya serta mengirimnya ke bumi. Nabi Adam adalah Rasul pertama bagi manusia. Mulailah kehidupan Nabi Adam di bumi. Ia keluar dari surga dan berhijrah ke bumi, dan kemudian ia menganjurkan hal tersebut (hijrah) kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya dari kalangan nabi. Sehingga setiap nabi memulai dakwahnya dan menyuruh kaumnya dengan cara keluar dari negerinya atau berhijrah. Di sana Nabi Adam keluar dari surga sebelum kenabiannya, sedangkan di sini (di bumi) para nabi biasanya keluar (hijrah) setelah pengangkatan kenabian mereka.
Nabi Adam mengetahui bahwa ia meninggalkan kedamaian ketika keluar dari surga. Di bumi ia harus menghadapi penderitaan dan pergulatan, di mana ia harus menanggung kesulitan agar dapat makan, dan ia harus melindungi dirinya dengan pakaian dan senjata, serta melindungi istrinya dan anak-anaknya dari serangan binatang buas yang hidup di bumi. Sebelum semua itu dan sesudahnya, ia harus meneruskan pertempurannya dengan pangkal kejahatan yang menyebabkannya keluar dari surga, yaitu setan. Di bumi, setan membuat waswas kepadanya dan kepada anak-anaknya sehingga mereka masuk dalam neraka Jahim. Pertempuran antara pasukan kebaikan dan pasukan kejahatan di bumi tidak akan pernah berhenti. Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk Allah SWT, ia tidak akan merasakan ketakutan dan kesedihan, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah SWT dan mengikuti makhluk api, iblis, maka ia akan bersamanya di neraka.
Nabi Adam mengerti semua ini. Ia menyadari bahwa penderitaan akan menyertai kehidupannya di atas bumi. Satu-satunya yang dapat meringankan kesedihannya adalah, bahwa ia menjadi penguasa di bumi, yang karenanya ia harus menundukkannya, memakmurkannya, dan membangunnya serta melahirkan keturunan yang baik di dalamnya, sehingga mereka dapat mengubah kehidupan dan membuatnya lebih baik. Hawa melahirkan dalam satu perut seorang lelaki dan seorang perempuan, dan pada perut berikutnya seorang lelaki dan seorang perempuan, maka dihalalkan perkawinan antara anak lelaki dari perut pertama dengan anak perempuan dari perut kedua. Akhirnya, anak-anak Nabi Adam menjadi besar dan menikah serta memenuhi bumi dengan keturunannya.
Nabi Adam mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Nabi Adam menyaksikan kecenderungan pertama dari anaknya terhadap pangkal kejahatan, yaitu iblis sehingga terjadilah kejahatan pembunuhan yang pertama kali di muka bumi. Salah seorang anak Nabi Adam membunuh saudara kandungnya sendiri. Anak yang jahat itu membunuh saudaranya yang baik. Allah berfirman:
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterimalah dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).” (QS. al-Maidah: 27)
Dikatakan bahwa pembunuh ingin merebut istri saudara kandungannya untuk dirinya sendiri. Nabi Adam memerintahkan mereka berdua untuk menghadirkan kurban lalu setiap dari mereka menghadirkan kurban yang dimaksud. Allah SWT menerima kurban dari salah satu dari mereka dan menolak kurban yang lain:
“Ia (Qabil) berkata: ‘Aku pasti membunuhmu.’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam.” (QS. al-Maidah: 27-28)
Perhatikanlah bagaimana Allah SWT menyampaikan kepada kita kalimat-kalimat yang diucapkan oleh anak Nabi Adam yang terbunuh sebagai syahid, dan ia menyembunyikan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh si pembunuh. Si pembunuh mengangkat tangannya sambil mengancam, namun calon korban pembunuhan itu berkata dengan tenang:
"Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang lalim. ” (QS. al-Maidah: 29)
Selesailah percakapan antara mereka berdua dan anak yang jahat itu membiarkan anak yang baik beberapa saat. Setelah beberapa hari, saudara yang baik itu tidur di tengah-tengah hutan yang penuh dengan pohon. Di hutan itu, keledai tua mati dan dagingnya dimakan oleh burung Nasar dan darahnya ditelan oleh bumi. Yang tersisa hanya tulang belulang berserakan di tanah. Kemudian saudaranya yang jahat membawanya menuju saudara kandungnya yang sedang tidur, lalu ia mengangkat tangannya dan menjatuhkan dengan keras dan cepat. Anak laki-laki baik itu tampak pucat wajahnya ketika melihat darah mengucur darinya, lalu ia bangun. Ia bermimpi saat tidur. Lalu si pembunuh menghantam saudaranya sehingga tidak tampak lagi gerakan dari tubuhnya. Si pembunuh puas bahwa saudara kandungnya benar-benar mati. Pembunuh itu berdiri di depan korban dengan tenang dan tampak pucat wajahnya.
Rasulullah saw bersabda: “Setiap orang yang membunuh jiwa yang tak berdosa maka anak Adam yang pertama akan juga menanggung dosanya karena ia yang pertama kali mengajarkan pembunuhan.” Si pembunuh terduduk di depan saudaranya dalam keadaan berlumuran darah. Apa yang akan dikatakannya terhadap Nabi Adam, ayahnya, jika ia bertanya kepadanya tentang hal itu. Nabi Adam mengetahui bahwa mereka berdua keluar bersama-sama lalu mengapa ia kembali sendinan. Seandainya ia mengingkari pembunuhan terhadap saudaranya itu di depan ayahnya, maka di manakah ia dapat menyembunyikan jasadnya, dan di mana ia dapat membuangnya? Saudaranya yang terbunuh itu merupakan manusia yang pertama kali mad di muka bumi sehingga tidak diketahui bagaimana cara menguburkan orang yang mati. Pembunuh itu membawa jasad saudara kandungnya dan memikulnya. Tiba-tiba keheningan itu dipecah dengan suara burung yang berteriak sehingga ia merasa ketakutan. Pembunuh itu menoleh dan menemukan seekor burung gagak yang berteriak di atas bangkai burung gagak yang mati. Burung gagak yang hidup meletakkan bangkai burung gagak yang mad di atas tanah lalu ia mulai menggali tanah dengan paruhnya dan kedua kakinya. Kemudian ia mengangkatnya dengan paruhnya dan meletakkannya dengan lembut dalam kuburan. Lalu ia menimbunkannya di atas tanah. Setelah itu, ia terbang di udara dan kembali berteriak. Si pembunuh berdiri dan ia mundur untuk meraih jasad saudara kandungnya dan kemudian berteriak:
“Berkata Qabil: ‘Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan saudaraku ini?” (QS. al-Maidah: 31)
Ia mulai merasakan kesedihan yang sangat dalam atas apa yang telah dilakukannya terhadap saudaranya. Ia segera menyadari bahwa ia adalah orang yang paling buruk dan paling lemah. Ia telah membunuh orang yang paling utama dan paling kuat. Anak Nabi Adam berkurang satu dan iblis berhasil “mencuri” seorang anak Nabi Adam. Bergetarlah tubuh si pembunuh dan ia mulai menangis dengan keras, lalu ia menggali kuburan saudara kandungnya. Ketika mendengar kisah tersebut Nabi Adam berkata:
“Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata.” (QS. al-Qashash: 15)
Nabi Adam merasakan kesedihan mendalam atas hilangnya salah satu anaknya. Salah seorang dari mereka mati dan yang lain dikuasai oleh setan. Nabi Adam salat untuk anaknya yang mati, dan kemudian ia kembali menjalani kehidupannya di muka bumi. Beliau adalah manusia yang bekerja dan mengalami penderitaan. Seorang Nabi yang menasihati anak-anaknya dan cucu-cucunya, serta mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Beliau menceritakan kejahatan iblis kepada mereka, dan meminta kepada mereka agar berhati-hati darinya. Beliau menceritakan pengalaman pribadinya bersama iblis kepada mereka, dan menceritakan kehidupannya bersama anaknya yang tega membunuh saudara kandungnya sendiri.
Nabi Adam telah menjadi dewasa, lalu tahun demi tahun datang silih berganti sehingga anak-anaknya tersebar di bumi, lalu datanglah waktu malam di atas bumi. Angin bertiup sangat kencang. Dan bergoncanglah daun-daun pohon tua yang ditanam oleh Nabi Adam, di mana dahan-dahannya mendekati danau sehingga buahnya menyentuh air danau. Dan ketika pohon itu menjadi tegak setelah berlalunya angin, air mulai berjatuhan di antara cabang-cabangnya dan tampak dari jauh bahwa pohon itu sedang menarik dirinya (memisahkan diri) dari air dan menangis. Pohon itu sedih dan dahan-dahannya berguncang. Sementara itu, di langit tampak bahwa bintang-bintang juga berguncang. Cahaya bulan menerobos kamar Nabi Adam sehingga cahaya itu menerpa wajah Nabi Adam. Wajah Nabi Adam tampak lebih pucat dan lebih muram dari wajah bulan. Bulan mengetahui bahwa Nabi Adam akan mati.
Kamar yang sederhana, kamarnya Nabi Adam. Nabi Adam tertidur dengan jenggotnya yang putih dan wajahnya yang bersinar di atas tempat ddur dari dahan-dahan pohon dan bunga-bunga. Anak-anaknya semua berdiri di sekelilingnya dan menunggu wasiatnya. Nabi Adam berbicara dan memahamkan anak-anaknya bahwa hanya ada satu perahu keselamatan bagi manusia, dan hanya ada satu senjata baginya yang dapat menenangkannya. Perahu itu adalah petunjuk Allah SWT dan senjata itu adalah kalimat-kalimat Allah SWT.
Nabi Adam menenangkan anak-anaknya, bahwa Allah SWT tidak akan membiarkan manusia sendirian di muka bumi. Sesungguhnya Dia akan mengutus para nabi untuk membimbing mereka dan menyelamatkan mereka. Para nabi itu memiliki nama-nama, sifat-sifat, dan mukjizat-mukjizat yang berbeda-beda. Tetapi mereka dipertemukan dengan satu hal, yaitu mengajak untuk menyembah Allah SWT semata.
Demikianlah wasiat Nabi Adam kepada anak-anaknya. Akhirnya, Nabi Adam menutup kedua matanya, dan para malaikat memasuki kamarnya dan mengelilinginya. Had Nabi Adam tersenyum ketika mendapatkan kata salam yang dalam, dan rohnya mencium bau bunga surga.
Sumber: arhamlawa, wikipedia.org, islamdigest.net
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. ” (QS. al-Baqarah: 30)
Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan makna khilafah (perihal menjadi khalifah) Nabi Adam (berarti tanah, manusia, atau cokelat muda; bahasa Ibrani: אָדָם; bahasa Arab: آدم). Ada yang mengatakan, bahwa ia sebagai khalifah dari kelompok manusia yang pertama-tama datang ke bumi di mana kelompok ini membuat kerusakan dan menumpahkan darah di dalamnya. Ada yang mengatakan, bahwa ia adalah khalifatullah, dengan pengertian bahwa ia sebagai khalifah (utusan Allah) dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan hukum-hukum-Nya, karena ia adalah utusan Allah yang pertama. Adam adalah bapak umat manusia (abu al- basyar). Allah Swt. menciptakan baginya pasangan atau istri. Kini keturunan Adam di dunia terdiri atas berbagai ras dan suku dengan warna kulit dan bahasa yang beragam.
Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah saw tentang Nabi Adam: “Apakah ia sebagai nabi yang diutus?” Beliau menjawab: “Benar.” Beliau ditanya: “Ia menjadi rasul bagi siapa? Sementara di bumi tidak ada seorang pun?” Beliau menjawab: “Ia menjadi rasul bagi anak-anaknya.”
Tabir penciptaan disingkap di tengah-tengah para malaikat-Nya. Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
Berkenaan dengan ayat tersebut, para mufasir memberikan komentar yang beragam. Dalam tafsir al-Manar disebutkan: “Sesungguhnya ayat-ayat ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat yang tidak dapat ditafsirkan zahirnya. Sebab, dilihat dari ketentuan dialog (at-Takhathub) ia mengandung konsultasi dari Allah SWT. Tentu yang demikian itu mustahil bagi-Nya. Di samping itu, ia juga mengandung pemberitahuan dari-Nya kepada para malaikat yang kemudian diikuti dengan penentangan dan perdebatan dari mereka. Hal seperti ini tidak layak bagi Allah SWT dan bagi para malaikat-Nya. Saya lebih setuju untuk mengalihkan makna cerita tersebut pada sesuatu yang lain.”
Sedangkan dalam tafsir al-Jami’ li Ahkamil Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya Allah telah memberitahukan kepada para malaikat-Nya, bahwa jika Dia menjadikan ciptaan di muka bumi maka mereka akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah.”
Ketika Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi, ” (QS. al-Baqarah: 30). Mereka bertanya: “Apakah ini adalah khalifah yang Engkau ceritakan kepada kami bahwa mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah, ataukah khalifah selainnya?”
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya para malaikat melalui fitrah mereka yang suci yang tidak membayangkan kecuali kebaikan dan kesucian, mereka mengira bahwa tasbih dan mengultuskan Allah adalah puncak dari segala wujud. Puncak ini terwujud dengan adanya mereka, sedangkan pertanyaan mereka hanya menggambarkan keheranan mereka, bukan berasal dari penentangan atau apa pun juga.”
Kita melihat bagaimana para mufasir berijtihad untuk menyingkap hakikat, lalu Allah SWT menyingkapkan kedalaman dari Al-Qur’an pada masing-masing dari mereka. Kedalaman Al-Qur’an sangat mengagumkan. Kisah tersebut disampaikan dalam gaya dialogis, suatu gaya yang memiliki pengaruh yang kuat. Tidakkah Anda melihat bahwa Allah SWT berfirman:
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’” (QS. Fushshilat: 11)
Apakah seseorang membayangkan bahwa Allah SWT berbicara dengan langit dan bumi, dan bumi dan langit pun menjawabnya sehingga terjadi dialog ini di antara mereka? Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan langit dan bumi sehingga keduanya taat. Allah SWT menggambarkan apa yang terjadi dengan gaya dialogis hanya untuk meneguhkan dalam pikiran dan menegaskan maknanya serta penjelasannya. Penggunaan gaya dramatis dalam kisah Nabi Adam mengisyaratkan makna yang dalam.
Kita membayangkan bahwa Allah SWT ketika menetapkan penciptaan Nabi Adam, Dia memberitahukan kepada malaikat-Nya dengan tujuan agar mereka bersujud kepadanya, bukan dengan tujuan mengambil pendapat mereka atau bermusyawarah dengan mereka. Maha Suci Allah SWT dari hal yang demikian itu. Allah SWT memberitahukan mereka bahwa Dia akan menjadikan seorang hamba di muka bumi, dan bahwa khalifah ini akan mempunyai keturunan dan cucu-cucu, di mana mereka akan membuat kerusakkan di muka bumi dan menumpahkan darah di dalamnya. Lalu para malaikat yang suci mengalami kebingungan. Bukankah mereka selalu bertasbih kepada Allah dan mensucikan-Nya, namun mengapa khalifah yang terpilih itu bukan termasuk dari mereka? Apa rahasia hal tersebut, dan apa hikmah Allah dalam masalah ini? Kebingungan melaikat dan keinginan mereka untuk mendapatkan kemuliaan sebagai khalifah di muka bumi, dan keheranan mereka tentang penghormatan Adam dengannya, dan masih banyak segudang pertanyaan yang tersimpan dalam diri mereka. Namun Allah SWT segera menepis keraguan mereka dan kebingungan mereka, dan membawa mereka menjadi yakin dan berserah diri. Firman-Nya:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. al-Baqarah: 30)
Ayat tersebut menunjukan keluasan ilmu Allah SWT dan keterbatasan ilmu para malaikat, yang karenanya mereka dapat berserah diri dan meyakini kebenaran kehendak Allah. Kita tidak membayangkan terjadinya dialog antara Allah SWT dan para malaikat sebagai bentuk pengultusan terhadap Allah dan penghormatan terhadap para malaikat-Nya. Dan kita meyakini bahwa dialog terjadi dalam diri malaikat sendiri berkenaan dengan keinginan mereka untuk mengemban khilafah di muka bumi, kemudian Allah SWT memberitahu mereka bahwa tabiat mereka bukan disiapkan untuk hal tersebut.
Sesungguhnya tasbih pada Allah SWT dan menyucikan-Nya adalah hal yang sangat mulia di alam wujud, namun khilafah di muka bumi bukan hanya dilakukan dengan hal itu. Ia membutuhkan karakter yang lain, suatu karakter yang haus akan pengetahuan dan lumrah baginya kesalahan. Kebingungan atau keheranan ini, dialog yang terjadi dalam jiwa para malaikat setelah diberitahu tentang penciptaan Nabi Adam, semua ini layak bagi para malaikat dan tidak mengurangi kedudukan mereka sedikit pun. Sebab, meskipun kedekatan mereka dengan Allah SWT dan penyembahan mereka terhadap-Nya serta penghormatan-Nya kepada mereka, semua itu tidak menghilangkan kedudukan mereka sebagai hamba Allah SWT di mana mereka tidak mengetahui ilmu Allah SWT dan hikmah-Nya yang tersembunyi, serta alam gaibnya yang samar. Mereka tidak mengetahui hikmah-Nya yang tinggi dan sebab-sebab perwujudannya pada sesuatu.
Setelah beberapa saat para malaikat akan memahami bahwa Nabi Adam adalah ciptaan baru, di mana dia berbeda dengan mereka yang hanya bertasbih dan menyucikan Allah, dan dia pun berbeda dengan hewan-hewan bumi dan makhluk-makhluk yang ada di dalamnya yang hanya menumpahkan darah dan membuat kerusakkan. Sesungguhnya Nabi Adam akan menjadi ciptaan baru dan keberadaannya disertai dengan hikmah yang tinggi yang tidak ada seorang pun mengetahuinya kecuali Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Dan Aku tidak menciptkan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Ibnu Abbas membaca ayat tersebut: “Liya’rifuun” (agar mereka mengenal Aku). Pengetahuan merupakan tujuan dari penciptaan manusia. Dan barangkali pendekatan yang terbaik berkenaan dengan tafsir ayat tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Syekh Muhammad Abduh: “Dialog yang terdapat dalam ayat tersebut adalah urusan Allah SWT dengan para malaikat-Nya di mana Dia menggambarkan kepada kita dalam kisah ini dengan ucapan, pertanyaan, dan jawaban. Kita tidak mengetahui hakikat hal tersebut. Tetapi kita mengetahui bahwa dialog tersebut tidak terjadi sebagaimana lazimnya yang dilakukan oleh sesama kita, manusia.”
Para malaikat mengetahui bahwa Allah SWT akan menciptakan khalifah di muka bumi. Allah SWT menyampaikan perintah-Nya kepada mereka secara terperinci. Dia memberitahukan bahwa Dia akan menciptakan manusia dari tanah. Maka ketika Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh di dalamnya, para malaikat harus bersujud kepadanya. Yang harus dipahami bahwa sujud tersebut adalah sujud penghormatan, bukan sujud ibadah, karena sujud ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.’ Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; hendaklah kamu bersyukur dengan bersujud kepadanya. ‘ Lalu seluruh malikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis. Dia menyombongkan diri dan dia termasuk orang-orang yang kafir. ” (QS. Shad: 71-74)
Allah SWT mengumpulkan segenggam tanah dari bumi; di dalamnya terdapat yang berwarna putih, hitam, kuning, coklat dan merah. Oleh karena itu, manusia memiliki beragam warna kulit. Allah SWT mencampur tanah dengan air sehingga menjadi tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dari tanah inilah Allah menciptakan Nabi Adam. Allah SWT menyempurnakannya dengan kekuasaan-Nya lalu meniupkan roh-Nya di dalamnya, kemudian bergeraklah tubuh Nabi Adam dan tanda kehidupan mulai ada di dalamnya.
Selanjutnya, Nabi Adam membuka kedua matanya dan ia melihat para malaikat semuanya bersujud kepadanya, kecuali satu makhluk yang berdiri di sana. Nabi Adam tidak tahu siapakah makhluk yang tidak mau bersujud itu. Ia tidak mengenal namanya. Iblis berdiri bersama para malaikat tetapi ia bukan berasal dari golongan mereka. Iblis berasal dari kelompok jin. Allah SWT menceritakan kisah penolakan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam pada beberapa surah. Allah SWT berfirman:
“Allah berfirman: ‘Hai Iblis, apa yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi? ‘Iblis berkata: ‘Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.’ Allah berfirman: ‘Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.’ Mis berkata: ‘Ya Tuhanku, ben tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.’ Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat).’ Iblis menjawab: ‘Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.’” (QS. Shad: 75-83)
Nabi Adam mengikuti peristiwa yang terjadi di depannya. Ia merasakan suasana cinta, rasa takut, dan kebingungan. Nabi Adam sangat cinta kepada Allah SWT yang telah menciptakannya dan memuliakannya dengan memerintahkan para malaikat-Nya untuk sujud kepadanya. Adam juga merasa takut saat melihat Allah SWT marah terhadap iblis dan mengusirnya dari pintu rahmat-Nya. Ia merasakan kebingungan ketika melihat makhluk ini yang membencinya, padahal ia belum mengenalnya. Makhluk itu membayangkan bahwa ia lebih baik dari Nabi Adam, padahal tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa salah satu dari mereka lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
Kemudian alangkah anehnya alasan iblis. Ia membayangkan bahwa api lebih baik dari tanah. Dari mana ia mendapatkan ilmu ini? Seharusnya ilmu ini berasal dari Allah SWT karena Dialah yang menciptakan api dan tanah dan mengetahui mana di antara keduanya yang paling utama.
Dari dialog tersebut, Nabi Adam mengetahui bahwa iblis adalah makhluk yang memakai atribut keburukan dan sifat yang tercela. Ia meminta kepada Allah SWT agar mengekalkannya sampai hari kebangkitan. Iblis tidak ingin mad. Namun Allah SWT mengetahui bahwa ia akan tetap hidup sampai hari yang ditentukan. Ia akan hidup sampai menjemput ajalnya dan kemudian mati. Nabi Adam mengetahui bahwa Allah SWT telah melaknat iblis dan telah mengusirnya dari rahmat-Nya. Akhirnya, Nabi Adam mengetahui musuh abadinya. Nabi Adam bingung dengan kenekatan musuhnya dan kasih sayang Allah SWT.
Barangkali ada seseorang yang bertanya kepada saya:”Mengapa Anda tidak meyakini terjadi dialog antara Allah SWT dan para malaikat-Nya dan Anda cenderung menakwilkan ayat-ayat tersebut, sedangkan Anda menerima adanya dialog antara Allah dan iblis.”
Saya jawab: “Sesungguhnya akal menunjukkan kita kepada kesimpulan tersebut. Terjadinya dialog antara Allah SWT dan para malaikat-Nya adalah hal yang mustahil karena para malaikat suci dari kesalahan dan dosa dan keinginan-keinginan manusiawi yang selalu mencari ilmu. Sesuai dengan karakter penciptaan mereka, mereka adalah pasukan yang setia dan mulia. Adapun iblis ia terikat dan tunduk terhadap ketentuan agama, dan karakternya sebagai jin mendekati karakter jenis ciptaan Nabi Adam. Dengan kata lain, bahwa jin dapat beriman dan dapat juga menjadi kafir. Sesungguhnya kecenderungan agama mereka dapat saja tidak berfungsi ketika mereka tertipu oleh kesombongan yang palsu sehingga mereka mempunyai gambaran yang salah. Maka dari sisi inilah terjadi dialog. Dialog di sini berarti kebebasan. Tabiat manusia dan jin cenderung untuk menggunakan kebebasannya, sedangkan tabiat para malaikat tidak dapat menggunakan kebebasan. Nabi Adam menyaksikan secara langsung—setelah penciptaannya— kadar kebebasan yang Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya yang terkena tanggung jawab. Terjadinya pelajaran ini di depan Nabi Adam mengandung maksud yang dalam.
Allah SWT tidak pernah mencabut kebebasan yang diberikan-Nya kepada iblis. Namun pada akhirnya, iblis tetap sebagai hamba yang kafir. Iblis benar-benar menolak untuk sujud kepada Nabi Adam. Allah SWT mengetahui bahwa ia akan menolak untuk sujud kepada Nabi Adam dan akan menentang-Nya. Bisa saja Allah SWT menghancurkannya atau mengubahnya menjadi tanah namun Allah memberikan kebebasan kepada makhluk-makhluk-Nya yang dibebani tanggung jawab. Dia memberikan kepada mereka kebebasan mutlak sehingga mereka bisa saja menolak perintah-Nya. Tetapi yang perlu diperhatikan bahwa keingkaran orang-orang kafir dan orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya tidak berarti meng-urangi kebesaran kerajaan-Nya dan sebaliknya, keimanan orang-orang mukmin dan kepatuhan orang-orang yang taat tidak berarti menambah kebesaran kekuasaan-Nya. Semua itu kembali kepada mereka.
Adam menyadari bahwa kebebasan di alam wujud adalah merupakan karunia yang Allah SWT berikan kepada makhluk-Nya. Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas penggunaan kebebasan itu. Setelah mempelajari pelajaran kebebasan, Nabi Adam mempelajari pelajaran kedua dari Allah SWT, yaitu ilmu. Nabi Adam mengetahui bahwa iblis adalah simbol kejahatan di alam wujud. Sebagaimana ia mengetahui bahwa para malaikat adalah simbol kebaikan, sementara ia belum mengenal dirinya saat itu. Kemudian Allah SWT memberitahukan kepadanya tentang hakikatnya, hikrnah penciptaannya, dan rahasia penghormatannya. Allah SWT berfirman:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. ” (QS. al-Baqarah: 31)
Allah SWT memberinya rahasia kemampuan untuk meringkas sesuatu dalam simbol-simbol dan nama-nama. Allah SWT mengajarinya untuk menamakan benda-benda: ini burung, ini bintang, ini pohon, ini awan, dan seterusnya. Nabi Adam mempelajari semua nama-nama tersebut. Yang dimaksud dengan nama-nama di sini adalah ilmu dan pengetahuan. Allah SWT menanamkan pengetahuan yang luas dalam jiwa Nabi Adam dan keinginan yang terus mendorongnya untuk mengetahui sesuatu. Hasrat untuk menggali ilmu dan belajar juga diwariskan kepada anak-anaknya Nabi Adam. Inilah tujuan dari penciptaan Nabi Adam dan inilah rahasia di balik penghormatan para malaikat kepadanya. Setelah Nabi Adam mempelajari nama benda-benda; kekhususannya dan kemanfaatannya, Allah SWT menunjukkan benda-benda tersebut atas para malaikat-Nya dan berkata:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orangyang benar. ” (QS. al-Baqarah: 31)
Yang dimaksud adalah kebenaran mereka untuk menginginkan khilafah. Para malaikat memperhatikan sesuatu yang ditunjukkan oleh Allah SWT kepada mereka, namun mereka tidak mengenali nama-namanya. Mereka mengakui di hadapan Allah SWT tentang kelemahan mereka untuk menamai benda-benda tersebut atau memakai simbol-simbol untuk mengungkapkannya.
Para malaikat berkata sebagai bentuk pengakuan terhadap ketidakmampuan mereka:
“Maha Suci Engkau.” (QS. al-Baqarah: 32)
Yakni, kami menyucikan-Mu dan mengagungkan-Mu.
“Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Baqarah: 32)
Yakni, mereka mengembalikan semua ilmu kepada Allah SWT. Allah SWT berkata kepada Adam:
“Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” (QS. al-Baqarah: 33)
Kemudian Nabi Adam memberitahu mereka setiap benda yang Allah SWT tunjukkan kepada mereka dan mereka tidak mengenali nama-namanya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat itu lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: ‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?’” (QS. al-Baqarah: 31-33)
Allah SWT ingin berkata kepada para malaikat, bahwa Dia mengetahui keheranan yang mereka tunjukkan, ketika Dia memberitahu mereka tentang penciptaan Nabi Adam sebagaimana Dia mengetahui kebingungan yang mereka sembunyikan dan sebagaimana juga Dia mengetahui kemaksiatan dan pengingkaran yang disembunyikan oleh iblis.
Para malaikat menyadari bahwa Nabi Adam adalah makhluk yang mengetahui sesuatu yang tidak mereka ketahui. Ini adalah hal yang sangat mulia. Dan para malaikat mengetahui, mengapa Allah memerintahkan mereka untuk bersujud kepadanya sebagaimana mereka memahami rahasia penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi, di mana ia akan menguasainya dan memimpin di dalamnya dengan ilmu dan pengetahuan. Yaitu, pengetahuan terhadap Sang Pencipta yang kemudian dinamakan dengan Islam atau iman. Para malaikat pun mengetahui sebab-sebab kemakmuran bumi dan pengubahannya dan penguasaanya, serta semua hal yang berkenaan dengan ilmu-ilmu mated di muka bumi.
Adalah hal yang maklum bahwa kesempurnaan manusia tidak akan terwujud kecuali dengan pencapaian ilmu yang dengannya manusia dapat mengenal Sang Pencipta, dan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan alam. Jika manusia berhasil di satu sisi, namun gagal di sisi yang lain maka ia laksana burung yang terbang dengan sayap satu di mana setiap kali ia terbang sayap yang lain mencegahnya.
Nabi Adam mengetahui semua nama-nama dan terkadang ia berbicara bersama para malaikat, namun para malaikat disibukkan dengan ibadah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, Adam merasa kesepian. Kemudian Adam tidur dan tatkala ia bangun ia mendapati seorang perempuan yang memiliki mata yang indah, dan tampak penuh dengan kasih sayang. Kemudian terjadilah dialog di antara mereka:
Adam berkata: “Mengapa kamu berada di sini sebelum saya tidur.” Perempuan itu menjawab: “Ya.” Adam berkata: “Kalau begitu, kamu datang di tengah-tengah tidurku?” Ia menjawab: ‘Ya.” Adam bertanya: “Dari mana kamu datang?” Ia menjawab: “Aku datang dari dirimu. Allah SWT menciptakan aku darimu saat kamu tidur.” Adam bertanya: “Mengapa Allah menciptakan kamu?” Ia menjawab: “Agar engkau merasa tenteram denganku.” Adam berkata: “Segala puji bagi Allah. Aku memang merasakan kesepian.”
Para malaikat bertanya kepada Adam tentang namanya. Nabi Adam menjawab: “Namanya Hawa.” Mereka bertanya: “Mengapa engkau menamakannya Hawa, wahai Adam?” Adam berkata: “Karena ia diciptakan dariku saat aku dalam keadaan hidup.”
Nabi Adam adalah makhluk yang suka kepada pengetahuan. Ia membagi pengetahuannya kepada Hawa, di mana ia menceritakan apa yang diketahuinya kepada pasangannya itu, sehingga Hawa mencintainya. Allah SWT berfirman:
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, tinggallah kamu dan istrimu di surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
Kita tidak mengetahui tempat surga ini. Al-Qur’an tidak membicarakan tempatnya, dan para mufasir berbeda pendapat tentang hal itu. Sebagian mereka berkata: “Itu adalah surga yang bakal dihuni oleh manusia (jannah al-Ma’wa) dan tempatnya di langit.” Namun sebagian lagi menolak pendapat tersebut. Sebab jika ia adalah jannah al-Ma’wa maka iblis tidak dapat memasukinya dan tidak akan terjadi kemaksiatan di dalamnya. Sebagian lagi mengatakan: “Ia adalah surga yang lain, yang Allah ciptakan untuk Nabi Adam dan Hawa.” Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa ia adalah surga (taman) dari taman-taman bumi yang terletak di tempat yang tinggi. Dan sekelompok mufasir yang lain menganjurkan agar kita menerima ayat tersebut apa adanya dan menghentikan usaha untuk mencari hakikatnya. Kami sendiri sependapat dengan hal ini. Sesungguhnya pelajaran yang dapat kita ambil berkenaan dengan penentuan tempatnya tidak sedikit pun menyamai pelajaran yang dapat kita ambil dari apa yang terjadi di dalamnya.
Nabi Adam dam Hawa memasuki surga dan di sana mereka berdua merasakan kenikmatan manusiawi semuanya. Di sana mereka juga mengalami pengalaman-pengalaman yang berharga. Kehidupan Nabi Adam dan Hawa di surga dipenuhi dengan kebebasan yang tak terbatas. Dan Nabi Adam mengetahui makna kebahagiaan yang ia rasakan pada saat ia berada di surga bersama Hawa. Ia tidak lagi mengalami kesepian. Ia banyak menjalin komunikasi dengan Hawa. Mereka menikmati nyanyian makhluk, tasbih sungai-sungai, dan musik alam sebelum ia mengenal bahwa alam akan disertai dengan penderitaan dan kesedihan. Allah SWT telah mengizinkan bagi mereka untuk mendekati segala sesuatu dan menikmati segala sesuatu selain satu pohon, yang barangkali ia adalah pohon penderitaan atau pohon pengetahuan. Allah SWT berkata kepada mereka sebelum memasuki surga:
“Dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.’” (QS. al-Baqarah: 35)
Nabi Adam dan Hawa mengerti bahwa mereka dilarang untuk memakan sesuatu dari pohon ini, namun Nabi Adam adalah manusia biasa, dan sebagai manusia ia lupa dan hatinya berbolak-balik serta tekadnya melemah. Maka iblis memanfaatkan kemanusiaan Nabi Adam dan mengumpulkan segala kedengkiannya yang disembunyikan dalam dadanya. Iblis terus berusaha membangkitkan waswas dalam diri Nabi Adam. Apakah aku akan menunjukkan kepadamu pohon keabadian dan kekuasaan yang tidak akan sirna? Nabi Adam bertanya-tanya dalam dirinya. Apa yang akan terjadi seandainya ia memakan buah tersebut, barangkali itu benar-benar pohon keabadian. Nabi Adam memang memimpikan untuk kekal dalam kenikmatan dan kebebasan yang dirasakannya dalam surga.
Berlalulah waktu di mana Nabi Adam dan Hawa sibuk memikirkan pohon itu. Kemudian pada suatu hari mereka menetapkan untuk memakan pohon itu. Mereka lupa bahwa Alllah SWT telah mengingatkan mereka agar tidak mendekatinya. Mereka lupa bahwa iblis adalah musuh mereka sejak dahulu. Nabi Adam mengulurkan tangannya ke pohon itu dan memetik salah satu buahnya dan kemudian memberikannya kepada Hawa. Akhirnya mereka berdua memakan buah terlarang itu.Allah SWT berfirman:
“Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.” (QS. Thaha: 121)
Tidak benar apa yang disebutkan oleh kitab-kitab kaum Yahudi bahwa Hawa menggoda Nabi Adam yang karenanya ia bertanggung jawab terhadap pemakanan buah itu. Nas Al-Qur’an tidak menyebut Hawa, namun ia menyebut Nabi Adam sebagai orang yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Demikianlah setan disalahkan dan Nabi Adam juga disalahkan karena kesombongan. Salah seorang dari mereka menghina manusia, dan yang lain ingin menjadi tandingan bagi Allah SWT dalam hal kekekalan.
Belum selesai Nabi Adam memakan buah tersebut sehingga ia merasakan penderitaan, kesedihan, dan rasa malu. Berubahlah keadaan di sekitamya dan berhentilah musik indah yang memancar dari dalam dirinya. Ia mengetahui bahwa ia tak berbusana, demikian juga istrinya. Akhirnya, ia mengetahui bahwa ia seorang lelaki dan bahwa istrinya seorang wanita. Ia dan istrinya mulai memetik daun-daun pohon untuk menutup tubuh mereka yang terbuka. Kemudian Allah SWT mengeluarkan perintah agar mereka turun dari surga.
Lalu setelah diusir dari surga, dimanakah Adam dan Hawa diturunkan, dan dimanakah bertemunya? Belum ada keterangan yang paling shahih tentang itu. Namun, sebagian ulama sepakat, bahwa keduanya diturunkan secara terpisah dan kemudian bertemu di Jabal Rahmah, di Arafah.
Menurut Al-Imam At-Thabari dalam Tarikhnya (jilid 1 hlm 121-126), bahwa Mujahid meriwayatkan keterangan Abdullah bin Abbas bin Abdul Mutthalib yang mengatakan : ”Adam diturunkan dari surga ke bumi di negeri India.” Abu Shaleh meriwayatkan juga dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Hawa diturunkan di Jeddah (Arab : Nenek perempuan) yang merupakan bagian dari Makkah. Kemudian dalam riwayat lain At-Thabari meriwayatkan lagi bahwa iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan Wasith. Sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran).
Riwayat lain menyebutkan, Adam diturunkan di bukit Shafa dan Siti Hawa di bukit Marwah. Sedangkan riwayat lain menyebutkan Adam AS diturunkan di antara Makkah dan Thaif. Ada pula yang berpendapat Adam di turunkan di daerah India, sementara Hawa diturunkan di Irak.
Al-quran sendiri tidak menerangkan secara jelas dimana Adam dan Hawa diturunkan. Alquran hanya menjelaskan tentang proses diturunkanya Adam dan Hawa ke bumi. Lihat Al-Baqarah [2]:30-38 dan Al-A’raaf [7]:11-25.
Sementara itu, menurut legenda dalam agama Kristen, setelah diusir dari Taman Eden (surga), Adam pertama kali menjejakkan kakinya di muka bumi di sebuah gunung yang dikenal sebagai Puncak Adam atau Al-Rohun yang kini terdapat di Sri Lanka.
Bila sebagian ulama berselisih pendapat mengenai tempat diturunkannya Adam dan Hawa, namun mereka bersepakat kalau keduanya kemudian bertemu di Jabal Rahmah, setelah terpisah selama ratusan tahun.
Keyakinan bahwa bertemunya Adam dan Hawa di Jabal Rahmah di Arafah itu kemudian dikukuhkan dengan dibangunnya sebuah tugu oleh pemerintah Arab Saudi di tempat tersebut.
Nabi Adam dan Hawa turun ke bumi. Mereka keluar dari surga. Nabi Adam dalam keadaan sedih sementara Hawa tidak henti-hentinya menangis. Karena ketulusan taubat mereka, akhirnya Allah SWT menerima taubat mereka dan Allah SWT memberitahukan kepada mereka bahwa bumi adalah tempat mereka yang asli, di mana mereka akan hidup di dalamnya, mati di atasnya, dan akan dibangkitkan darinya pada hari kebangkitan. Allah SWT berfirman:
“Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan. ” (QS. al-A’raf: 25)
Kemudian Allah SWT menceritakan kisah tentang pelajaran ketiga yang diperoleh Nabi Adam selama keberadaannya di surga dan setelah keluarnya ia darinya dan turunnya ia ke bumi.
Allah SWT berfirman:
“Dan Sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka mereka sujud kecuali Mis. la membangkang. Maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak pula akan ditimpa panas matahari di dalamnya.’ Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: ‘Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa ?’ Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: ‘Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.’” (QS. Thaha: 115-123)
Sebagian orang menganggap bahwa Nabi Adam keluar dari surga karena kesalahannya dan kemaksiatannya. Ini adalah anggapan yang tidak benar karena Allah SWT berkehendak menciptakan Nabi Adam di mana Dia berkata kepada malaikat: “Sesungguhnya aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Dan Dia tidak mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya aku akan menjadikan khalifah di surga.”
Tidaklah turunnya Nabi Adam ke bumi sebagai penurunan penghinaan tetapi ia merupakan penurunan kemuliaan sebagaimana dikatakan oleh kaum sufi. Allah SWT mengetahui bahwa Nabi Adam dan Hawa akan memakan buah itu, dan selanjutnya mereka akan turun ke bumi. Allah SWT juga mengetahui bahwa setan akan merampas kebebasan mereka. Pengalaman merupakan dasar penting dari proses menjadi khalifah di muka bumi agar Nabi Adam dan Hawa mengetahui—begitu juga keturunan mereka— bahwa setan telah mengusir kedua orang tua mereka dari surga, dan bahwa jalan menuju surga dapat dilewati dengan ketaatan kepada Allah SWT dan permusuhan pada setan.
Apakah dikatakan kepada kita bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa, dan bahwa Nabi Adam terpaksa atau dipaksa untuk berbuat kesalahan sehingga ia keluar dari surga dan kemudian turun ke bumi? Sebenarnya anggapan ini tidak kalah bodohnya dari anggapan pertama. Sebab, Nabi Adam merasakan kebebasan sepenuhnya, yang karenanya ia mengemban tanggung jawab dari perbuatannya. Ia durhaka dan memakan buah tersebut sehingga Allah SWT mengeluarkannya dari surga. Maksiat yang dilakukannya tidak berlawanan dengan kebebasannya, bahkan keberadaannya yang asli bersandar kepada kebebasannya. Alhasil, Allah SWT mengetahui apa yang bakal terjadi. Dia mengetahui sesuatu sebelum terjadinya sesuatu itu. Pengetahuan-Nya itu berarti cahaya yang menyingkap, bukan kekuatan yang memaksa. Dengan kata lain, Allah SWT mengetahui apa yang akan terjadi, tetapi Dia tidak men-cegahnya atau mendorongnya agar terjadi. Allah SWT memberikan kebebasan kepada hamba-hamba-Nya dan semua makhluk-Nya. Yang demikian itu berkenaan dengan hikmah-Nya yang tinggi dalam memakmurkan bumi dan mengangkat khalifah di dalamnya.
Nabi Adam memahami pelajaran ketiga. Ia memahami bahwa iblis adalah musuhnya. Secara pasti ia mengerti bahwa iblis adalah penyebab ia kehilangan nikmat dan penyebab kehancurannya. Ia mengerti bahwa Allah SWT akan menyiksa seseorang jika ia berbuat maksiat, dan bahwa jalan menuju ke surga dapat dilewati dengan ketaatan kepada Allah SWT. Ia memahami bahwa Allah SWT menerima taubat, memaafkan, menyayangi, dan memilih. Allah SWT mengajari mereka agar beristigfar dan mengucapkan:
“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscayalah pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 23)
Allah SWT menerima taubatnya dan memaafkannya serta mengirimnya ke bumi. Nabi Adam adalah Rasul pertama bagi manusia. Mulailah kehidupan Nabi Adam di bumi. Ia keluar dari surga dan berhijrah ke bumi, dan kemudian ia menganjurkan hal tersebut (hijrah) kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya dari kalangan nabi. Sehingga setiap nabi memulai dakwahnya dan menyuruh kaumnya dengan cara keluar dari negerinya atau berhijrah. Di sana Nabi Adam keluar dari surga sebelum kenabiannya, sedangkan di sini (di bumi) para nabi biasanya keluar (hijrah) setelah pengangkatan kenabian mereka.
Nabi Adam mengetahui bahwa ia meninggalkan kedamaian ketika keluar dari surga. Di bumi ia harus menghadapi penderitaan dan pergulatan, di mana ia harus menanggung kesulitan agar dapat makan, dan ia harus melindungi dirinya dengan pakaian dan senjata, serta melindungi istrinya dan anak-anaknya dari serangan binatang buas yang hidup di bumi. Sebelum semua itu dan sesudahnya, ia harus meneruskan pertempurannya dengan pangkal kejahatan yang menyebabkannya keluar dari surga, yaitu setan. Di bumi, setan membuat waswas kepadanya dan kepada anak-anaknya sehingga mereka masuk dalam neraka Jahim. Pertempuran antara pasukan kebaikan dan pasukan kejahatan di bumi tidak akan pernah berhenti. Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk Allah SWT, ia tidak akan merasakan ketakutan dan kesedihan, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah SWT dan mengikuti makhluk api, iblis, maka ia akan bersamanya di neraka.
Nabi Adam mengerti semua ini. Ia menyadari bahwa penderitaan akan menyertai kehidupannya di atas bumi. Satu-satunya yang dapat meringankan kesedihannya adalah, bahwa ia menjadi penguasa di bumi, yang karenanya ia harus menundukkannya, memakmurkannya, dan membangunnya serta melahirkan keturunan yang baik di dalamnya, sehingga mereka dapat mengubah kehidupan dan membuatnya lebih baik. Hawa melahirkan dalam satu perut seorang lelaki dan seorang perempuan, dan pada perut berikutnya seorang lelaki dan seorang perempuan, maka dihalalkan perkawinan antara anak lelaki dari perut pertama dengan anak perempuan dari perut kedua. Akhirnya, anak-anak Nabi Adam menjadi besar dan menikah serta memenuhi bumi dengan keturunannya.
Nabi Adam mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Nabi Adam menyaksikan kecenderungan pertama dari anaknya terhadap pangkal kejahatan, yaitu iblis sehingga terjadilah kejahatan pembunuhan yang pertama kali di muka bumi. Salah seorang anak Nabi Adam membunuh saudara kandungnya sendiri. Anak yang jahat itu membunuh saudaranya yang baik. Allah berfirman:
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterimalah dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).” (QS. al-Maidah: 27)
Dikatakan bahwa pembunuh ingin merebut istri saudara kandungannya untuk dirinya sendiri. Nabi Adam memerintahkan mereka berdua untuk menghadirkan kurban lalu setiap dari mereka menghadirkan kurban yang dimaksud. Allah SWT menerima kurban dari salah satu dari mereka dan menolak kurban yang lain:
“Ia (Qabil) berkata: ‘Aku pasti membunuhmu.’ Berkata Habil: ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan sekalian alam.” (QS. al-Maidah: 27-28)
Perhatikanlah bagaimana Allah SWT menyampaikan kepada kita kalimat-kalimat yang diucapkan oleh anak Nabi Adam yang terbunuh sebagai syahid, dan ia menyembunyikan kalimat-kalimat yang diucapkan oleh si pembunuh. Si pembunuh mengangkat tangannya sambil mengancam, namun calon korban pembunuhan itu berkata dengan tenang:
"Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang lalim. ” (QS. al-Maidah: 29)
Selesailah percakapan antara mereka berdua dan anak yang jahat itu membiarkan anak yang baik beberapa saat. Setelah beberapa hari, saudara yang baik itu tidur di tengah-tengah hutan yang penuh dengan pohon. Di hutan itu, keledai tua mati dan dagingnya dimakan oleh burung Nasar dan darahnya ditelan oleh bumi. Yang tersisa hanya tulang belulang berserakan di tanah. Kemudian saudaranya yang jahat membawanya menuju saudara kandungnya yang sedang tidur, lalu ia mengangkat tangannya dan menjatuhkan dengan keras dan cepat. Anak laki-laki baik itu tampak pucat wajahnya ketika melihat darah mengucur darinya, lalu ia bangun. Ia bermimpi saat tidur. Lalu si pembunuh menghantam saudaranya sehingga tidak tampak lagi gerakan dari tubuhnya. Si pembunuh puas bahwa saudara kandungnya benar-benar mati. Pembunuh itu berdiri di depan korban dengan tenang dan tampak pucat wajahnya.
Rasulullah saw bersabda: “Setiap orang yang membunuh jiwa yang tak berdosa maka anak Adam yang pertama akan juga menanggung dosanya karena ia yang pertama kali mengajarkan pembunuhan.” Si pembunuh terduduk di depan saudaranya dalam keadaan berlumuran darah. Apa yang akan dikatakannya terhadap Nabi Adam, ayahnya, jika ia bertanya kepadanya tentang hal itu. Nabi Adam mengetahui bahwa mereka berdua keluar bersama-sama lalu mengapa ia kembali sendinan. Seandainya ia mengingkari pembunuhan terhadap saudaranya itu di depan ayahnya, maka di manakah ia dapat menyembunyikan jasadnya, dan di mana ia dapat membuangnya? Saudaranya yang terbunuh itu merupakan manusia yang pertama kali mad di muka bumi sehingga tidak diketahui bagaimana cara menguburkan orang yang mati. Pembunuh itu membawa jasad saudara kandungnya dan memikulnya. Tiba-tiba keheningan itu dipecah dengan suara burung yang berteriak sehingga ia merasa ketakutan. Pembunuh itu menoleh dan menemukan seekor burung gagak yang berteriak di atas bangkai burung gagak yang mati. Burung gagak yang hidup meletakkan bangkai burung gagak yang mad di atas tanah lalu ia mulai menggali tanah dengan paruhnya dan kedua kakinya. Kemudian ia mengangkatnya dengan paruhnya dan meletakkannya dengan lembut dalam kuburan. Lalu ia menimbunkannya di atas tanah. Setelah itu, ia terbang di udara dan kembali berteriak. Si pembunuh berdiri dan ia mundur untuk meraih jasad saudara kandungnya dan kemudian berteriak:
“Berkata Qabil: ‘Aduhai, celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan saudaraku ini?” (QS. al-Maidah: 31)
Ia mulai merasakan kesedihan yang sangat dalam atas apa yang telah dilakukannya terhadap saudaranya. Ia segera menyadari bahwa ia adalah orang yang paling buruk dan paling lemah. Ia telah membunuh orang yang paling utama dan paling kuat. Anak Nabi Adam berkurang satu dan iblis berhasil “mencuri” seorang anak Nabi Adam. Bergetarlah tubuh si pembunuh dan ia mulai menangis dengan keras, lalu ia menggali kuburan saudara kandungnya. Ketika mendengar kisah tersebut Nabi Adam berkata:
“Ini adalah perbuatan setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata.” (QS. al-Qashash: 15)
Nabi Adam merasakan kesedihan mendalam atas hilangnya salah satu anaknya. Salah seorang dari mereka mati dan yang lain dikuasai oleh setan. Nabi Adam salat untuk anaknya yang mati, dan kemudian ia kembali menjalani kehidupannya di muka bumi. Beliau adalah manusia yang bekerja dan mengalami penderitaan. Seorang Nabi yang menasihati anak-anaknya dan cucu-cucunya, serta mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT. Beliau menceritakan kejahatan iblis kepada mereka, dan meminta kepada mereka agar berhati-hati darinya. Beliau menceritakan pengalaman pribadinya bersama iblis kepada mereka, dan menceritakan kehidupannya bersama anaknya yang tega membunuh saudara kandungnya sendiri.
Nabi Adam telah menjadi dewasa, lalu tahun demi tahun datang silih berganti sehingga anak-anaknya tersebar di bumi, lalu datanglah waktu malam di atas bumi. Angin bertiup sangat kencang. Dan bergoncanglah daun-daun pohon tua yang ditanam oleh Nabi Adam, di mana dahan-dahannya mendekati danau sehingga buahnya menyentuh air danau. Dan ketika pohon itu menjadi tegak setelah berlalunya angin, air mulai berjatuhan di antara cabang-cabangnya dan tampak dari jauh bahwa pohon itu sedang menarik dirinya (memisahkan diri) dari air dan menangis. Pohon itu sedih dan dahan-dahannya berguncang. Sementara itu, di langit tampak bahwa bintang-bintang juga berguncang. Cahaya bulan menerobos kamar Nabi Adam sehingga cahaya itu menerpa wajah Nabi Adam. Wajah Nabi Adam tampak lebih pucat dan lebih muram dari wajah bulan. Bulan mengetahui bahwa Nabi Adam akan mati.
Kamar yang sederhana, kamarnya Nabi Adam. Nabi Adam tertidur dengan jenggotnya yang putih dan wajahnya yang bersinar di atas tempat ddur dari dahan-dahan pohon dan bunga-bunga. Anak-anaknya semua berdiri di sekelilingnya dan menunggu wasiatnya. Nabi Adam berbicara dan memahamkan anak-anaknya bahwa hanya ada satu perahu keselamatan bagi manusia, dan hanya ada satu senjata baginya yang dapat menenangkannya. Perahu itu adalah petunjuk Allah SWT dan senjata itu adalah kalimat-kalimat Allah SWT.
Nabi Adam menenangkan anak-anaknya, bahwa Allah SWT tidak akan membiarkan manusia sendirian di muka bumi. Sesungguhnya Dia akan mengutus para nabi untuk membimbing mereka dan menyelamatkan mereka. Para nabi itu memiliki nama-nama, sifat-sifat, dan mukjizat-mukjizat yang berbeda-beda. Tetapi mereka dipertemukan dengan satu hal, yaitu mengajak untuk menyembah Allah SWT semata.
Demikianlah wasiat Nabi Adam kepada anak-anaknya. Akhirnya, Nabi Adam menutup kedua matanya, dan para malaikat memasuki kamarnya dan mengelilinginya. Had Nabi Adam tersenyum ketika mendapatkan kata salam yang dalam, dan rohnya mencium bau bunga surga.
Sumber: arhamlawa, wikipedia.org, islamdigest.net
Label:
Adam
Diposting oleh
Al Ilmu
komentar (0)
Amirul Mukminin as ditanyai tentang keimanan, lalu ia berkata:
Iman berdiri di atas empat kaki: kesabaran, keyakinan, keadilan dan jihad.
Kesabaran pun mempunyai empat aspek: gairah, takut, zuhud, dan antisipasi (akan kematian)., maka barangsiapa bergairah untuk surga, ia akan mengabaikan hawa nafsunya; barangsiapa takut akan api (neraka), ia akan menahan diri dari perbuatan terlarang; dan barangsiapa mengantisipasi kematian ia akan bergegas kepada amal baik.
Keyakinan juga mempunyai empat aspek: penglihatan yang bijaksana, kecerdasan dan pengertian, menarik pelajaran dari hal-hal yang mengandung pelajaran, dan mengikuti contoh orang-orang sebelumnya. Oleh karena itu, barangsiapa melihat dengan bijaksana, pengetahuan bijaksana akan terwujud kepadanya, dan barangsiapa yang terwujud padanya pengetahuan bijaksana, maka ia akan menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, dan barangsiapa menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, samalah dia dengan orang-orang yang terdahulu.
Keadilan juga mempunyai empat aspek: pernahaman yang tajam, pengetahuan yang mendalam, kemampuan baik untuk memutuskan, dan ketabahan yang kukuh. Oleh karena itu, barangsiapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan; barangsiapa mendapatkan kedalaman pengetahuan, ia meminum dari sumber keadilan; dan barangsiapa berlaku sabar, maka ia tak akan melakukan perbuatan jahat dalam urusannya, dan akan menjalani kehidupan yang terpuji di antara manusia.
Jihad juga mempunyai empat aspek: menyuruh orang berbuat baik, mencegah orang berbuat kemungkaran, berjuang (di jalan Allahj dengan ikhlas dan dengan teguh pada setiap kesempatan, dan membenci yang mungkar., maka barangsiapa menyuruh orang lain berbuat baik, ia memberikan kekuatan kepada kaum mukmin; barangsiapa menghentikan orang lain dari kemungkaran, ia menghinakan orang kafir; barangsiapa berjuang dengan ikhlas pada segala kesempatan, ia melaksanakan seluruh kewajibannya; dan barangsiapa membenci yang mungkar dan menjadi marah demi Allah, maka Allah akan marah untuk kepentingan dia dan akan tetap meridainya pada Hari Pengadilan.
Kekafiran berdiri pada empat topangan: mengumbar hawa nafsu, saling bertengkar, menyeleweng dari kebenaran, dan perpecahan., maka barangsiapa mengumbar hawa nafsu, ia tidak cenderung kepada yang benar; barangsiapa banyak bertengkar dalam kejahilan akan selalu buta terhadap yang benar; barangsiapa menyeleweng dari kebenaran, baginya baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik dan ia tetap mabuk dengan kesesatan; dan barangsiapa membuat perpecahan (dengan Allah dan Rasul-Nya), jalannya menjadi sulit, urusannya menjadi rumit dan jalan lepasnya menjadi sempit.
Keraguan mempunyai empat aspek: ketidaknalaran, ketakutan, kegoyahan dan penyerahan yang tak semestinya kepada segala sesuatu., maka barangsiapa menempuh ketidaknalaran sebagai jalannya, baginya tak ada fajar setelah malam; orang yang takut akan apa yang menimpanya harus lari tunggang langgang; orang yang goyah dalam keraguan, iblis akan memijak-mijaknya; dan orang yang menyerah kepada kebinasaan dunia dan akhirat akan binasa di dunia dan akhirat.
Sayid Radhi berkata: Kami telah meninggalkan bagian lain dari ucapan ini karena khawatir akan panjangnya dan karena berada di luar tujuan bab ini.
Iman berdiri di atas empat kaki: kesabaran, keyakinan, keadilan dan jihad.
Kesabaran pun mempunyai empat aspek: gairah, takut, zuhud, dan antisipasi (akan kematian)., maka barangsiapa bergairah untuk surga, ia akan mengabaikan hawa nafsunya; barangsiapa takut akan api (neraka), ia akan menahan diri dari perbuatan terlarang; dan barangsiapa mengantisipasi kematian ia akan bergegas kepada amal baik.
Keyakinan juga mempunyai empat aspek: penglihatan yang bijaksana, kecerdasan dan pengertian, menarik pelajaran dari hal-hal yang mengandung pelajaran, dan mengikuti contoh orang-orang sebelumnya. Oleh karena itu, barangsiapa melihat dengan bijaksana, pengetahuan bijaksana akan terwujud kepadanya, dan barangsiapa yang terwujud padanya pengetahuan bijaksana, maka ia akan menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, dan barangsiapa menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, samalah dia dengan orang-orang yang terdahulu.
Keadilan juga mempunyai empat aspek: pernahaman yang tajam, pengetahuan yang mendalam, kemampuan baik untuk memutuskan, dan ketabahan yang kukuh. Oleh karena itu, barangsiapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan; barangsiapa mendapatkan kedalaman pengetahuan, ia meminum dari sumber keadilan; dan barangsiapa berlaku sabar, maka ia tak akan melakukan perbuatan jahat dalam urusannya, dan akan menjalani kehidupan yang terpuji di antara manusia.
Jihad juga mempunyai empat aspek: menyuruh orang berbuat baik, mencegah orang berbuat kemungkaran, berjuang (di jalan Allahj dengan ikhlas dan dengan teguh pada setiap kesempatan, dan membenci yang mungkar., maka barangsiapa menyuruh orang lain berbuat baik, ia memberikan kekuatan kepada kaum mukmin; barangsiapa menghentikan orang lain dari kemungkaran, ia menghinakan orang kafir; barangsiapa berjuang dengan ikhlas pada segala kesempatan, ia melaksanakan seluruh kewajibannya; dan barangsiapa membenci yang mungkar dan menjadi marah demi Allah, maka Allah akan marah untuk kepentingan dia dan akan tetap meridainya pada Hari Pengadilan.
Kekafiran berdiri pada empat topangan: mengumbar hawa nafsu, saling bertengkar, menyeleweng dari kebenaran, dan perpecahan., maka barangsiapa mengumbar hawa nafsu, ia tidak cenderung kepada yang benar; barangsiapa banyak bertengkar dalam kejahilan akan selalu buta terhadap yang benar; barangsiapa menyeleweng dari kebenaran, baginya baik menjadi buruk dan buruk menjadi baik dan ia tetap mabuk dengan kesesatan; dan barangsiapa membuat perpecahan (dengan Allah dan Rasul-Nya), jalannya menjadi sulit, urusannya menjadi rumit dan jalan lepasnya menjadi sempit.
Keraguan mempunyai empat aspek: ketidaknalaran, ketakutan, kegoyahan dan penyerahan yang tak semestinya kepada segala sesuatu., maka barangsiapa menempuh ketidaknalaran sebagai jalannya, baginya tak ada fajar setelah malam; orang yang takut akan apa yang menimpanya harus lari tunggang langgang; orang yang goyah dalam keraguan, iblis akan memijak-mijaknya; dan orang yang menyerah kepada kebinasaan dunia dan akhirat akan binasa di dunia dan akhirat.
Sayid Radhi berkata: Kami telah meninggalkan bagian lain dari ucapan ini karena khawatir akan panjangnya dan karena berada di luar tujuan bab ini.
Label:
Hikmah
Diposting oleh
Al Ilmu
komentar (0)
Pada dasarnya, syariat Islam yang mengatur mengenai budak dan sistem perbudakan diturunkan ketika budak sudah ada, dan setiap bangsa memiliki system perbudakan masing-masing. Diantara system perbudakan yang ada pada saat itu adalah budak boleh diperjualbelikan bahkan dibunuh oleh tuannya sendiri. Ada pula system perbudakan yang membolehkan tuan memperisteri budak-budaknya dan memperlakukannya seperti binatang. Ada pula aturan yang menyatakan; jika seseorang tidak mampu membayar utang kepada seseorang, maka ia boleh dijadikan budak. Ada pula ketetapan, jika suatu negeri dikalahkan, maka penduduknya absah diperbudak seluruhnya. Berdasarkan fakta inilah, Islam datang dengan seperangkat hukum yang ditujukan untuk memecahkan persoalan perbudakan, serta menggariskan aturan-aturan tertentu (sistem) yang berhubungan dengan budak. Dan apabila kita kaji secara jernih dan mendalam, kita pasti akan berkesimpulan bahwa syariat Islam datang untuk “membebaskan budak dan melenyapkan sistem perbudakan” yang ada di seluruh dunia.
Untuk memahami pandangan dan solusi Islam terhadap budak dan system perbudakan, ada dua hal penting yang perlu dimengerti. Pertama, sikap dan perlakuan Islam terhadap budak faktual (seseorang yang telah dijadikan budak), orang yang derajatnya turun atau tidak sebanding dengan orang-orang merdeka sehingga berhak untuk diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Untuk sisi pertama ini, Islam telah menggariskan sejumlah aturan yang ditujukan untuk membebaskan para budak dan orang-orang yang diperlakukan seperti budak; serta menjadikan mereka sebagai orang yang merdeka. Kedua, pandangan Islam mengenai system perbudakan. Dalam hal ini, Islam telah memecahkan persoalan ini dengan cara menetapkan aturan-aturan tertentu yang pada intinya ditujukan untuk menghapuskan sistem perbudakan yang ada di seluruh dunia.
Sikap dan Perlakuan Islam Terhadap Budak
Sesungguhnya, Islam telah datang dengan seperangkat aturan yang ditujukan untuk membebaskan budak baik secara paksa maupun pilihan; dan meringankan budak-budak yang ada pada saat itu dengan perlakuan-perlakuan tertentu. Dalam hal ini para fuqaha’ telah merinci sejumlah hukum yang berhubungan dengan budak, diantaranya adalah:
Pertama, Islam telah menetapkan sejumlah aturan bagi orang Islam yang memiliki budak, sehingga budak memiliki hak sebagaimana tuannya. Selain itu, Islam juga menetapkan sejumlah aturan sehingga fithrah dan sifatnya sebagai manusia (manusia bebas) bisa dijaga dan setara dengan manusia yang bebas. Misalnya, Al-Quran dan hadits memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya. Allah swt berfirman, “Berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (TQS. an-Nisaa’: 36).
Dalam hadits riwayat Muslim dituturkan, bahwa Nabi saw bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berhati-hatilah kalian terhadap budak-budak yang kalian miliki. Sesungguhnya, mereka adalah saudaramu yang dijadikan Allah swt berada di bawah kekuasaanmu. Oleh karena itu, berilah mereka makan, seperti yang engkau makan, dan berilah mereka pakaian seperti pakaian yang engkau kenakan; janganlah memberi beban tugas yang memberatkan mereka, dan jika engkau membebani mereka dengan tugas, maka berlakulah baik (tidak memberatkan) kepada mereka.”
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dinyatakan, “Barangsiapa membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya balik.”
Nash-nash di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Islam telah memerintahkan kaum muslim untuk berbuat baik kepada budaknya, dan menyetarakan kedudukan mereka –secara fithrah dan kemanusiaan– dengan manusia merdeka. Dengan kata lain, Islam telah menyetarakan budak dan orang merdeka dalam hal darah dan kehormatan. Dalam fiqh juga dinyatakan, jika tuan “menikmati budaknya”, maka statusnya dipandang sebagaimana tatkala ia menikmati isterinya yang merdeka. Untuk itu, jika seorang budak hamil atau melahirkan anak dari tuannya, dengan segera ia harus dibebaskan secara paksa setelah kematian tuannya.
Kedua, pada saat itu, Islam telah mendorong manusia untuk membebaskan budak-budak yang mereka miliki. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa, pembebasan budak akan membantu dirinya untuk bersyukur kepada nikmat Allah swt, dan memudahkan dirinya untuk mendaki jalan yang sukar. “Maka tidakkah sebaiknya sia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? Yaitu, melepaskan budak dari perbudakan.” (TQS. al-Balad: 11-13)
Rasulullah saw juga mendorong kaum Muslim untuk membebaskan budak. “Siapa saja yang memudahkan urusan seorang muslim, maka Allah akan menghindarkan setiap anggota tubuhnya dari api neraka.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budaknya, atau dibebaskan oleh penguasa. Jika seseorang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan waris dengan budaknya, maka ia wajib membebaskan budak tersebut, baik rela maupun tidak rela. Jika ia tidak rela, maka penguasa yang akan membebaskan budak tersebut. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memiliki budak yang memiliki hubungan kekerabatan (keluarga dan waris), maka ia adalah orang bebas.” (HR. Abu Dawud)
Budak yang disiksa oleh tuannya dengan cara dibakar, dipotong salah satu anggota tubuhnya; atau siapa saja yang memukul atau mendera budak dengan deraan yang berlebihan, maka budak itu wajib dibebaskan. Jika tuannya tidak mau membebaskan, maka penguasa berhak memaksanya untuk membebaskan budaknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Barangsiapa memukul budaknya atau menderanya, maka dendanya adalah membebaskannya.” (HR. Imam Muslim)
Islam juga telah menjadikan pembebasan budak sebagai denda (kifarah) atas dosa-dosa yang dilakukan seorang muslim. Allah telah menjadikan pembebasan budak sebagai kifarah atas pembunuhan tidak sengaja. Allah swt berfirman, “Tidaklah patut seorang mukmin membunuh mukmin yang lain, kecuali karena kesalahan (ketidaksengajaan). Siapa saja yang membunuh seorang mukmin karena kesalahan, hendaklah ia membebaskan budak atau membayar denda yang diserahkan kepada keluarganya..” (TQS. an-Nisaa’: 92)
Pembebasan budak juga ditetapkan sebagai kifarah atas pelanggaran sumpah. Allah swt berfirman, “Maka kifarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kami berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak.” (TQS. al-Maidah: 89).
Pembebasan budak juga dijadikan kifarat pada kasus dzhihar, dan juga kasus suami yang menyetubuhi isterinya di siang hari bulan Ramadlan. Hukum-hukum di atas telah dikaitkan dengan pembebasan budak. Ini menunjukkan, bahwa Islam telah mendorong umatnya untuk berlaku baik, mendudukkan mereka pada tempat yang setara dengan orang merdeka, baik dalam hal harta dan darah, serta mendorong kaum Muslim untuk membebaskan budak.
Islam tidak mencukupkan diri hanya dengan menetapkan hukum-hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budak, akan tetapi Islam juga telah menetapkan hukum bagi budak untuk membebaskan dirinya sendiri, sebagaimana Islam telah menetapkan mekanisme bagi tuan untuk membebaskan budaknya. Allah swt berfirman,”Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kelebihan para mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta yang telah dikaruniakan Allah kepadamu.” (TQS. an-Nuur: 33). Ayat ini berbicara tentang budak yang ingin membebaskan dirinya (mukatab).
Keempat, di dalam baitul maal, terdapat pos khusus untuk membantu para budak membebaskan dirinya. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak , orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah swt.” (TQS at-Taubah: 60). Pos untuk pembebasan budak tidak ditentukan besar kecilnya. Seorang khalifah boleh saja memberikan prosentase di atas 50% untuk pembebasan budak. Bahkan ia boleh mengalokasikan semua perolehan zakat untuk pembebasan budak.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa syariat Islam diturunkan untuk membebaskan budak-budak dan menghapuskan perbudakan yang ada pada saat itu, bukan untuk melanggengkan dan mempertahankan eksistensinya.
Islam dan Sistem Perbudakan
Adapun ditinjau dari sisi sistem perbudakan, sesungguhnya Islam telah menghapuskan sistem perbudakan secara permanen hingga hari akhir. Dengan kata lain, Islam telah mengharamkan perbudakan atas orang-orang merdeka dengan pengharaman yang pasti. Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga orang yang akan aku tuntut kelak di hari kiamat. Seorang laki-laki meminta kepadaku, kemudian ia berkhianat, dan seorang laki-laki yang menjual seorang laki-laki merdeka, kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seseorang dan tidak pernah diberi upahnya.”[HR. Bukhari] Hadits ini menunjukkan bahwa Allah swt melarang memperjualbelikan (memperbudak) orang-orang yang merdeka.
Dalam kondisi perang, Islam juga telah mengharamkan secara mutlak memperbudak tawanan perang. Pada tahun ke 2 Hijrah, Allah swt telah menjelaskan ketentuan hukum mengenai tawanan perang, yaitu; (1) dilumpuhkan seluruhnya, (2) ditebus dengan sejumlah harta, ditukar dengan tawanan kaum muslim atau kafir dzimmiy. Hukum ini telah melarang memperbudak tawanan perang. Allah swt berfirman;
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti.“ (TQS. Muhammad (47) :4).
Ada sebagian fukaha menyatakan bahwa Rasulullah saw telah memperbudak tawanan perang saat perang Hunain. Padahal, ayat di atas turun pada tahun ke 2 Hijriyyah jauh sebelum peristiwa perang Hunain. Untuk itu, mereka berpendapat bahwa kondisi perang, kaum Muslim masih diperbolehkan memperbudak tawanan perang. Jawaban atas pernyataan ini adalah sebagai berikut. Sesungguhnya, perbuatan dan perkataan Rasulullah hanya berfungsi untuk mentaqyiid, mengkhususkan, atau mentafshilkan (merinci), kemutlakan, keumuman, dan kemujmalan (keglobalan) al-Quran, namun tidak bisa digunakan untuk menghapus al-Quran (nasakh). Ayat di atas sama sekali tidak berbentuk muthlaq sehingga layak untuk ditaqyiid. Ayat di atas lafadznya juga tidak berbentuk umum, sehingga absah untuk ditakhshish. Ayat di atas juga tidak berbentuk mujmal sehingga layak dirinci oleh sunnah. Sedangkan hadits yang menuturkan bahwa Rasulullah saw pernah memperbudak tawanan perang di Hunain, adalah hadits ahad. Khabar ahad tidak boleh menasakh (menghapus) al-Quran yang mutawatir. Oleh karena itu, jika riwayat yang menuturkan perbudakan tawanan perang di perang Hunain memang benar-benar shahih, maka ia harus ditolak matannya, karena bertentangan dengan khabar mutawatir.
Fakta saat perang Hunain menunjukkan bahwa, para wanita dan anak-anak telah terlibat dalam perang, baik untuk memperkuat pasukan atau memberi semangat pasukan. Tatkala pasukan Hunain dikalahkan, wanita dan anak-anak itu dihukumi sebagai sabaya. Sabaya adalah kaum wanita dan anak-anak yang turut serta dan melibatkan diri dalam kancah peperangan. Menurut orang Arab, istilah sabaya hanya ditujukan untuk kaum perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam peperangan, dan tidak mencakup kaum laki-laki. Rasulullah saw membagi-bagikan mereka (sabaya) kepada kaum Muslim yang turut berperang. Sebagian shahabat ada yang mengembalikan sabaya ini kepada keluarganya. Namun demikian, tatkala Rasulullah saw memerangi Khaibar, beliau tidak menawan penduduknya, baik laki-laki, wanita dan anak-anak. Beliau saw membiarkan mereka menjadi orang-orang yang bebas (merdeka). Ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap sabaya tergantung dari khalifah. Khalifah boleh saja memperbudak mereka, atau membebaskan mereka. Namun, hukum semacam ini hanya berlaku kepada sabaya, yakni wanita dan anak-anak yang terlibat dalam perang. Sedangkan laki-laki yang turut perang dan orang-orang yang berada di dalam rumahnya dan tidak ikut berperang, tidak boleh diperbudak sama sekali. Dengan kata lain, tawanan perang (al-usriy) tidak boleh diperbudak, sedangkan sabaya (wanita-wanita dan anak-anak yang turut perang) boleh diperbudak atau dibebaskan. Hanya saja, sabaya tidak boleh ditebus dengan harta. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat perang Hunain, dan Khaibar. Pada saat perang Hunain, Rasulullah saw memperbudak sabaya, lalu kemudian membebaskan mereka. Sedangkan pada saat perang Khaibar, beliau membebaskan para sabaya, dan tidak memperbudak mereka.
Hanya saja, tindakan khalifah (imam) untuk “memperbudak” sabaya, tidak boleh diartikan bahwa sabaya itu hendak diperbudak secara langsung; atau diartikan bahwa Islam masih mentolerir dan melanggengkan perbudakan. Tetapi, tindakan semacam ini diberlakukan hanya dalam kondisi peperangan, dan berada di bawah koridor hukum darurat perang. Dengan demikian, tindakan khalifah tersebut semata-mata demi kepentingan politik perang (siyasah al-harb); dan bukan ditujukan untuk memperbudak mereka secara langsung.
Dari seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, Islam telah memecahkan masalah perbudakan, sekaligus juga menetapkan aturan-aturan komprehensif yang bisa mencegah terjadinya perbudakan kembali. Selain itu, Islam juga memberikan kewenangan kepada khalifah untuk memperlakukan sabaya, sesuai dengan politik dan kepentingan perang. Tidak hanya itu saja, Islam juga telah menghapuskan perbudakan ketika Islam melarang melibatkan anak-anak dan wanita dalam medan peperangan, seperti yang diterapkan pada hukum perang modern. Ini semua menunjukkan bahwa Islam melarang dan menghapuskan perbudakan yang terjadi di tengah-tengah manusia untuk selama-lamanya. (Syamsuddin Ramadlan An-Nawiy)
Untuk memahami pandangan dan solusi Islam terhadap budak dan system perbudakan, ada dua hal penting yang perlu dimengerti. Pertama, sikap dan perlakuan Islam terhadap budak faktual (seseorang yang telah dijadikan budak), orang yang derajatnya turun atau tidak sebanding dengan orang-orang merdeka sehingga berhak untuk diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Untuk sisi pertama ini, Islam telah menggariskan sejumlah aturan yang ditujukan untuk membebaskan para budak dan orang-orang yang diperlakukan seperti budak; serta menjadikan mereka sebagai orang yang merdeka. Kedua, pandangan Islam mengenai system perbudakan. Dalam hal ini, Islam telah memecahkan persoalan ini dengan cara menetapkan aturan-aturan tertentu yang pada intinya ditujukan untuk menghapuskan sistem perbudakan yang ada di seluruh dunia.
Sikap dan Perlakuan Islam Terhadap Budak
Sesungguhnya, Islam telah datang dengan seperangkat aturan yang ditujukan untuk membebaskan budak baik secara paksa maupun pilihan; dan meringankan budak-budak yang ada pada saat itu dengan perlakuan-perlakuan tertentu. Dalam hal ini para fuqaha’ telah merinci sejumlah hukum yang berhubungan dengan budak, diantaranya adalah:
Pertama, Islam telah menetapkan sejumlah aturan bagi orang Islam yang memiliki budak, sehingga budak memiliki hak sebagaimana tuannya. Selain itu, Islam juga menetapkan sejumlah aturan sehingga fithrah dan sifatnya sebagai manusia (manusia bebas) bisa dijaga dan setara dengan manusia yang bebas. Misalnya, Al-Quran dan hadits memerintahkan kaum Muslim untuk berbuat baik kepada budaknya. Allah swt berfirman, “Berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapa, karib kerabat, anak-anak yatim, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (TQS. an-Nisaa’: 36).
Dalam hadits riwayat Muslim dituturkan, bahwa Nabi saw bersabda, “Bertaqwalah kalian kepada Allah, dan berhati-hatilah kalian terhadap budak-budak yang kalian miliki. Sesungguhnya, mereka adalah saudaramu yang dijadikan Allah swt berada di bawah kekuasaanmu. Oleh karena itu, berilah mereka makan, seperti yang engkau makan, dan berilah mereka pakaian seperti pakaian yang engkau kenakan; janganlah memberi beban tugas yang memberatkan mereka, dan jika engkau membebani mereka dengan tugas, maka berlakulah baik (tidak memberatkan) kepada mereka.”
Dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dinyatakan, “Barangsiapa membunuh budaknya, maka kami akan membunuhnya balik.”
Nash-nash di atas menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Islam telah memerintahkan kaum muslim untuk berbuat baik kepada budaknya, dan menyetarakan kedudukan mereka –secara fithrah dan kemanusiaan– dengan manusia merdeka. Dengan kata lain, Islam telah menyetarakan budak dan orang merdeka dalam hal darah dan kehormatan. Dalam fiqh juga dinyatakan, jika tuan “menikmati budaknya”, maka statusnya dipandang sebagaimana tatkala ia menikmati isterinya yang merdeka. Untuk itu, jika seorang budak hamil atau melahirkan anak dari tuannya, dengan segera ia harus dibebaskan secara paksa setelah kematian tuannya.
Kedua, pada saat itu, Islam telah mendorong manusia untuk membebaskan budak-budak yang mereka miliki. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas bahwa, pembebasan budak akan membantu dirinya untuk bersyukur kepada nikmat Allah swt, dan memudahkan dirinya untuk mendaki jalan yang sukar. “Maka tidakkah sebaiknya sia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? Yaitu, melepaskan budak dari perbudakan.” (TQS. al-Balad: 11-13)
Rasulullah saw juga mendorong kaum Muslim untuk membebaskan budak. “Siapa saja yang memudahkan urusan seorang muslim, maka Allah akan menghindarkan setiap anggota tubuhnya dari api neraka.“ (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budaknya, atau dibebaskan oleh penguasa. Jika seseorang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan waris dengan budaknya, maka ia wajib membebaskan budak tersebut, baik rela maupun tidak rela. Jika ia tidak rela, maka penguasa yang akan membebaskan budak tersebut. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memiliki budak yang memiliki hubungan kekerabatan (keluarga dan waris), maka ia adalah orang bebas.” (HR. Abu Dawud)
Budak yang disiksa oleh tuannya dengan cara dibakar, dipotong salah satu anggota tubuhnya; atau siapa saja yang memukul atau mendera budak dengan deraan yang berlebihan, maka budak itu wajib dibebaskan. Jika tuannya tidak mau membebaskan, maka penguasa berhak memaksanya untuk membebaskan budaknya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, ‘Barangsiapa memukul budaknya atau menderanya, maka dendanya adalah membebaskannya.” (HR. Imam Muslim)
Islam juga telah menjadikan pembebasan budak sebagai denda (kifarah) atas dosa-dosa yang dilakukan seorang muslim. Allah telah menjadikan pembebasan budak sebagai kifarah atas pembunuhan tidak sengaja. Allah swt berfirman, “Tidaklah patut seorang mukmin membunuh mukmin yang lain, kecuali karena kesalahan (ketidaksengajaan). Siapa saja yang membunuh seorang mukmin karena kesalahan, hendaklah ia membebaskan budak atau membayar denda yang diserahkan kepada keluarganya..” (TQS. an-Nisaa’: 92)
Pembebasan budak juga ditetapkan sebagai kifarah atas pelanggaran sumpah. Allah swt berfirman, “Maka kifarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kami berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak.” (TQS. al-Maidah: 89).
Pembebasan budak juga dijadikan kifarat pada kasus dzhihar, dan juga kasus suami yang menyetubuhi isterinya di siang hari bulan Ramadlan. Hukum-hukum di atas telah dikaitkan dengan pembebasan budak. Ini menunjukkan, bahwa Islam telah mendorong umatnya untuk berlaku baik, mendudukkan mereka pada tempat yang setara dengan orang merdeka, baik dalam hal harta dan darah, serta mendorong kaum Muslim untuk membebaskan budak.
Islam tidak mencukupkan diri hanya dengan menetapkan hukum-hukum yang memaksa seseorang untuk membebaskan budak, akan tetapi Islam juga telah menetapkan hukum bagi budak untuk membebaskan dirinya sendiri, sebagaimana Islam telah menetapkan mekanisme bagi tuan untuk membebaskan budaknya. Allah swt berfirman,”Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kelebihan para mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta yang telah dikaruniakan Allah kepadamu.” (TQS. an-Nuur: 33). Ayat ini berbicara tentang budak yang ingin membebaskan dirinya (mukatab).
Keempat, di dalam baitul maal, terdapat pos khusus untuk membantu para budak membebaskan dirinya. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak , orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah swt.” (TQS at-Taubah: 60). Pos untuk pembebasan budak tidak ditentukan besar kecilnya. Seorang khalifah boleh saja memberikan prosentase di atas 50% untuk pembebasan budak. Bahkan ia boleh mengalokasikan semua perolehan zakat untuk pembebasan budak.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa syariat Islam diturunkan untuk membebaskan budak-budak dan menghapuskan perbudakan yang ada pada saat itu, bukan untuk melanggengkan dan mempertahankan eksistensinya.
Islam dan Sistem Perbudakan
Adapun ditinjau dari sisi sistem perbudakan, sesungguhnya Islam telah menghapuskan sistem perbudakan secara permanen hingga hari akhir. Dengan kata lain, Islam telah mengharamkan perbudakan atas orang-orang merdeka dengan pengharaman yang pasti. Rasulullah saw bersabda, “Ada tiga orang yang akan aku tuntut kelak di hari kiamat. Seorang laki-laki meminta kepadaku, kemudian ia berkhianat, dan seorang laki-laki yang menjual seorang laki-laki merdeka, kemudian ia memakan hasil penjualannya itu, dan seorang laki-laki yang mempekerjakan seseorang dan tidak pernah diberi upahnya.”[HR. Bukhari] Hadits ini menunjukkan bahwa Allah swt melarang memperjualbelikan (memperbudak) orang-orang yang merdeka.
Dalam kondisi perang, Islam juga telah mengharamkan secara mutlak memperbudak tawanan perang. Pada tahun ke 2 Hijrah, Allah swt telah menjelaskan ketentuan hukum mengenai tawanan perang, yaitu; (1) dilumpuhkan seluruhnya, (2) ditebus dengan sejumlah harta, ditukar dengan tawanan kaum muslim atau kafir dzimmiy. Hukum ini telah melarang memperbudak tawanan perang. Allah swt berfirman;
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berhenti.“ (TQS. Muhammad (47) :4).
Ada sebagian fukaha menyatakan bahwa Rasulullah saw telah memperbudak tawanan perang saat perang Hunain. Padahal, ayat di atas turun pada tahun ke 2 Hijriyyah jauh sebelum peristiwa perang Hunain. Untuk itu, mereka berpendapat bahwa kondisi perang, kaum Muslim masih diperbolehkan memperbudak tawanan perang. Jawaban atas pernyataan ini adalah sebagai berikut. Sesungguhnya, perbuatan dan perkataan Rasulullah hanya berfungsi untuk mentaqyiid, mengkhususkan, atau mentafshilkan (merinci), kemutlakan, keumuman, dan kemujmalan (keglobalan) al-Quran, namun tidak bisa digunakan untuk menghapus al-Quran (nasakh). Ayat di atas sama sekali tidak berbentuk muthlaq sehingga layak untuk ditaqyiid. Ayat di atas lafadznya juga tidak berbentuk umum, sehingga absah untuk ditakhshish. Ayat di atas juga tidak berbentuk mujmal sehingga layak dirinci oleh sunnah. Sedangkan hadits yang menuturkan bahwa Rasulullah saw pernah memperbudak tawanan perang di Hunain, adalah hadits ahad. Khabar ahad tidak boleh menasakh (menghapus) al-Quran yang mutawatir. Oleh karena itu, jika riwayat yang menuturkan perbudakan tawanan perang di perang Hunain memang benar-benar shahih, maka ia harus ditolak matannya, karena bertentangan dengan khabar mutawatir.
Fakta saat perang Hunain menunjukkan bahwa, para wanita dan anak-anak telah terlibat dalam perang, baik untuk memperkuat pasukan atau memberi semangat pasukan. Tatkala pasukan Hunain dikalahkan, wanita dan anak-anak itu dihukumi sebagai sabaya. Sabaya adalah kaum wanita dan anak-anak yang turut serta dan melibatkan diri dalam kancah peperangan. Menurut orang Arab, istilah sabaya hanya ditujukan untuk kaum perempuan dan anak-anak yang terlibat dalam peperangan, dan tidak mencakup kaum laki-laki. Rasulullah saw membagi-bagikan mereka (sabaya) kepada kaum Muslim yang turut berperang. Sebagian shahabat ada yang mengembalikan sabaya ini kepada keluarganya. Namun demikian, tatkala Rasulullah saw memerangi Khaibar, beliau tidak menawan penduduknya, baik laki-laki, wanita dan anak-anak. Beliau saw membiarkan mereka menjadi orang-orang yang bebas (merdeka). Ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap sabaya tergantung dari khalifah. Khalifah boleh saja memperbudak mereka, atau membebaskan mereka. Namun, hukum semacam ini hanya berlaku kepada sabaya, yakni wanita dan anak-anak yang terlibat dalam perang. Sedangkan laki-laki yang turut perang dan orang-orang yang berada di dalam rumahnya dan tidak ikut berperang, tidak boleh diperbudak sama sekali. Dengan kata lain, tawanan perang (al-usriy) tidak boleh diperbudak, sedangkan sabaya (wanita-wanita dan anak-anak yang turut perang) boleh diperbudak atau dibebaskan. Hanya saja, sabaya tidak boleh ditebus dengan harta. Tindakan semacam ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat perang Hunain, dan Khaibar. Pada saat perang Hunain, Rasulullah saw memperbudak sabaya, lalu kemudian membebaskan mereka. Sedangkan pada saat perang Khaibar, beliau membebaskan para sabaya, dan tidak memperbudak mereka.
Hanya saja, tindakan khalifah (imam) untuk “memperbudak” sabaya, tidak boleh diartikan bahwa sabaya itu hendak diperbudak secara langsung; atau diartikan bahwa Islam masih mentolerir dan melanggengkan perbudakan. Tetapi, tindakan semacam ini diberlakukan hanya dalam kondisi peperangan, dan berada di bawah koridor hukum darurat perang. Dengan demikian, tindakan khalifah tersebut semata-mata demi kepentingan politik perang (siyasah al-harb); dan bukan ditujukan untuk memperbudak mereka secara langsung.
Dari seluruh keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, Islam telah memecahkan masalah perbudakan, sekaligus juga menetapkan aturan-aturan komprehensif yang bisa mencegah terjadinya perbudakan kembali. Selain itu, Islam juga memberikan kewenangan kepada khalifah untuk memperlakukan sabaya, sesuai dengan politik dan kepentingan perang. Tidak hanya itu saja, Islam juga telah menghapuskan perbudakan ketika Islam melarang melibatkan anak-anak dan wanita dalam medan peperangan, seperti yang diterapkan pada hukum perang modern. Ini semua menunjukkan bahwa Islam melarang dan menghapuskan perbudakan yang terjadi di tengah-tengah manusia untuk selama-lamanya. (Syamsuddin Ramadlan An-Nawiy)
Label:
Syari`at Islam
Diposting oleh
Al Ilmu
komentar (0)
Yaman saat ini tengah menghadapi permasalahan dan krisis yang sangat berbahaya. Yaman terpuruk dari banyak sisi: politik, ekonomi, dan sosial (kekacuan, protes, penculikan, pembunuhan, korban luka, penangkapan sewenang-wenang, disamping masalah kemiskinan, kebodohan, gangguan keamanan, kriminalitas, melonjaknya biaya kesehatan dan pendidikan, listrik hidup-mati setiap hari, kekeringan, penyedotan kekayaan (minyak dan gas), tersebarnya pornografi dan pornoaksi, penyerobotan tanah dan harta kekayaan, dan tak tersedianya kebutuhan-kebutuhan pokok baik pangan sandang dan papan secara layak bagi mayoritas masyarakat). Semua itu terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam dan dana dalam jumlah yang besar dipungut dari masyarakat secara tidak haq.
Semua itu menandakan kegagalan sistem yang sedang eksis di negeri ini (Yaman). Sekaligus menunjukkan ketidakmampuan sistem ini untuk menyelesaikan satupun dari masalah-masalah yang menimpa Yaman. Yaitu, masalah-masalah yang akan menjadikan kondisi paling buruk jika tidak dipahami secara benar. Hal itu menegaskan pentingnya aktivitas serius untuk merubahnya dan membebaskan negeri dan penduduknya dari berbagai keburukannya.
Akan tetapi jalan manakah yang tepat untuk mewujudkan perubahan itu. Apakah tawaran solusi-solusi yang memberikan berita gembira dengan arah yang benar, dari pandangan yang terpancar dari akidah umat ini, yang sesuai dengan harapan-harapannya. Ataukah solusi-solusi yang dibisikkan dari luar, yang justru menambah runyam masalah, dan tidak bisa memberikan keuntungan.
Akhir-akhir ini ditawarkan berbagai inisiatif untuk menyelesaikan berbagai krisis tersebut. Maka ditawarkan ide federasi, konfederasi, dan sistem otonomi. Juga muncul sejumlah kelompok baru (Gerakan Selatan, Gerakan Putera-Putera Gurun, Multaqa Musyawarah Nasional, Majlis Solidaritas Nasional, Komite Dialog Nasional, dan sebagainya). Namun kelompok-kelompok itu tidak memiliki program politik yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan. Majlis Solidaritas Nasional dan Majlis Musyawarah Nasional, keduanya ada untuk merekrut kekuatan berpengaruh di masyarakat demi kemenangan rezim berkuasa. Gerakan Selatan menuntut dihapusnya kezaliman dan pengembalian hak, dan hanya itu! Sedangkan Gerakan Putera-Putera Gurun (Syabwah, Hadramaut, Ma’rib dan al-Jawf) merupakan gerakan Saudi dalam menjaga perbatasan Saudi dan empat propinsi yang kaya sumber daya alam khususnya minyak dan gas. Sedangkan Komite Dialog Nasional didirikan juga untuk menyalurkan berbagai kebuntuan dan menyenangkan oposisi dengan beberapa tawaran, kedudukan dan harta! Dengan memperhatikan secara sekilas terhadap program yang ditawarkan, kita temukan semua itu menyalahi sistem pemerintahan Islam dan mendatangkan bahaya yang membinasakan bagi sistem politik, ekonomi dan sosial:
Federasi adalah berserikatnya propinsi-propinsi suatu negeri di dalam negara serikat yang memiliki pemerintahan pusat, dan setiap propinsi memiliki independensi, undang-undang khusus, pemerintahan dan hukum yang khusus, tanpa memiliki hak melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara asing. Sedangkan Konfederasi adalah gambaran tentang perserikatan antara dua negara atau lebih dalam sejumlah bidang seperti ekonomi atau pertahanan dan sebagainya, sesuai kesepakatan. Dan masing-masing negara tetap memiliki personaliti independen dan memiliki wewenang membangun hubungan diplomasi luar negeri sendiri. Masing-masing negara juga memiliki militer sendiri. Artinya adanya dua institusi atau dua negara dalam kesatuan konfederasi. Sedangkan Islam, Islam mewajibkan kesatuan diantara negeri-negeri Islam dan mengharamkan perserikatan di antara mereka. Sistem yang benar adalah sistem kesatuan, bukan yang lain. Karena syara’ telah menunjukkan demikian dan mengharamkan sistem selainnya. Rasul saw bersabda:
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangan dan buah hatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan jika datang orang lain yang ingin merebutnya maka penggallah leher orang lain itu
Rasul saw juga bersabda:
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya
Hadis pertama menetapkan haramnya negara dipecah-pecah menjadi beberapa negara bagian; mendorong untuk tidak memberikan toleransi terhadap pembagian negara; dan melarang pemisahan diri darinya, meski untuk itu harus menggunakan kekuatan. Sedangkan hadis kedua menetapkan haramnya menjadikan negara khilafah menjadi banyak negara dan tidak mentolerir adanya lebih dari seorang khalifah. Dari sini maka sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan bukan sistem serikat. Selain sistem kesatuan diharamkan secara pasti. Disamping itu, hukum Islam adalah sama di seluruh wilayah negara. Tidak ada hukum khusus untuk wilayah tertentu dan untuk kelompok tertentu. Ini artinya bahwa sistem federasi (serikat) dengan sebutan apapun adalah haram secara pasti. Anggapan bahwa sistem Republik adalah bagian dari Islam telah bergema di benak kaum Muslim. Hal itu karena penyesatan secara sengaja yang dilakuan oleh Barat, para penguasa antek mereka dan ulama penguasa. Hal itu disertai kesadaran bahwa sistem Republik adalah hasil peradaban Barat yang kafir. Barat kafirlah yang telah membuat tiga ide setan (Demokrasi-Sekulerisme-Republik) untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari kelaliman abad pertengahan, abad kegelapan yang melingkupi kehidupan mereka. Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada perbedaan besar antara abad pertengahan mereka yang penuh kegelapan dengan tiga ide setan yang mereka buat-buat. Pada waktu mereka mengadakan Republik dan demokrasi untuk membebaskan dan memerdekakan diri –sesuai anggapan mereka- namun saat yang sama mereka memenuhi dunia dengan kekacuan, perang, kelaliman, dan kediktatoran. Mereka memenuhi negeri-negeri kaum Muslim dengan genangan darah dan air mata. Mereka pun merampas kekayaan bangsa-bangsa menggunakan sebutan kerjasama dan investasi. Yaman pasca hancurnya Khilafah Utsmaniyah dan pasca revolusi bersenjata terhadap khalifah, sejak itu Yaman diperintah dengan keburukan ini. Maka Yaman di bawah pemerintahan Republik justru banyak mengalami kemunduran. Yaman dan penduduknya pun terjerembab ke posisi yang rendah. Sepanjang sejarah, Yaman tidak pernah terjatuh pada keterpurukan seperti yang terjadi di bawah sistem Republik ini.
Sistem Republik telah menggantikan sistem Islam. Akhirnya segala kerusakan dan keburukan ini pun masuk ke tengah-tengah kita. Karena itu, harus dipisahkan antara sistem Republik dengan sisten Khilafah Islamiyah supaya Anda bisa melihat dengan mata kepala sendiri kekontrasan dan perbedaan besar antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem sekuler.
Sistem Republik tegak di atas dasar sekulerisme, pemerintahan rakyat, dan kedaulatan di dalamnya menjadi milik rakyat. Jadi rakyat lah yang menentukan dengan hukum apa mereka diperintah. Rakyat memiliki hak pemerintahan dan legislasi. Jadi rakyat memiliki hak mendatangkan hukum dan undang-undang apa saja yang diinginkan. Rakyat berhak mendatangkan penguasa siapa pun sekaligus berhak mencopotnya. Rakyat berhak membuat konstitusi dan undang-undang meski konstitusi dan undang-undang itu kufur. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi dan undang-undang itu.
Sementara itu sistem Islam tegak di atas akidah Islam dan hukum-hukum syara’. Kedaulatan di dalam sistem Islam ada di tangan syara’, bukan di tangan umat. Di dalam sistem Islam, umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Pihak yang berhak membuat hukum hanyalah Allah semata. Khalifah hanya memiliki hak mengadopsi hukum-hukum dari al-Kitab dan as-Sunah sehingga menjadi konstitusi. Umat juga tidak memiliki hak memberhentikan Khalifah. Pihak yang berhak memberhentikan Khalifah adalah syara’ yang diatur di dalam hukum-hukum tertentu. Umat memiliki hak mengangkat Khalifah melalui pemilihan dan baiat berdasarkan pilihan dan kerelaan bukan dengan paksaan, tekanan, dan pemalsuan kehendak rakyat seperti yang dilakukan oleh sistem Republik. Karena Islam telah menetapkan kekuasaan dan pemerintahan adalah milik umat, sehingga umat berhak mewakilkan kepada orang-orang yang mereka pilih dan mereka baiat. Khalifah adalah wakil umat bukan pegawai umat seperti dalam sistem Republik. Di dalam sistem Republik, para kapitalis dan orang-orang yang berpengaruh, mempekerjakan seseorang untuk merealisasi kepentingan-kepentingan mereka dan menerapkan kebijakan-kebijakan mereka, bukan untuk menerapkan kebijakan syara’ atau kebijakan rakyat atau umat sekalipun!!
Di dalam sistem khilafah, seorang Khalifah bertanggung jawab atas urusan umat dan ia akan dikoreksi oleh umat. Akan tetapi umat tidak memiliki hak untuk mencopot khalifah. Yang memiliki hak mencopot khalifah adalah syara’. Yaitu jika khalifah menyalahi hukum syara’ yang mengharuskan ia dicopot. Pihak yang memutuskan pencopotan khalifah itu adalah Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini tidak ada di dalam sistem kapitalisme dan Republik!!
Sistem Republik, baik presidensiil maupun parlementer, masa jabatan pemimpin dibatasi selama jangka waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, penguasa membuat banyak kerusakan dan tidak seorang pun bisa mencopotnya. Akan tetapi di dalam Islam dan di dalam sistem khilafah, masa jabatan khalifah tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masa jabatan khalifah tidak lain dibatasi dengan sejauh mana ia menerapkan syariah. Jika ia menyalahi syariah, meski baru sehari, seminggu, atau sebulan, ia bisa dicopot dengan keputusan dari Mahkamah Mazhalim. Setelah itu ia tidak boleh bertahan di kekuasaan meski sehari pun.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem Republik. Juga tidak boleh dikatakan Republik Islam, karena adanya pertentangan besar di antara sistem Islam dengan sistem Republik pada asas, pilar-pilar, bentuk, dan rinciannya.
Ini dari sisi penyimpangan sistem tersebut dari syariah Allah SWT. Sedangkan dari sisi bahayanya, sistem tersebut menyerukan pembagian dan pemecahbelahan Yaman menjadi sejumlah negara bagian kecil yang memudahkan imperialis mendominasi dan mencengkeramnya, serta memicu kegoncangan di dalamnya. Dan terakhir kami katakan bahwa semua solusi yang ditawarkan itu menyalahi syariah Allah SWT. Allah SWT mengharamkan kita berhukum kepada selain Islam. Karena itu, kami menyeru Anda wahai penduduk Yaman untuk berjuang bersama Hizbut Tahrir untuk menegakkan negara yang haq dan adil, negara kebaikan, negara cahaya, yaitu negara Khilafah Rasyidah yang kedua, untuk menyatukan Anda semua di bawah panji Islam dan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan Anda dan permasalahan umat Islam seluruhnya.
Allah SWT berfirman:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59)
Sumber: Hizbut Tahrir
Semua itu menandakan kegagalan sistem yang sedang eksis di negeri ini (Yaman). Sekaligus menunjukkan ketidakmampuan sistem ini untuk menyelesaikan satupun dari masalah-masalah yang menimpa Yaman. Yaitu, masalah-masalah yang akan menjadikan kondisi paling buruk jika tidak dipahami secara benar. Hal itu menegaskan pentingnya aktivitas serius untuk merubahnya dan membebaskan negeri dan penduduknya dari berbagai keburukannya.
Akan tetapi jalan manakah yang tepat untuk mewujudkan perubahan itu. Apakah tawaran solusi-solusi yang memberikan berita gembira dengan arah yang benar, dari pandangan yang terpancar dari akidah umat ini, yang sesuai dengan harapan-harapannya. Ataukah solusi-solusi yang dibisikkan dari luar, yang justru menambah runyam masalah, dan tidak bisa memberikan keuntungan.
Akhir-akhir ini ditawarkan berbagai inisiatif untuk menyelesaikan berbagai krisis tersebut. Maka ditawarkan ide federasi, konfederasi, dan sistem otonomi. Juga muncul sejumlah kelompok baru (Gerakan Selatan, Gerakan Putera-Putera Gurun, Multaqa Musyawarah Nasional, Majlis Solidaritas Nasional, Komite Dialog Nasional, dan sebagainya). Namun kelompok-kelompok itu tidak memiliki program politik yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan. Majlis Solidaritas Nasional dan Majlis Musyawarah Nasional, keduanya ada untuk merekrut kekuatan berpengaruh di masyarakat demi kemenangan rezim berkuasa. Gerakan Selatan menuntut dihapusnya kezaliman dan pengembalian hak, dan hanya itu! Sedangkan Gerakan Putera-Putera Gurun (Syabwah, Hadramaut, Ma’rib dan al-Jawf) merupakan gerakan Saudi dalam menjaga perbatasan Saudi dan empat propinsi yang kaya sumber daya alam khususnya minyak dan gas. Sedangkan Komite Dialog Nasional didirikan juga untuk menyalurkan berbagai kebuntuan dan menyenangkan oposisi dengan beberapa tawaran, kedudukan dan harta! Dengan memperhatikan secara sekilas terhadap program yang ditawarkan, kita temukan semua itu menyalahi sistem pemerintahan Islam dan mendatangkan bahaya yang membinasakan bagi sistem politik, ekonomi dan sosial:
Federasi adalah berserikatnya propinsi-propinsi suatu negeri di dalam negara serikat yang memiliki pemerintahan pusat, dan setiap propinsi memiliki independensi, undang-undang khusus, pemerintahan dan hukum yang khusus, tanpa memiliki hak melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara asing. Sedangkan Konfederasi adalah gambaran tentang perserikatan antara dua negara atau lebih dalam sejumlah bidang seperti ekonomi atau pertahanan dan sebagainya, sesuai kesepakatan. Dan masing-masing negara tetap memiliki personaliti independen dan memiliki wewenang membangun hubungan diplomasi luar negeri sendiri. Masing-masing negara juga memiliki militer sendiri. Artinya adanya dua institusi atau dua negara dalam kesatuan konfederasi. Sedangkan Islam, Islam mewajibkan kesatuan diantara negeri-negeri Islam dan mengharamkan perserikatan di antara mereka. Sistem yang benar adalah sistem kesatuan, bukan yang lain. Karena syara’ telah menunjukkan demikian dan mengharamkan sistem selainnya. Rasul saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَاماً فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ، فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangan dan buah hatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan jika datang orang lain yang ingin merebutnya maka penggallah leher orang lain itu
Rasul saw juga bersabda:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya
Hadis pertama menetapkan haramnya negara dipecah-pecah menjadi beberapa negara bagian; mendorong untuk tidak memberikan toleransi terhadap pembagian negara; dan melarang pemisahan diri darinya, meski untuk itu harus menggunakan kekuatan. Sedangkan hadis kedua menetapkan haramnya menjadikan negara khilafah menjadi banyak negara dan tidak mentolerir adanya lebih dari seorang khalifah. Dari sini maka sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan bukan sistem serikat. Selain sistem kesatuan diharamkan secara pasti. Disamping itu, hukum Islam adalah sama di seluruh wilayah negara. Tidak ada hukum khusus untuk wilayah tertentu dan untuk kelompok tertentu. Ini artinya bahwa sistem federasi (serikat) dengan sebutan apapun adalah haram secara pasti. Anggapan bahwa sistem Republik adalah bagian dari Islam telah bergema di benak kaum Muslim. Hal itu karena penyesatan secara sengaja yang dilakuan oleh Barat, para penguasa antek mereka dan ulama penguasa. Hal itu disertai kesadaran bahwa sistem Republik adalah hasil peradaban Barat yang kafir. Barat kafirlah yang telah membuat tiga ide setan (Demokrasi-Sekulerisme-Republik) untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari kelaliman abad pertengahan, abad kegelapan yang melingkupi kehidupan mereka. Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada perbedaan besar antara abad pertengahan mereka yang penuh kegelapan dengan tiga ide setan yang mereka buat-buat. Pada waktu mereka mengadakan Republik dan demokrasi untuk membebaskan dan memerdekakan diri –sesuai anggapan mereka- namun saat yang sama mereka memenuhi dunia dengan kekacuan, perang, kelaliman, dan kediktatoran. Mereka memenuhi negeri-negeri kaum Muslim dengan genangan darah dan air mata. Mereka pun merampas kekayaan bangsa-bangsa menggunakan sebutan kerjasama dan investasi. Yaman pasca hancurnya Khilafah Utsmaniyah dan pasca revolusi bersenjata terhadap khalifah, sejak itu Yaman diperintah dengan keburukan ini. Maka Yaman di bawah pemerintahan Republik justru banyak mengalami kemunduran. Yaman dan penduduknya pun terjerembab ke posisi yang rendah. Sepanjang sejarah, Yaman tidak pernah terjatuh pada keterpurukan seperti yang terjadi di bawah sistem Republik ini.
Sistem Republik telah menggantikan sistem Islam. Akhirnya segala kerusakan dan keburukan ini pun masuk ke tengah-tengah kita. Karena itu, harus dipisahkan antara sistem Republik dengan sisten Khilafah Islamiyah supaya Anda bisa melihat dengan mata kepala sendiri kekontrasan dan perbedaan besar antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem sekuler.
Sistem Republik tegak di atas dasar sekulerisme, pemerintahan rakyat, dan kedaulatan di dalamnya menjadi milik rakyat. Jadi rakyat lah yang menentukan dengan hukum apa mereka diperintah. Rakyat memiliki hak pemerintahan dan legislasi. Jadi rakyat memiliki hak mendatangkan hukum dan undang-undang apa saja yang diinginkan. Rakyat berhak mendatangkan penguasa siapa pun sekaligus berhak mencopotnya. Rakyat berhak membuat konstitusi dan undang-undang meski konstitusi dan undang-undang itu kufur. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi dan undang-undang itu.
Sementara itu sistem Islam tegak di atas akidah Islam dan hukum-hukum syara’. Kedaulatan di dalam sistem Islam ada di tangan syara’, bukan di tangan umat. Di dalam sistem Islam, umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Pihak yang berhak membuat hukum hanyalah Allah semata. Khalifah hanya memiliki hak mengadopsi hukum-hukum dari al-Kitab dan as-Sunah sehingga menjadi konstitusi. Umat juga tidak memiliki hak memberhentikan Khalifah. Pihak yang berhak memberhentikan Khalifah adalah syara’ yang diatur di dalam hukum-hukum tertentu. Umat memiliki hak mengangkat Khalifah melalui pemilihan dan baiat berdasarkan pilihan dan kerelaan bukan dengan paksaan, tekanan, dan pemalsuan kehendak rakyat seperti yang dilakukan oleh sistem Republik. Karena Islam telah menetapkan kekuasaan dan pemerintahan adalah milik umat, sehingga umat berhak mewakilkan kepada orang-orang yang mereka pilih dan mereka baiat. Khalifah adalah wakil umat bukan pegawai umat seperti dalam sistem Republik. Di dalam sistem Republik, para kapitalis dan orang-orang yang berpengaruh, mempekerjakan seseorang untuk merealisasi kepentingan-kepentingan mereka dan menerapkan kebijakan-kebijakan mereka, bukan untuk menerapkan kebijakan syara’ atau kebijakan rakyat atau umat sekalipun!!
Di dalam sistem khilafah, seorang Khalifah bertanggung jawab atas urusan umat dan ia akan dikoreksi oleh umat. Akan tetapi umat tidak memiliki hak untuk mencopot khalifah. Yang memiliki hak mencopot khalifah adalah syara’. Yaitu jika khalifah menyalahi hukum syara’ yang mengharuskan ia dicopot. Pihak yang memutuskan pencopotan khalifah itu adalah Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini tidak ada di dalam sistem kapitalisme dan Republik!!
Sistem Republik, baik presidensiil maupun parlementer, masa jabatan pemimpin dibatasi selama jangka waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, penguasa membuat banyak kerusakan dan tidak seorang pun bisa mencopotnya. Akan tetapi di dalam Islam dan di dalam sistem khilafah, masa jabatan khalifah tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masa jabatan khalifah tidak lain dibatasi dengan sejauh mana ia menerapkan syariah. Jika ia menyalahi syariah, meski baru sehari, seminggu, atau sebulan, ia bisa dicopot dengan keputusan dari Mahkamah Mazhalim. Setelah itu ia tidak boleh bertahan di kekuasaan meski sehari pun.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem Republik. Juga tidak boleh dikatakan Republik Islam, karena adanya pertentangan besar di antara sistem Islam dengan sistem Republik pada asas, pilar-pilar, bentuk, dan rinciannya.
Ini dari sisi penyimpangan sistem tersebut dari syariah Allah SWT. Sedangkan dari sisi bahayanya, sistem tersebut menyerukan pembagian dan pemecahbelahan Yaman menjadi sejumlah negara bagian kecil yang memudahkan imperialis mendominasi dan mencengkeramnya, serta memicu kegoncangan di dalamnya. Dan terakhir kami katakan bahwa semua solusi yang ditawarkan itu menyalahi syariah Allah SWT. Allah SWT mengharamkan kita berhukum kepada selain Islam. Karena itu, kami menyeru Anda wahai penduduk Yaman untuk berjuang bersama Hizbut Tahrir untuk menegakkan negara yang haq dan adil, negara kebaikan, negara cahaya, yaitu negara Khilafah Rasyidah yang kedua, untuk menyatukan Anda semua di bawah panji Islam dan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan Anda dan permasalahan umat Islam seluruhnya.
Allah SWT berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59)
Sumber: Hizbut Tahrir
Label:
Sistem Pemerintahan
Diposting oleh
Al Ilmu
komentar (0)
Yaman saat ini tengah menghadapi permasalahan dan krisis yang sangat berbahaya. Yaman terpuruk dari banyak sisi: politik, ekonomi, dan sosial (kekacuan, protes, penculikan, pembunuhan, korban luka, penangkapan sewenang-wenang, disamping masalah kemiskinan, kebodohan, gangguan keamanan, kriminalitas, melonjaknya biaya kesehatan dan pendidikan, listrik hidup-mati setiap hari, kekeringan, penyedotan kekayaan (minyak dan gas), tersebarnya pornografi dan pornoaksi, penyerobotan tanah dan harta kekayaan, dan tak tersedianya kebutuhan-kebutuhan pokok baik pangan sandang dan papan secara layak bagi mayoritas masyarakat). Semua itu terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam dan dana dalam jumlah yang besar dipungut dari masyarakat secara tidak haq.
Semua itu menandakan kegagalan sistem yang sedang eksis di negeri ini (Yaman). Sekaligus menunjukkan ketidakmampuan sistem ini untuk menyelesaikan satupun dari masalah-masalah yang menimpa Yaman. Yaitu, masalah-masalah yang akan menjadikan kondisi paling buruk jika tidak dipahami secara benar. Hal itu menegaskan pentingnya aktivitas serius untuk merubahnya dan membebaskan negeri dan penduduknya dari berbagai keburukannya.
Akan tetapi jalan manakah yang tepat untuk mewujudkan perubahan itu. Apakah tawaran solusi-solusi yang memberikan berita gembira dengan arah yang benar, dari pandangan yang terpancar dari akidah umat ini, yang sesuai dengan harapan-harapannya. Ataukah solusi-solusi yang dibisikkan dari luar, yang justru menambah runyam masalah, dan tidak bisa memberikan keuntungan.
Akhir-akhir ini ditawarkan berbagai inisiatif untuk menyelesaikan berbagai krisis tersebut. Maka ditawarkan ide federasi, konfederasi, dan sistem otonomi. Juga muncul sejumlah kelompok baru (Gerakan Selatan, Gerakan Putera-Putera Gurun, Multaqa Musyawarah Nasional, Majlis Solidaritas Nasional, Komite Dialog Nasional, dan sebagainya). Namun kelompok-kelompok itu tidak memiliki program politik yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan. Majlis Solidaritas Nasional dan Majlis Musyawarah Nasional, keduanya ada untuk merekrut kekuatan berpengaruh di masyarakat demi kemenangan rezim berkuasa. Gerakan Selatan menuntut dihapusnya kezaliman dan pengembalian hak, dan hanya itu! Sedangkan Gerakan Putera-Putera Gurun (Syabwah, Hadramaut, Ma’rib dan al-Jawf) merupakan gerakan Saudi dalam menjaga perbatasan Saudi dan empat propinsi yang kaya sumber daya alam khususnya minyak dan gas. Sedangkan Komite Dialog Nasional didirikan juga untuk menyalurkan berbagai kebuntuan dan menyenangkan oposisi dengan beberapa tawaran, kedudukan dan harta! Dengan memperhatikan secara sekilas terhadap program yang ditawarkan, kita temukan semua itu menyalahi sistem pemerintahan Islam dan mendatangkan bahaya yang membinasakan bagi sistem politik, ekonomi dan sosial:
Federasi adalah berserikatnya propinsi-propinsi suatu negeri di dalam negara serikat yang memiliki pemerintahan pusat, dan setiap propinsi memiliki independensi, undang-undang khusus, pemerintahan dan hukum yang khusus, tanpa memiliki hak melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara asing. Sedangkan Konfederasi adalah gambaran tentang perserikatan antara dua negara atau lebih dalam sejumlah bidang seperti ekonomi atau pertahanan dan sebagainya, sesuai kesepakatan. Dan masing-masing negara tetap memiliki personaliti independen dan memiliki wewenang membangun hubungan diplomasi luar negeri sendiri. Masing-masing negara juga memiliki militer sendiri. Artinya adanya dua institusi atau dua negara dalam kesatuan konfederasi. Sedangkan Islam, Islam mewajibkan kesatuan diantara negeri-negeri Islam dan mengharamkan perserikatan di antara mereka. Sistem yang benar adalah sistem kesatuan, bukan yang lain. Karena syara’ telah menunjukkan demikian dan mengharamkan sistem selainnya. Rasul saw bersabda:
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangan dan buah hatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan jika datang orang lain yang ingin merebutnya maka penggallah leher orang lain itu
Rasul saw juga bersabda:
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya
Hadis pertama menetapkan haramnya negara dipecah-pecah menjadi beberapa negara bagian; mendorong untuk tidak memberikan toleransi terhadap pembagian negara; dan melarang pemisahan diri darinya, meski untuk itu harus menggunakan kekuatan. Sedangkan hadis kedua menetapkan haramnya menjadikan negara khilafah menjadi banyak negara dan tidak mentolerir adanya lebih dari seorang khalifah. Dari sini maka sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan bukan sistem serikat. Selain sistem kesatuan diharamkan secara pasti. Disamping itu, hukum Islam adalah sama di seluruh wilayah negara. Tidak ada hukum khusus untuk wilayah tertentu dan untuk kelompok tertentu. Ini artinya bahwa sistem federasi (serikat) dengan sebutan apapun adalah haram secara pasti. Anggapan bahwa sistem Republik adalah bagian dari Islam telah bergema di benak kaum Muslim. Hal itu karena penyesatan secara sengaja yang dilakuan oleh Barat, para penguasa antek mereka dan ulama penguasa. Hal itu disertai kesadaran bahwa sistem Republik adalah hasil peradaban Barat yang kafir. Barat kafirlah yang telah membuat tiga ide setan (Demokrasi-Sekulerisme-Republik) untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari kelaliman abad pertengahan, abad kegelapan yang melingkupi kehidupan mereka. Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada perbedaan besar antara abad pertengahan mereka yang penuh kegelapan dengan tiga ide setan yang mereka buat-buat. Pada waktu mereka mengadakan Republik dan demokrasi untuk membebaskan dan memerdekakan diri –sesuai anggapan mereka- namun saat yang sama mereka memenuhi dunia dengan kekacuan, perang, kelaliman, dan kediktatoran. Mereka memenuhi negeri-negeri kaum Muslim dengan genangan darah dan air mata. Mereka pun merampas kekayaan bangsa-bangsa menggunakan sebutan kerjasama dan investasi. Yaman pasca hancurnya Khilafah Utsmaniyah dan pasca revolusi bersenjata terhadap khalifah, sejak itu Yaman diperintah dengan keburukan ini. Maka Yaman di bawah pemerintahan Republik justru banyak mengalami kemunduran. Yaman dan penduduknya pun terjerembab ke posisi yang rendah. Sepanjang sejarah, Yaman tidak pernah terjatuh pada keterpurukan seperti yang terjadi di bawah sistem Republik ini.
Sistem Republik telah menggantikan sistem Islam. Akhirnya segala kerusakan dan keburukan ini pun masuk ke tengah-tengah kita. Karena itu, harus dipisahkan antara sistem Republik dengan sisten Khilafah Islamiyah supaya Anda bisa melihat dengan mata kepala sendiri kekontrasan dan perbedaan besar antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem sekuler.
Sistem Republik tegak di atas dasar sekulerisme, pemerintahan rakyat, dan kedaulatan di dalamnya menjadi milik rakyat. Jadi rakyat lah yang menentukan dengan hukum apa mereka diperintah. Rakyat memiliki hak pemerintahan dan legislasi. Jadi rakyat memiliki hak mendatangkan hukum dan undang-undang apa saja yang diinginkan. Rakyat berhak mendatangkan penguasa siapa pun sekaligus berhak mencopotnya. Rakyat berhak membuat konstitusi dan undang-undang meski konstitusi dan undang-undang itu kufur. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi dan undang-undang itu.
Sementara itu sistem Islam tegak di atas akidah Islam dan hukum-hukum syara’. Kedaulatan di dalam sistem Islam ada di tangan syara’, bukan di tangan umat. Di dalam sistem Islam, umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Pihak yang berhak membuat hukum hanyalah Allah semata. Khalifah hanya memiliki hak mengadopsi hukum-hukum dari al-Kitab dan as-Sunah sehingga menjadi konstitusi. Umat juga tidak memiliki hak memberhentikan Khalifah. Pihak yang berhak memberhentikan Khalifah adalah syara’ yang diatur di dalam hukum-hukum tertentu. Umat memiliki hak mengangkat Khalifah melalui pemilihan dan baiat berdasarkan pilihan dan kerelaan bukan dengan paksaan, tekanan, dan pemalsuan kehendak rakyat seperti yang dilakukan oleh sistem Republik. Karena Islam telah menetapkan kekuasaan dan pemerintahan adalah milik umat, sehingga umat berhak mewakilkan kepada orang-orang yang mereka pilih dan mereka baiat. Khalifah adalah wakil umat bukan pegawai umat seperti dalam sistem Republik. Di dalam sistem Republik, para kapitalis dan orang-orang yang berpengaruh, mempekerjakan seseorang untuk merealisasi kepentingan-kepentingan mereka dan menerapkan kebijakan-kebijakan mereka, bukan untuk menerapkan kebijakan syara’ atau kebijakan rakyat atau umat sekalipun!!
Di dalam sistem khilafah, seorang Khalifah bertanggung jawab atas urusan umat dan ia akan dikoreksi oleh umat. Akan tetapi umat tidak memiliki hak untuk mencopot khalifah. Yang memiliki hak mencopot khalifah adalah syara’. Yaitu jika khalifah menyalahi hukum syara’ yang mengharuskan ia dicopot. Pihak yang memutuskan pencopotan khalifah itu adalah Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini tidak ada di dalam sistem kapitalisme dan Republik!!
Sistem Republik, baik presidensiil maupun parlementer, masa jabatan pemimpin dibatasi selama jangka waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, penguasa membuat banyak kerusakan dan tidak seorang pun bisa mencopotnya. Akan tetapi di dalam Islam dan di dalam sistem khilafah, masa jabatan khalifah tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masa jabatan khalifah tidak lain dibatasi dengan sejauh mana ia menerapkan syariah. Jika ia menyalahi syariah, meski baru sehari, seminggu, atau sebulan, ia bisa dicopot dengan keputusan dari Mahkamah Mazhalim. Setelah itu ia tidak boleh bertahan di kekuasaan meski sehari pun.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem Republik. Juga tidak boleh dikatakan Republik Islam, karena adanya pertentangan besar di antara sistem Islam dengan sistem Republik pada asas, pilar-pilar, bentuk, dan rinciannya.
Ini dari sisi penyimpangan sistem tersebut dari syariah Allah SWT. Sedangkan dari sisi bahayanya, sistem tersebut menyerukan pembagian dan pemecahbelahan Yaman menjadi sejumlah negara bagian kecil yang memudahkan imperialis mendominasi dan mencengkeramnya, serta memicu kegoncangan di dalamnya. Dan terakhir kami katakan bahwa semua solusi yang ditawarkan itu menyalahi syariah Allah SWT. Allah SWT mengharamkan kita berhukum kepada selain Islam. Karena itu, kami menyeru Anda wahai penduduk Yaman untuk berjuang bersama Hizbut Tahrir untuk menegakkan negara yang haq dan adil, negara kebaikan, negara cahaya, yaitu negara Khilafah Rasyidah yang kedua, untuk menyatukan Anda semua di bawah panji Islam dan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan Anda dan permasalahan umat Islam seluruhnya.
Allah SWT berfirman:
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59)
Semua itu menandakan kegagalan sistem yang sedang eksis di negeri ini (Yaman). Sekaligus menunjukkan ketidakmampuan sistem ini untuk menyelesaikan satupun dari masalah-masalah yang menimpa Yaman. Yaitu, masalah-masalah yang akan menjadikan kondisi paling buruk jika tidak dipahami secara benar. Hal itu menegaskan pentingnya aktivitas serius untuk merubahnya dan membebaskan negeri dan penduduknya dari berbagai keburukannya.
Akan tetapi jalan manakah yang tepat untuk mewujudkan perubahan itu. Apakah tawaran solusi-solusi yang memberikan berita gembira dengan arah yang benar, dari pandangan yang terpancar dari akidah umat ini, yang sesuai dengan harapan-harapannya. Ataukah solusi-solusi yang dibisikkan dari luar, yang justru menambah runyam masalah, dan tidak bisa memberikan keuntungan.
Akhir-akhir ini ditawarkan berbagai inisiatif untuk menyelesaikan berbagai krisis tersebut. Maka ditawarkan ide federasi, konfederasi, dan sistem otonomi. Juga muncul sejumlah kelompok baru (Gerakan Selatan, Gerakan Putera-Putera Gurun, Multaqa Musyawarah Nasional, Majlis Solidaritas Nasional, Komite Dialog Nasional, dan sebagainya). Namun kelompok-kelompok itu tidak memiliki program politik yang jelas untuk menyelesaikan permasalahan. Majlis Solidaritas Nasional dan Majlis Musyawarah Nasional, keduanya ada untuk merekrut kekuatan berpengaruh di masyarakat demi kemenangan rezim berkuasa. Gerakan Selatan menuntut dihapusnya kezaliman dan pengembalian hak, dan hanya itu! Sedangkan Gerakan Putera-Putera Gurun (Syabwah, Hadramaut, Ma’rib dan al-Jawf) merupakan gerakan Saudi dalam menjaga perbatasan Saudi dan empat propinsi yang kaya sumber daya alam khususnya minyak dan gas. Sedangkan Komite Dialog Nasional didirikan juga untuk menyalurkan berbagai kebuntuan dan menyenangkan oposisi dengan beberapa tawaran, kedudukan dan harta! Dengan memperhatikan secara sekilas terhadap program yang ditawarkan, kita temukan semua itu menyalahi sistem pemerintahan Islam dan mendatangkan bahaya yang membinasakan bagi sistem politik, ekonomi dan sosial:
Federasi adalah berserikatnya propinsi-propinsi suatu negeri di dalam negara serikat yang memiliki pemerintahan pusat, dan setiap propinsi memiliki independensi, undang-undang khusus, pemerintahan dan hukum yang khusus, tanpa memiliki hak melakukan hubungan diplomasi dengan negara-negara asing. Sedangkan Konfederasi adalah gambaran tentang perserikatan antara dua negara atau lebih dalam sejumlah bidang seperti ekonomi atau pertahanan dan sebagainya, sesuai kesepakatan. Dan masing-masing negara tetap memiliki personaliti independen dan memiliki wewenang membangun hubungan diplomasi luar negeri sendiri. Masing-masing negara juga memiliki militer sendiri. Artinya adanya dua institusi atau dua negara dalam kesatuan konfederasi. Sedangkan Islam, Islam mewajibkan kesatuan diantara negeri-negeri Islam dan mengharamkan perserikatan di antara mereka. Sistem yang benar adalah sistem kesatuan, bukan yang lain. Karena syara’ telah menunjukkan demikian dan mengharamkan sistem selainnya. Rasul saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَاماً فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ، فَإِنْ جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرِ
Dan siapa saja yang telah membaiat seorang imam lalu ia telah memberikan genggaman tangan dan buah hatinya maka hendaklah ia mentaatinya, dan jika datang orang lain yang ingin merebutnya maka penggallah leher orang lain itu
Rasul saw juga bersabda:
إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا اْلآخِرَ مِنْهُمَا
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya
Hadis pertama menetapkan haramnya negara dipecah-pecah menjadi beberapa negara bagian; mendorong untuk tidak memberikan toleransi terhadap pembagian negara; dan melarang pemisahan diri darinya, meski untuk itu harus menggunakan kekuatan. Sedangkan hadis kedua menetapkan haramnya menjadikan negara khilafah menjadi banyak negara dan tidak mentolerir adanya lebih dari seorang khalifah. Dari sini maka sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan bukan sistem serikat. Selain sistem kesatuan diharamkan secara pasti. Disamping itu, hukum Islam adalah sama di seluruh wilayah negara. Tidak ada hukum khusus untuk wilayah tertentu dan untuk kelompok tertentu. Ini artinya bahwa sistem federasi (serikat) dengan sebutan apapun adalah haram secara pasti. Anggapan bahwa sistem Republik adalah bagian dari Islam telah bergema di benak kaum Muslim. Hal itu karena penyesatan secara sengaja yang dilakuan oleh Barat, para penguasa antek mereka dan ulama penguasa. Hal itu disertai kesadaran bahwa sistem Republik adalah hasil peradaban Barat yang kafir. Barat kafirlah yang telah membuat tiga ide setan (Demokrasi-Sekulerisme-Republik) untuk menyelamatkan diri mereka sendiri dari kelaliman abad pertengahan, abad kegelapan yang melingkupi kehidupan mereka. Akan tetapi pada hakikatnya tidak ada perbedaan besar antara abad pertengahan mereka yang penuh kegelapan dengan tiga ide setan yang mereka buat-buat. Pada waktu mereka mengadakan Republik dan demokrasi untuk membebaskan dan memerdekakan diri –sesuai anggapan mereka- namun saat yang sama mereka memenuhi dunia dengan kekacuan, perang, kelaliman, dan kediktatoran. Mereka memenuhi negeri-negeri kaum Muslim dengan genangan darah dan air mata. Mereka pun merampas kekayaan bangsa-bangsa menggunakan sebutan kerjasama dan investasi. Yaman pasca hancurnya Khilafah Utsmaniyah dan pasca revolusi bersenjata terhadap khalifah, sejak itu Yaman diperintah dengan keburukan ini. Maka Yaman di bawah pemerintahan Republik justru banyak mengalami kemunduran. Yaman dan penduduknya pun terjerembab ke posisi yang rendah. Sepanjang sejarah, Yaman tidak pernah terjatuh pada keterpurukan seperti yang terjadi di bawah sistem Republik ini.
Sistem Republik telah menggantikan sistem Islam. Akhirnya segala kerusakan dan keburukan ini pun masuk ke tengah-tengah kita. Karena itu, harus dipisahkan antara sistem Republik dengan sisten Khilafah Islamiyah supaya Anda bisa melihat dengan mata kepala sendiri kekontrasan dan perbedaan besar antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem sekuler.
Sistem Republik tegak di atas dasar sekulerisme, pemerintahan rakyat, dan kedaulatan di dalamnya menjadi milik rakyat. Jadi rakyat lah yang menentukan dengan hukum apa mereka diperintah. Rakyat memiliki hak pemerintahan dan legislasi. Jadi rakyat memiliki hak mendatangkan hukum dan undang-undang apa saja yang diinginkan. Rakyat berhak mendatangkan penguasa siapa pun sekaligus berhak mencopotnya. Rakyat berhak membuat konstitusi dan undang-undang meski konstitusi dan undang-undang itu kufur. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi dan undang-undang itu.
Sementara itu sistem Islam tegak di atas akidah Islam dan hukum-hukum syara’. Kedaulatan di dalam sistem Islam ada di tangan syara’, bukan di tangan umat. Di dalam sistem Islam, umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Pihak yang berhak membuat hukum hanyalah Allah semata. Khalifah hanya memiliki hak mengadopsi hukum-hukum dari al-Kitab dan as-Sunah sehingga menjadi konstitusi. Umat juga tidak memiliki hak memberhentikan Khalifah. Pihak yang berhak memberhentikan Khalifah adalah syara’ yang diatur di dalam hukum-hukum tertentu. Umat memiliki hak mengangkat Khalifah melalui pemilihan dan baiat berdasarkan pilihan dan kerelaan bukan dengan paksaan, tekanan, dan pemalsuan kehendak rakyat seperti yang dilakukan oleh sistem Republik. Karena Islam telah menetapkan kekuasaan dan pemerintahan adalah milik umat, sehingga umat berhak mewakilkan kepada orang-orang yang mereka pilih dan mereka baiat. Khalifah adalah wakil umat bukan pegawai umat seperti dalam sistem Republik. Di dalam sistem Republik, para kapitalis dan orang-orang yang berpengaruh, mempekerjakan seseorang untuk merealisasi kepentingan-kepentingan mereka dan menerapkan kebijakan-kebijakan mereka, bukan untuk menerapkan kebijakan syara’ atau kebijakan rakyat atau umat sekalipun!!
Di dalam sistem khilafah, seorang Khalifah bertanggung jawab atas urusan umat dan ia akan dikoreksi oleh umat. Akan tetapi umat tidak memiliki hak untuk mencopot khalifah. Yang memiliki hak mencopot khalifah adalah syara’. Yaitu jika khalifah menyalahi hukum syara’ yang mengharuskan ia dicopot. Pihak yang memutuskan pencopotan khalifah itu adalah Mahkamah Mazhalim. Mahkamah ini tidak ada di dalam sistem kapitalisme dan Republik!!
Sistem Republik, baik presidensiil maupun parlementer, masa jabatan pemimpin dibatasi selama jangka waktu tertentu. Selama masa jabatan itu, penguasa membuat banyak kerusakan dan tidak seorang pun bisa mencopotnya. Akan tetapi di dalam Islam dan di dalam sistem khilafah, masa jabatan khalifah tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masa jabatan khalifah tidak lain dibatasi dengan sejauh mana ia menerapkan syariah. Jika ia menyalahi syariah, meski baru sehari, seminggu, atau sebulan, ia bisa dicopot dengan keputusan dari Mahkamah Mazhalim. Setelah itu ia tidak boleh bertahan di kekuasaan meski sehari pun.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem Republik. Juga tidak boleh dikatakan Republik Islam, karena adanya pertentangan besar di antara sistem Islam dengan sistem Republik pada asas, pilar-pilar, bentuk, dan rinciannya.
Ini dari sisi penyimpangan sistem tersebut dari syariah Allah SWT. Sedangkan dari sisi bahayanya, sistem tersebut menyerukan pembagian dan pemecahbelahan Yaman menjadi sejumlah negara bagian kecil yang memudahkan imperialis mendominasi dan mencengkeramnya, serta memicu kegoncangan di dalamnya. Dan terakhir kami katakan bahwa semua solusi yang ditawarkan itu menyalahi syariah Allah SWT. Allah SWT mengharamkan kita berhukum kepada selain Islam. Karena itu, kami menyeru Anda wahai penduduk Yaman untuk berjuang bersama Hizbut Tahrir untuk menegakkan negara yang haq dan adil, negara kebaikan, negara cahaya, yaitu negara Khilafah Rasyidah yang kedua, untuk menyatukan Anda semua di bawah panji Islam dan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan Anda dan permasalahan umat Islam seluruhnya.
Allah SWT berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59)
Diposting oleh
Al Ilmu
komentar (0)
Khalifah (bahasa Arab: خليفة)(bahasa Inggeris: Caliph) secara harfiyah bermakna "pengganti" atau "wakil" yakni pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat. Mereka digelar sebagai khalifah Allah (perwakilan Allah) dan khalifah Rasulullah (pengganti utusan Allah).
Gelaran khalifah ini juga dikenali sebagai Amīr al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) yang bermakna "pemimpin orang yang beriman". Sejak tumbangnya Empayar Turki Uthmaniyyah, gelaran ini tidak lagi digunakan.
Syarat-Syarat In’iqâd Seorang Khalifah
Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Nizamul Hukm Fil Islam menyebutkan tujuh syarat sehingga seseorang layak menjadi Khalifah, dimana syarat tersebut menjadi syarat sah untuk diangkat menjadi Khalifah atau disebut sebagai syarat in’iqâd. Jika ada satu saja kekurangan, maka akad pengangkatan Khalifah menjadi tidak sah. Adapun syarat tersebut adalah :
1. Muslim
2. Lelaki
3. Baligh
4. Berakal (Bukan Gila)
5. Adil
6. Merdeka (Bukan Hamba)
7. Mempunyai Kemampuan Memimpin Negara (Daulah Islamiyah)
Syarat Perlantikan Khalifah
Jika sekelompok kaum Muslim di suatu wilayah Islam membaiat seseorang, ia sah sebagai Khalifah asal memenuhi syarat berikut:
1. Memenuhi syarat in‘iqâd seorang Khilafah.
2. Ada wilayah yang jelas dan rakyatnya.
3. Keamanan dan kekuasaan di wilayah itu berada di tangan kaum Muslim, bukan diuruskan oleh orang asing.
4. Khalifah itu harus langsung menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dan sekaligus, tidak ditunda ataupun bertahap-tahap.
Khalifah Menerapkan Sistem Islam
Sistem yang benar. Ketika di Makkah, Nabi Muhammad s.a.w. pernah ditawarkan kekuasaan dan menjadi pemimpin di kalangan orang Arab. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. menolaknya kerana sebenarnya mereka mahukan Nabi Muhammad s.a.w. meninggalkan dakwahnya. Apabila kita teliti secara jernih, Nabi Muhammad s.a.w. merupakan manusia terbaik di kalangan orang Arab sehingga digelar Al-Amin. Sudah tentu beliau lebih dari layak untuk menyandang jawatan ketua kaum Quraish ini.
Namun begitu, beliau tetap menolaknya. Ini berbeza di zaman Madinah iaitu selepas Hijrah Rasulullah, beliau tanpa berlengah-lengah terus melaksanakan Islam secara keseluruhan dan memimpin kaum Muslimin. Semua permasalahan dan perselisihan diselesaikan menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Di Madinah, karisma Rasulullah benar-benar telah menyatu dengan sistem yang digunakan untuk memerintah, yakni Sistem Islam. [1]
Di dalam Sistem Islam ada empat asas perlu diperhatikan iaitu;
1. Kedaulatan di tangan syara’. Hanya syara’ yang berhak menentukan apa yang halal dan haram serta apa yang terpuji atau tercela. Manusia hanya memahami ayat-ayat Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang.
2. Kekuasan di tangan umat. Maksudnya umatlah yang memilih pemimpin dengan rela untuk menerapkan Syariat Islam.
3. Wajib mengangkat satu pemimpin sahaja di dunia Islam.
4. Hanya pemimpin (Khalifah) yang berhak mengadopsi hukum syara’.
Kewajiban Hanya Satu Khalifah Bagi Dunia Islam
Keharaman mengangkat dua orang pemimpin (Khalifah) sebagai ketua negara ditegaskan oleh Hadis Rasulullah s.a.w. :
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim)
Makna Hadis dan Faedahnya
Hadis ini mengandung pengertian, jika dibaiat dua orang khalifah, maka orang yang dibaiat lebih akhir harus dibunuh. Baiat atas orang yang pertama haruslah baiat yang sah secara syar‘ie. Orang kedua, baik ia mengetahui adanya baiat pertama yang sah itu ataupun tidak, disuruh menanggalkan baiatnya dan segera membaiat Khalifah yang sah itu. Jika ia menolak, kata as-Suyuthi, ia harus diperangi meski sampai ia harus dibunuh; kecuali jika ia mengumumkan pembatalan baiat atas dirinya, berhenti dari merobek kesatuan kaum Muslim dan memecah jamaah mereka, berhenti menentang khalifah yang sah, dan segera memberikan baiat taat kepadanya.
Hadis ini memerintahkan Daulah Khilafah. Kaum Muslim hanya boleh memiliki seorang khalifah dan satu Khilafah. Haram diakadkan baiat kepada dua orang, apalagi lebih. Ibn Hazm menuturkan, kaum Muslim di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam/khalifah, baik keduanya saling sepakat ataupun berselisih, di dua tempat berbeza atau di tempat yang sama. Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”.
Tanggungjawab Khalifah terhadap Umat
Pertama : Memelihara Keturunan.
Antara langkah-langkah praktiknya:
1. Mensyariahkan nikah dan mengharamkan penzinaan;
2. Tidak memberikan kebebasan dalam tingkah laku, berhubungan bebas, seks bebas dan sebagainya;
3. Menetapkan berbagai hukuman terhadap mereka yang berzina.
Dalam sistem kehidupan sekular, tentunya perkara-perkara tersebut tidak dapat dilakukan kerana melanggar hak asasi manusia yang merupakan tunjang kepada sistem demokrasi.
Kedua : Memelihara Akal.
Islam telah menetapkan beberapa perkara antaranya;
1. Mewajibkan seluruh warganegara menuntut ilmu dengan pembiayaan sepenuhnya oleh negara. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w, para sahabat dan para khalifah;
2. Mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merosakkan akal seperti minuman keras dan dadah;
3. Menetapkan hukuman terhadap semua yang terlibat dengan barangan larangan tersebut.
Dalam sistem sekarang, minuman keras dianggap barang yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi kerana cukai importnya. Maka, ianya hanya ‘diharamkan’ sekiranya tidak membayar cukai atau diseludup secara haram. Itu pun, hukumannya langsung tidak meninggalkan kesan terhadap pelakunya.
Ketiga : Memelihara Kehormatan.
Hal ini diatur dengan;
1. Memberikan kebebasan untuk melakukan apa pun yang mubah selagi tidak keluar dari sempadan syariah;
2. Melarang orang menuduh zina, jika tiada bukti, hukuman had al-qazaf iaitu disebat 80 kali akan dilaksanakan;
3. Wanita dijadikan sebagai “kehormatan” yang mesti dipelihara, dan bukannya sebagai barangan murahan.
Era dunia sekular sekarang tidak menjamin kehormatan seseorang. Acara-acara hiburan, ekploitasi ke atas wanita, malah aksi-aksi pornografi (lucah) dibiarkan berleluasa.
Keempat : Memelihara Jiwa (Nyawa) Manusia.
Dengan syariah Islam setiap warga daulah Islam walau apa pun bangsa dan agamanya, akan terpelihara dan dijamin keselamatan jiwanya.
Sebaliknya, tanpa syariah Islam, realiti hari ini menunjukkan bahawa setiap hari media ada melaporkan kes pembunuhan. Keluarga mangsa korban selalunya tak dilayan seadilnya. Berbeza dengan Islam yang menetapkan hukum qisas dan diyat.
Kelima : Memelihara Harta.
Dalam Islam, bukan hanya harta peribadi yang dilindungi, tetapi keperluan asas setiap individu juga terjamin. Harta milik umum seperti hasil galian, petroleum dan sebagainya hanya akan dikelolakan oleh negara dan dikembalikan bagi kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, dalam sistem sekular keperluan asas pun tidak dijamin, apatah lagi harta milik umum hanya dirasai segelintir orang kaya termasuklah rakyat asing.
Keenam : Memelihara Agama.
Islam mempunyai hukuman bunuh bagi orang yang murtad.
Dalam sistem sekular, agama ini sering diperlecehkan, aqidah umat juga tidak terpelihara untuk disesuaikan dengan prisip kebebasan beragama.
Ketujuh : Memelihara Keamanan.
Khalifah yang telah dibaiat, sudah tentu tidak akan membiarkan pihak asing menguasai kemanan daulah. Bahkan mereka yang merompak, merusuh dan membuat jenayah akan dibunuh, disalib dan diasingkan dari daulah (salah satu atau ketiga-tiganya). Bandingkan dengan situasi kini, penjenayah bebas keluar masuk penjara tanpa rasa kesal dan rakyat sentiasa rasa tidak aman dan selamat.
Kedelapan : Memelihara Negara.
Dalam Islam, keutuhan daulah sentiasa dijaga. Pemberontak negara akan dihukum. Sebarang usaha untuk memecahbelahkan daulah akan dilumpuhkan. Bezanya kini, sistem sekular membiarkan negeri umat Islam berpecah menjadi serpihan kecil dan lemah.
Gelaran khalifah ini juga dikenali sebagai Amīr al-Mu'minīn (أمير المؤمنين) yang bermakna "pemimpin orang yang beriman". Sejak tumbangnya Empayar Turki Uthmaniyyah, gelaran ini tidak lagi digunakan.
Syarat-Syarat In’iqâd Seorang Khalifah
Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Nizamul Hukm Fil Islam menyebutkan tujuh syarat sehingga seseorang layak menjadi Khalifah, dimana syarat tersebut menjadi syarat sah untuk diangkat menjadi Khalifah atau disebut sebagai syarat in’iqâd. Jika ada satu saja kekurangan, maka akad pengangkatan Khalifah menjadi tidak sah. Adapun syarat tersebut adalah :
1. Muslim
2. Lelaki
3. Baligh
4. Berakal (Bukan Gila)
5. Adil
6. Merdeka (Bukan Hamba)
7. Mempunyai Kemampuan Memimpin Negara (Daulah Islamiyah)
Syarat Perlantikan Khalifah
Jika sekelompok kaum Muslim di suatu wilayah Islam membaiat seseorang, ia sah sebagai Khalifah asal memenuhi syarat berikut:
1. Memenuhi syarat in‘iqâd seorang Khilafah.
2. Ada wilayah yang jelas dan rakyatnya.
3. Keamanan dan kekuasaan di wilayah itu berada di tangan kaum Muslim, bukan diuruskan oleh orang asing.
4. Khalifah itu harus langsung menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dan sekaligus, tidak ditunda ataupun bertahap-tahap.
Khalifah Menerapkan Sistem Islam
Sistem yang benar. Ketika di Makkah, Nabi Muhammad s.a.w. pernah ditawarkan kekuasaan dan menjadi pemimpin di kalangan orang Arab. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. menolaknya kerana sebenarnya mereka mahukan Nabi Muhammad s.a.w. meninggalkan dakwahnya. Apabila kita teliti secara jernih, Nabi Muhammad s.a.w. merupakan manusia terbaik di kalangan orang Arab sehingga digelar Al-Amin. Sudah tentu beliau lebih dari layak untuk menyandang jawatan ketua kaum Quraish ini.
Namun begitu, beliau tetap menolaknya. Ini berbeza di zaman Madinah iaitu selepas Hijrah Rasulullah, beliau tanpa berlengah-lengah terus melaksanakan Islam secara keseluruhan dan memimpin kaum Muslimin. Semua permasalahan dan perselisihan diselesaikan menurut ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Di Madinah, karisma Rasulullah benar-benar telah menyatu dengan sistem yang digunakan untuk memerintah, yakni Sistem Islam. [1]
Di dalam Sistem Islam ada empat asas perlu diperhatikan iaitu;
1. Kedaulatan di tangan syara’. Hanya syara’ yang berhak menentukan apa yang halal dan haram serta apa yang terpuji atau tercela. Manusia hanya memahami ayat-ayat Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang.
2. Kekuasan di tangan umat. Maksudnya umatlah yang memilih pemimpin dengan rela untuk menerapkan Syariat Islam.
3. Wajib mengangkat satu pemimpin sahaja di dunia Islam.
4. Hanya pemimpin (Khalifah) yang berhak mengadopsi hukum syara’.
Kewajiban Hanya Satu Khalifah Bagi Dunia Islam
Keharaman mengangkat dua orang pemimpin (Khalifah) sebagai ketua negara ditegaskan oleh Hadis Rasulullah s.a.w. :
«إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim)
Makna Hadis dan Faedahnya
Hadis ini mengandung pengertian, jika dibaiat dua orang khalifah, maka orang yang dibaiat lebih akhir harus dibunuh. Baiat atas orang yang pertama haruslah baiat yang sah secara syar‘ie. Orang kedua, baik ia mengetahui adanya baiat pertama yang sah itu ataupun tidak, disuruh menanggalkan baiatnya dan segera membaiat Khalifah yang sah itu. Jika ia menolak, kata as-Suyuthi, ia harus diperangi meski sampai ia harus dibunuh; kecuali jika ia mengumumkan pembatalan baiat atas dirinya, berhenti dari merobek kesatuan kaum Muslim dan memecah jamaah mereka, berhenti menentang khalifah yang sah, dan segera memberikan baiat taat kepadanya.
Hadis ini memerintahkan Daulah Khilafah. Kaum Muslim hanya boleh memiliki seorang khalifah dan satu Khilafah. Haram diakadkan baiat kepada dua orang, apalagi lebih. Ibn Hazm menuturkan, kaum Muslim di seluruh dunia tidak boleh memiliki dua orang imam/khalifah, baik keduanya saling sepakat ataupun berselisih, di dua tempat berbeza atau di tempat yang sama. Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”.
Tanggungjawab Khalifah terhadap Umat
Pertama : Memelihara Keturunan.
Antara langkah-langkah praktiknya:
1. Mensyariahkan nikah dan mengharamkan penzinaan;
2. Tidak memberikan kebebasan dalam tingkah laku, berhubungan bebas, seks bebas dan sebagainya;
3. Menetapkan berbagai hukuman terhadap mereka yang berzina.
Dalam sistem kehidupan sekular, tentunya perkara-perkara tersebut tidak dapat dilakukan kerana melanggar hak asasi manusia yang merupakan tunjang kepada sistem demokrasi.
Kedua : Memelihara Akal.
Islam telah menetapkan beberapa perkara antaranya;
1. Mewajibkan seluruh warganegara menuntut ilmu dengan pembiayaan sepenuhnya oleh negara. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w, para sahabat dan para khalifah;
2. Mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merosakkan akal seperti minuman keras dan dadah;
3. Menetapkan hukuman terhadap semua yang terlibat dengan barangan larangan tersebut.
Dalam sistem sekarang, minuman keras dianggap barang yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi kerana cukai importnya. Maka, ianya hanya ‘diharamkan’ sekiranya tidak membayar cukai atau diseludup secara haram. Itu pun, hukumannya langsung tidak meninggalkan kesan terhadap pelakunya.
Ketiga : Memelihara Kehormatan.
Hal ini diatur dengan;
1. Memberikan kebebasan untuk melakukan apa pun yang mubah selagi tidak keluar dari sempadan syariah;
2. Melarang orang menuduh zina, jika tiada bukti, hukuman had al-qazaf iaitu disebat 80 kali akan dilaksanakan;
3. Wanita dijadikan sebagai “kehormatan” yang mesti dipelihara, dan bukannya sebagai barangan murahan.
Era dunia sekular sekarang tidak menjamin kehormatan seseorang. Acara-acara hiburan, ekploitasi ke atas wanita, malah aksi-aksi pornografi (lucah) dibiarkan berleluasa.
Keempat : Memelihara Jiwa (Nyawa) Manusia.
Dengan syariah Islam setiap warga daulah Islam walau apa pun bangsa dan agamanya, akan terpelihara dan dijamin keselamatan jiwanya.
Sebaliknya, tanpa syariah Islam, realiti hari ini menunjukkan bahawa setiap hari media ada melaporkan kes pembunuhan. Keluarga mangsa korban selalunya tak dilayan seadilnya. Berbeza dengan Islam yang menetapkan hukum qisas dan diyat.
Kelima : Memelihara Harta.
Dalam Islam, bukan hanya harta peribadi yang dilindungi, tetapi keperluan asas setiap individu juga terjamin. Harta milik umum seperti hasil galian, petroleum dan sebagainya hanya akan dikelolakan oleh negara dan dikembalikan bagi kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, dalam sistem sekular keperluan asas pun tidak dijamin, apatah lagi harta milik umum hanya dirasai segelintir orang kaya termasuklah rakyat asing.
Keenam : Memelihara Agama.
Islam mempunyai hukuman bunuh bagi orang yang murtad.
Dalam sistem sekular, agama ini sering diperlecehkan, aqidah umat juga tidak terpelihara untuk disesuaikan dengan prisip kebebasan beragama.
Ketujuh : Memelihara Keamanan.
Khalifah yang telah dibaiat, sudah tentu tidak akan membiarkan pihak asing menguasai kemanan daulah. Bahkan mereka yang merompak, merusuh dan membuat jenayah akan dibunuh, disalib dan diasingkan dari daulah (salah satu atau ketiga-tiganya). Bandingkan dengan situasi kini, penjenayah bebas keluar masuk penjara tanpa rasa kesal dan rakyat sentiasa rasa tidak aman dan selamat.
Kedelapan : Memelihara Negara.
Dalam Islam, keutuhan daulah sentiasa dijaga. Pemberontak negara akan dihukum. Sebarang usaha untuk memecahbelahkan daulah akan dilumpuhkan. Bezanya kini, sistem sekular membiarkan negeri umat Islam berpecah menjadi serpihan kecil dan lemah.
Label:
Khilafah
Diposting oleh
Al Ilmu
komentar (0)
Bani Utsman, kurang lebih selama dua abad kekuasaan mereka, telah dipimpin oleh delapan sultan, sebelum akhirnya mereka melakukan ekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan para pendahulu mereka, seperti Turki Saljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol, atau Thurani. Mereka mulai merambah ke Eropa pada abad ke-5 M. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang telah merambah ke Eropa Timur, dan menetap di sana selama dua abad, ke-7 dan ke-9 M. Turki Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang telah merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol yang paling penting dan kuat, yang pernah lahir dalam sejarah.
Sejarah Turki Utsmani dimulai dengan peristiwa agung, yang notabene menunjukkan kepahlawanan dan kesatriaan mereka.
imagePada pertengahan abad ke-13 M, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah, yang telah dikalahkan oleh Mongol —di bawah pimpinan Artoghul, kepala suku Turki Utsmani— menyusuri Asia Tengah, berdekatan dengan Ankara.
Ketika mereka menyaksikan dua kelompok berperang, yaitu Kekaisaran Romawi dengan Dinasti Saljuk Rum, yang berpusat di Iconium di bawah pimpinan Sultan ‘Alauddin, maka para pemuka kabilah kecil ini tak punya pilihan lain, kecuali melibatkan diri dalam peperangan ini, karena dorongan naluri berperang mereka demi melindungi pihak yang lemah, sehingga Artoghûl dan sekutunya (Sultan ‘Alâ’uddîn) yang lemah tersebut menuai kemenangan. Kabilah kecil dan tokohnya, Arthaghul, inilah yang merupakan cikal bakal Turki Utsmani. Dialah bapak Utsman, yang namanya kemudian digunakan untuk menyebut negara yang dibangunnya.
Setelah Artoghul meninggal dunia pada tahun 1288 M, anak tertuanyalah yang kemudian menggantikannya. Dialah Utsman. Utsman dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai keberanian luar biasa untuk mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan ‘Alauddin untuk mengangkatnya menjadi pemimpin dan menjadikannya sebagai penguasa yang independen di semua wilayah yang telah ditaklukkannya.
Pada tahun 1300 M, Mongol telah menyerang Daulah Saljuk di Asia Kecil, dan berhasil menghancurkannya. Sultan Alauddin kemudian meninggal, lalu tiap emir melepaskan diri dengan wilayahnya sendiri-sendiri; Utsman pun akhirnya memisahkan diri dan mempunyai kekuasaan tersendiri. Dari sanalah kekuasaannya sedikit demi sedikit berkembang hingga beliau mendengar penaklukan Bursa, ketika beliau tengah terbaring menjelang kematiannya. Utsman memberikan perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan sehingga namanya menjulang, dan negaranya pun menjadi besar. Namanya begitu dikenal dan disebut-sebut di kalangan para pemimpin sehingga dia disebut sebagai pendiri negaranya. Karena itu, negaranya dinisbatkan kepada dirinya.
Pada tahun 1336 M, Utsman meninggal, kemudian digantikan oleh puteranya, Ourkhan, yang memang telah dilatih dengan berbagai kegiatan peperangan dan pemerintahan, hingga berhasil menguasai Bursa, dan menjadikannya sebagai ibokuta bagi negara baru ini. Dengan manuver inilah, keluarga Utsman telah mendekati Konstantinopel, ibukota Bizantium.
Sebelum perang di antara kedua pemerintahan ini berlangsung —yang satu negara muda, kuat, dan berambisi untuk mengembangkan kekuasaannya; sedangkan yang satu lagi negara tua, yang mulai merosot dan sebelum sampai ke Konstantinopel, Ourkhan terlebih dulu menduduki Izmir. Dia melihat pentingnya dilakukan sejumlah pembenahan, yang kelak akan mempunyai pengaruh langsung bagi kemenangan yang akan diraih Turki Utsmani, pertama-tama di Asia Kecil, kemudian di Eropa. Dia menaklukkan Nicomedia (Izmit) dan Nicaea (Iznik) serta negeri-negeri Asia dan Bizantium yang lain. Setelah itu, selama 20 tahun, dia mengokohkan pilar-pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan internal negara, serta mendirikan angkatan bersenjata baru, yang dikenal dengan Inkisyâriyah. Angkatan bersenjata inilah yang dalam kurun waktu cukup lama menjadi penopang kekuatan negara Utsmani, baik dalam peperangan maupun penaklukan.
Ketika Muhammad II bin Murad II naik tahta, dia segera merealisasikan cita-cita kaum Muslim sejak zaman permulaan Islam untuk menaklukkan Konstantinopel hingga cita-cita itu benar-benar berhasil diwujudkan pada tahun 857 H/1453 M. Akhirnya, dia dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih (Muhammad sang Penakluk), dan tak lama kemudian Islâm bûl —atau yang kini dikenal dengan Istambul— itu menjadi ibukota negara Utsmani, dan menjadi titik tolak untuk melakukan penaklukan ke seluruh Eropa, setelah sebelumnya penaklukan telah terhenti, dengan meninggalnya Abdurrahman al-Ghafiqi, di bagian Selatan Prancis. Tak lama kemudian, Muhammad al-Fatih bertolak untuk menundukkan Murrah, Serbia, dan Bosnia. Beliau juga melakukan tekanan terhadap Italia, Hungaria, dan Jerman. Akhirnya, Tharabzun dan Cremia di kawasan Asia pun tunduk kepadanya. Setelah itu, dia kembali untuk menaklukkan Jerman dan beberapa bagian wilayah Italia, namun dia meninggal dunia sebelum bisa merealisasikan rencananya untuk menaklukkan Rodesia.
Dia kemudian digantikan oleh putranya, Yazid II, yang telah berhasil mewujudkan kemenangan armada laut Utsmani yang pertama, melawan armada Bunduqiyah (Italia). Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Salim I. Dialah yang kemudian menjadi sultan Utsmani yang paling besar dan mendapatkan kemenangan serta penaklukan paling banyak. Dia menyerang Sultan Safawi, Shah Ismail, yang telah berusaha menyebarkan mazhab Syiah, dan mengembangkan kekuasaan Persia hingga ke Irak. Dia berhasil dikalahkan di Galadiran, berdekatan dengan Tibriz. Sultan Salim I kemudian menduduki Diyarbakar dan Kurdistan, yang merupakan langkah awal untuk menaklukkan Syam dan Mesir, seiring dengan kemenangannya di Maraj Dabiq dan Raidaniyah. Pada saat itu, Kekhilafahan Islam secara syar‘î telah berpindah ke tangannya, setelah Khalifah al-Mutawakkil Alallah, Khalifah Abbasiyah terakhir di Mesir, menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I pun resmi menjadi khalifah kaum Muslim di seluruh dunia sejak tahun 923 H/1517 M. Dia kemudian meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga telah menyerahkan kunci-kunci dua tanah suci, Makkah dan Madinah, kepadanya.
Setelah itu, dia digantikan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Era kepemimpinannya dianggap sebagai era Kekhilafahan Utsmani yang paling jaya berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara Khilafah Utsmani telah meninggalkan jauh negara-negara Eropa, di bidang militer, sains, dan politik. Sulaiman juga telah berhasil menaklukkan Belgrade dan mengambil Rodesia dari pasukan berkuda Santo (Karel Agung) Yohana. Dia menuai kemenangan atas Hongaria dalam pertempuran Mouhackz, serta berhasil menaklukkan Armenia dan Irak, hingga armada laut Khilafah Utsmaniah disegani di seluruh perairan laut; mulai dari Laut Putih, Laut Merah, hingga Samudera Hindia —meskipun kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan berkuda Santo Yohana, penguasa kepulauan Malta. Kepulauan ini merupakan pemberian Charles V, ketika mereka diusir oleh tentara Khilafah Utsmaniah dari Rodesia pada tahun 1522 M.
Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Sulaiman al-Qanuni merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Hanya dalam waktu 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayap kekuasaannya dari Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Makkah hingga Budapest di satu sisi dan dari Baghdad hingga ke Aljazaer di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam pun jatuh ke tangannya. Sebagian besar Kerajaan Austria dan Hongaria pun jatuh ke tangannya. Kekuasaan mereka sampai di bagian utara Afrika dari arah negeri Syam hingga perbatasan Marokesh. Setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia pada tahun 974 H/1566 M, negara mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.
Realitas Politik Dalam Dan Luar Negeri Khilafah Ustmaniah Menjelang Keruntuhannya
Politik dalam negeri di sini, maksudnya adalah penerapan hukum-hukum Islam oleh negara di dalam negeri, ketika negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya; mengatur muamalah, menegakkan hudûd, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar dan ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Islam.
Dalam hal ini, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniah. Pertama, faktor buruknya pemahaman Islam. Kedua, faktor kesalahan dalam menerapkan Islam. Sebenarnya, buruknya pemahaman dan kesalahan dalam menerapkan Islam ini bisa diperbaiki ketika Khilafah Utsmaniah dipegang oleh orang yang kuat dengan keimanannya yang tinggi, namun sayangnya kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman, yang dijuluki al-Qânûni, karena jasanya mengadopsi undang-undang (al-qânûn) sebagai sistem yang diterapkan dalam Khilafah Utsmaniah, yang ketika itu juga seorang khalifah yang sangat kuat, justru menyusun undang-undang berdasarkan mazhab tertentu, yaitu mazhab Hanafi, dengan kitab Multaqâ al-Abhur (Pertemuan Berbagai Lautan)-nya yang ditulis Ibrahim al-Halabi (w. 1549 M). Padahal, Khilafah Islam bukanlah negara mazhab. Dengan kata lain, semua mazhab Islam seharusnya mempunyai tempat di dalam negara dan bukan hanya satu mazhab. Dengan tidak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk melakukan perbaikan, pemahaman Islam yang buruk dan penerapan Islam yang salah selama ini tidak pernah diperbaiki. Sebagai contoh, dengan diadopsinya undang-undang oleh Sultan Sulaiman, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, namun justru kasus ini tampak tak tersentuh oleh undang-undang. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, atau lemah. Sebut saja kasus Sultan Musthafa I (1026 H/1617 M), Utsman II (1026-1031 H/1617-1621 M), Murad IV (1023-1049 H/1622-1640 M), Ibrahim bin Ahmad (1049-1058 H/1639-1648 M), Muhammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M), Sulaiman II (1099-1102 H/1687-1690 M), Ahmad II (1102-1106 H/1690-1694 M), Musthafa II (1106-1115 H/1694-1702 M), Ahmad III (1115-1143 H/1703-1730 M), Mahmud I (1143-1167 H/1703-1727 M), Utsman III (1168-1171 H/1758-1761 M), Musthafa III (1171-1187 H/1757-1773 M), dan Abdul Hamid I (1187-1203 H/1773-1788 M). Inilah yang kemudian mendorong pihak militer, Inkisyâriyah —yang dibentuk oleh Sultan Ourkhan— kala itu melakukan kudeta; masing-masing pada tahun 1525, 1632, 1727 dan 1826 M. Akhirnya, Inkisyâriyah dibubarkan tahun 1241 H/1785 M. Di samping itu, kemajemukan rakyat, baik dari segi agama, etnik, maupun mazhab memerlukan penguasa yang kuat, baik secara intelektual maupun yang lain. Jadi wajar, tampilnya penguasa yang lemah ini pada akhirnya memicu terjadinya gerakan sparatisme, seperti yang dilakukan oleh kaum Druz yang dipimpin oleh Fakhruddin bin al-Ma‘ni.
Inilah yang juga menyebabkan politik luar negeri Khilafah Islam, yaitu dakwah dan jihad yang bertujuan untuk melakukan penaklukan, telah terhenti sejak abad ke-17 M. Berhentinya penaklukan ini juga menyebabkan jumlah pasukan Inkisyâriyah semakin membesar, melebihi pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara semakin merosot. Kenyataan ini menyebabkan ekonomi Khilafah Utsmaniah terpuruk, ditambah banyaknya praktik suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatan mereka untuk menumpuk kekayaan dan menjilat Sultan. Ditambah dengan menurunnya pendapatan pajak yang dipungut dari komoditas dari Timur Jauh yang melintasi wilayah Utsmaniah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga komoditas tersebut bisa diekspor langsung ke Eropa. Semua ini menyebabkan mata uang Utsmaniah tertekan, sementara sumber pendapatan negara, seperti bahan tambang, tidak mampu menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Pada paruh kedua abad ke-16 M, telah terjadi krisis moneter, ketika emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru (Amerika) melalui kolonial Spanyol. Mata uang Utsmaniah ketika itu benar-benar terpuruk; inflasi melambung. Mata uang Barah diluncurkan oleh Khilafah Utsmaniah pada tahun 1620 M tetap tidak berhasil menyelesaikan inflasi. Kemudian, dikeluarkan pula uang Qisry pada abad ke-17 M. Faktor-faktor ekonomi inilah yang menjadi sebab pasukan Utsmaniah di Yaman melakukan pemberontakan pada paruh kedua abad ke-16 M. Dengan kehidupan pejabat yang korup seperti itu, akhirnya negara harus menanggung utang sebesar 300 juta lira.
Dengan tidak dijalankannya politik luar negeri sesuai dengan hukum Islam, yaitu dakwah dan jihad, mafhûm jihad sebagai metode untuk mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak kaum Muslim, termasuk para khalifahnya. Ini terlihat dengan jelas pada tindakan Sultan Abdul Hamid Khan ketika meminta syaikh al-Azhar agar membacakan Shahîh al-Bukhâri di al-Azhar supaya Allah memenangkan Sultan atas Rusia dalam peperangan yang berlangsung pada bulan Rajab tahun 1203 H. Sultan kemudian meminta Pasha (Gubenur) di Mesir kala itu agar memilih sepuluh ulama dari berbagai mazhab untuk membaca Shahîh al-Bukhâri setiap hari.
Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihatnya sebagai awal dari masalah ketimuran (al-mas’alah as-syarqiyyah), hingga abad ke-16 M, saat terjadinya penaklukan sebagian besar wilayah Balkan, seperti Bosnia dan Albania, serta Yunani dan kepulauan Ionia. Masalah ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama, antara sesama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakanya Konferensi Westavalia tahun 1667 M. Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Memang, setelah kekalahan Khilafah Utsmaniah atas Eropa (Paus Paulus V, Spanyol, Hungaria dan Perancis) dalam Perang Lepanto tahun 1571 M, Khilafah nyaris hanya mempertahankan wilayahnya. Kelemahan Khilafah Utsmaniah pada abad ke-17 M itu juga dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Utsmaniah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dengan Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M, dan semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).
Menghadapi kemerosotan tersebut, Khilafah Utsmaniah sebenarnya telah melakukan reformasi (ishlâh) sejak abad ke-17 M, yang diteruskan pada abad-abad berikutnya. Namun, lemah pemahaman Islam justru telah menyebabkan reformasi ini gagal. Sebab, ketika itu para penguasa Khilafah Utsmaniah tidak bisa membedakan antara hadhârah dan madaniyah; antara sains/teknologi dan tsaqâfah. Kelemahan para penguasa ini dimanfaatkan untuk membentuk struktur baru dalam negara, yang ketika itu dikenal dengan shadr al-a‘zham (perdana menteri). Struktur seperti ini tidak dikenal dalam sejarah Khilafah Islam, kecuali setelah terpengaruh dengan tradisi demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh Khilafah Islam. Pada saat yang sama, para penguasa dan juga syaikh al-Islâm ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi melalui fatwa-fatwa syaikh al-Islâm yang penuh kontroversi. Bahkan, dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M semakin mengokohkan tsaqâfah Barat, setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti Undang-undang Acara Pidana (1840 M), dan Undang-undang Dagang (1850 M), ditambah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.
Di dalam negeri, ahli dzimmah —khususnya orang Kristen— yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Bahkan, kemudian hak-hak istimewa inilah yang akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing dengan jaminan perjanjian. Masing-masing, antara Khilafah Utsmaniah dan Bizantium (1521 M) serta Prancis (1535 M) dan Inggeris (1580 M). Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris yang mulai melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah, mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M, dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban intellectual leadership mereka di Dunia Islam, disertai dengan serangan-serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan center of the Oriental Studies (pusat kajian ketimuran).
Jadi, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai dunia Islam, Islam —meminjam istilah Imam al-Ghazali— sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk meraih tujuan yang pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan yang kedua, mereka sengaja menghembuskan paham nasionalisme, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniah, dengan sebutan the Sick Man (orang yang sakit). Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniah lumpuh, sehingga dengan mudah bisa dijatuhkan dengan sekali pukulan, maka dilakukan upaya intentif untuk memisahkan wilayah Arab dan wilayah lain dari Khilafah Utsmaniah. Dari sinilah, lahir gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Bahkan, gerakan-gerakan keagamaan juga tak luput dari eksploitasi, seperti kasus Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Sa‘ud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dan sekitarnya, yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan oleh Inggris melalui gerakan kesukuan. Meskipun demikian, laju gerakan ini di beberapa wilayah akhirnya berhasil dibendung oleh Khilafah Utsmaniah melalui Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang —ternyata juga agen Prancis— didukung oleh Prancis. Sementara itu, di wilayah Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan, sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20, seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan. Begitulah, akhirnya Khilafah Utsmaniah kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa akhirnya hanya Turki.
Konspirasi Barat Dan Yahudi Menghancurkan Khilafah
Seperti telah dimaklumi, nasionalisme dan sparatisme yang telah dipropagandakan oleh negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia sengaja dilakukan untuk menghancurkan Khilafah Islam. Keberhasilan mereka menggunakan sentimen kebangsaan dan sparatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorong mereka untuk menggunakan cara yang sama di seluruh wilayah Khilafah Islam. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di wilayah Arab dan Turki. Sementara itu, kedutaan besar Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis Khilafah Islam yang lain —seperti Baghdad, Damaskus, Beirut, Kaero dan Jeddah— telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, telah dibangun dua markas, Beirut dan Istambul. Markas Beirut memainkan peranan jangka panjang, yaitu mengubah putra-putri umat Islam agar menjadi kafir serta mengubah sistem Islam menjadi sistem kufur. Sedangkan markas Istambul memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul Khilafah Islam dengan telak.
Kedutaan-kedutaan negara Eropa juga mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo, dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai oleh Rafiq al-‘Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup di tengah orang-orang Arab yang cenderung memperjuangkan nasionalisme. Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab telah mengadakan kongres di Paris, dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.
Sementara itu, di Markas Istambul, negara-negara Eropa tidak hanya puas dengan merusak putra-putri umat Islam di sekolah-sekolah dan universitas-universitas melalui propaganda. Mereka ingin memukul Khilafah Islam dari jarak dekat dengan telak. Caranya adalah dengan mengubah sistem pemerintahan Islam dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan ala Barat dan hukum-hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan oleh Rasyid Pasha, menteri luar negeri zaman pemerintahan Abdul Majid I, pada tahun 1839 M. Tahun yang sama, Honourable Script —yang dikenal dengan dengan Khalkhanah— yang dijiplak dari perundang-undangan Eropa diperkenalkan. Pada tahun 1855 M, negara-negara Eropa, khususnya Inggris, telah memaksa Khilafah Utsmaniah untuk melakukan amandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Midhat Pasha, salah seorang anggota Free Masonry, pada tanggal 1 September 1876 M diangkat menjadi Perdana Menteri. Midhat membentuk panitia Ad Hoc untuk menyusun UUD, sebagaimana yang dikehendaki oleh Inggris. Komisi ini berhasil menyusun UUD berdasarkan Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II, dan Sublime Port pun tidak bersedia melaksanakannya, karena dinilai bertentangan dengan Islam. Medhat Pasha pun akhirnya dipecat sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1908 M, Turki Muda yang berpusat di Salonika —pusat komunitas Yahudi Dunamah— melakukan pemberontakan. Khalifah dipaksa oleh Turki Muda, yang menjalankan hasil keputusan Konferensi Berlin, untuk mengumumkan UUD yang diumumkan oleh Turki Muda di Salonika, dan tanggal 17 Nopember 1908 merupakan tanggal pembukaan parlemen yang pertama dalam Khilafah Utsmaniah. Bekerjasama dengan syaikh al-Islâm, Sultan Abdul Hamid II akhirnya dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak saat itulah, sistem pemerintahan Islam telah berakhir.
Namun, Inggris tampaknya belum puas sebelum menghancurkan Khilafah Utsmaniah secara total. Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kemal Pasha, seorang agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu akhirnya menjalankan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam. Pada tahun 1919 M, dia menyelenggarakan Konggres Nasional di Sivas, yang berhasil menelorkan Deklarasi Sivas. Deklarasi ini mencetuskan kemerdekaan Turki dan negeri-negeri Islam yang lain dari penjajah, sekaligus melepaskan negeri-negeri tersebut dari Khilafah Utsmaniah. Irak, Syria, Palestina, Mesir, dan lain-lain kemudian mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga masing-masing menjadi negara merdeka. Pada saat itulah, sentimen kebangsaan semakin mengental, seiring dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan-Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Perseteruan Antara Mustafa Kemal Dan Khalifah
Sejak tahun 1920 M, Kemal Pasha telah menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah Inggris berhasil menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara, dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan Khalifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan Khalifah dan sebaliknya memihak kaum nasionalis. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional, yang menobatkan dirinya sebagai ketuanya. Karena itu, pada saat itu ada dua pemerintahan; pemerintahan Khilafah di Istambul, dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional yang berpusat di Ankara. Meski kedudukannya semakin kuat, Kemal Pasha tetap tidak berani membubarkan Khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan draft yang mengatur pemisahan antara Khilafah dengan kesultanan (pemerintahan). Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, draft Kemal Pasha ini ditolak. Kemal Pasha pun mencari alasan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Nasional ini. Caranya adalah dengan melibatkan Dewan Perwakilan Nasional ini dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah krisis memuncak, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Kemal Pasha sebagai ketua Parlemen, yang diharapkan bisa menyelesaikan kondisi kritis tersebut.
Setelah resmi dipilih menjadi ketua parlemen, Kemal Pasha mengumumkan kebijakannya; mengubah sistem khilafah dengan republik, yang dipimpin seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum. Pada tanggal 29 Oktober 1923 M, Kemal Pasha dipilih oleh Parlemen menjadi presiden Turki yang pertama. Namun, karena track record Kemal Pasha yang dikenal buruk di mata kaum Muslim, ambisinya untuk membubarkan Khilafah Islam ini tidak mulus. Mustafa Kemal Pasha dianggap murtad, dan rakyat pun mendukung Sultan Abdul Majid, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tidak menyurutkan langkah Kemal Pasha. Justru sebaliknya, dia melancarkan serangan balik, dengan melakukan penyesatan politik dan pemikiran, bahwa siapa saja yang menentang sistem republik adalah pengkhianat bangsa, dan harus dihukum mati. Akhirnya, berbagai teror dilakukan oleh Kemal Pasha untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Pada saat yang sama, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing sehingga harus dienyahkan.
Setelah situasinya kondusif, Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional, dengan draft keputusan yang sudah di tangan. Tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, Kemal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem khilafah dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Kamal Attaturk, la‘natu Allâh ‘alayh.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan, bahwa faktor utama yang menyebabkan kemunduran dan hancurnya Khilafah Utsmaniah tak lain adalah buruknya pemahaman keislaman umat Islam dan kesalahan dalam menerapkan Islam pada waktu itu. Dari kedua faktor inilah, persoalan-persoalan derivat lainnya lahir dan berkembang. Akhirnya, berbagai konspirasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis Barat dengan mudah mendapatkan tempat. Inilah yang juga menjadi pintu masuknya orang-orang non-Muslim, termasuk mata-mata asing, di dalam negeri, sehingga gerakan misionaris bergerak dengan leluasa di negeri-negeri Islam, sembari menyebarkan racun nasionalisme dan patriotisme. Dari sinilah, gerakan-gerakan nasionalisme dan patriotisme, yang menuntut kemerdekaan negeri mereka, yang notabene akan menyebabkan wilayah mereka terlepas dari Khilafah Islam itu bermunculan. Karena faktor yang sama, usaha mulia dan brilian Sultan Abdul Hamid II melalui Pan-Islamisme-nya pun kandas di tangan para anggota Free Masonry, yang notabena adalah putra-putri umat Islam.
Lepasnya wilayah Islam, satu persatu dari negara induk menyebabkan lemahnya kekuasaan Khilafah Utsmaniah sehingga yang tersisa hanya Turki. Dengan mundurnya taraf pemikiran politik umat dan penguasa pada saat itu, upaya Inggris, Prancis, dan Rusia untuk menyeret Khilafah Utsmaniah dalam Perang Dunia I pun tak terbendung. Kekalahan pihak Jerman-Utsmaniah ini menyebabkan Khilafah Utsmaniah tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara pemenang perang. Akhirnya, tinggal sekali pukulan telak, institusi yang telah rapuh ini telah cukup untuk diruntuhkan. Eksekusi itu diserahkan pada Markas Istambul, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai eksekutornya. [Hizbut Tahrir Online]
Sejarah Turki Utsmani dimulai dengan peristiwa agung, yang notabene menunjukkan kepahlawanan dan kesatriaan mereka.
imagePada pertengahan abad ke-13 M, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah, yang telah dikalahkan oleh Mongol —di bawah pimpinan Artoghul, kepala suku Turki Utsmani— menyusuri Asia Tengah, berdekatan dengan Ankara.
Ketika mereka menyaksikan dua kelompok berperang, yaitu Kekaisaran Romawi dengan Dinasti Saljuk Rum, yang berpusat di Iconium di bawah pimpinan Sultan ‘Alauddin, maka para pemuka kabilah kecil ini tak punya pilihan lain, kecuali melibatkan diri dalam peperangan ini, karena dorongan naluri berperang mereka demi melindungi pihak yang lemah, sehingga Artoghûl dan sekutunya (Sultan ‘Alâ’uddîn) yang lemah tersebut menuai kemenangan. Kabilah kecil dan tokohnya, Arthaghul, inilah yang merupakan cikal bakal Turki Utsmani. Dialah bapak Utsman, yang namanya kemudian digunakan untuk menyebut negara yang dibangunnya.
Setelah Artoghul meninggal dunia pada tahun 1288 M, anak tertuanyalah yang kemudian menggantikannya. Dialah Utsman. Utsman dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai keberanian luar biasa untuk mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan ‘Alauddin untuk mengangkatnya menjadi pemimpin dan menjadikannya sebagai penguasa yang independen di semua wilayah yang telah ditaklukkannya.
Pada tahun 1300 M, Mongol telah menyerang Daulah Saljuk di Asia Kecil, dan berhasil menghancurkannya. Sultan Alauddin kemudian meninggal, lalu tiap emir melepaskan diri dengan wilayahnya sendiri-sendiri; Utsman pun akhirnya memisahkan diri dan mempunyai kekuasaan tersendiri. Dari sanalah kekuasaannya sedikit demi sedikit berkembang hingga beliau mendengar penaklukan Bursa, ketika beliau tengah terbaring menjelang kematiannya. Utsman memberikan perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan sehingga namanya menjulang, dan negaranya pun menjadi besar. Namanya begitu dikenal dan disebut-sebut di kalangan para pemimpin sehingga dia disebut sebagai pendiri negaranya. Karena itu, negaranya dinisbatkan kepada dirinya.
Pada tahun 1336 M, Utsman meninggal, kemudian digantikan oleh puteranya, Ourkhan, yang memang telah dilatih dengan berbagai kegiatan peperangan dan pemerintahan, hingga berhasil menguasai Bursa, dan menjadikannya sebagai ibokuta bagi negara baru ini. Dengan manuver inilah, keluarga Utsman telah mendekati Konstantinopel, ibukota Bizantium.
Sebelum perang di antara kedua pemerintahan ini berlangsung —yang satu negara muda, kuat, dan berambisi untuk mengembangkan kekuasaannya; sedangkan yang satu lagi negara tua, yang mulai merosot dan sebelum sampai ke Konstantinopel, Ourkhan terlebih dulu menduduki Izmir. Dia melihat pentingnya dilakukan sejumlah pembenahan, yang kelak akan mempunyai pengaruh langsung bagi kemenangan yang akan diraih Turki Utsmani, pertama-tama di Asia Kecil, kemudian di Eropa. Dia menaklukkan Nicomedia (Izmit) dan Nicaea (Iznik) serta negeri-negeri Asia dan Bizantium yang lain. Setelah itu, selama 20 tahun, dia mengokohkan pilar-pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan internal negara, serta mendirikan angkatan bersenjata baru, yang dikenal dengan Inkisyâriyah. Angkatan bersenjata inilah yang dalam kurun waktu cukup lama menjadi penopang kekuatan negara Utsmani, baik dalam peperangan maupun penaklukan.
Ketika Muhammad II bin Murad II naik tahta, dia segera merealisasikan cita-cita kaum Muslim sejak zaman permulaan Islam untuk menaklukkan Konstantinopel hingga cita-cita itu benar-benar berhasil diwujudkan pada tahun 857 H/1453 M. Akhirnya, dia dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih (Muhammad sang Penakluk), dan tak lama kemudian Islâm bûl —atau yang kini dikenal dengan Istambul— itu menjadi ibukota negara Utsmani, dan menjadi titik tolak untuk melakukan penaklukan ke seluruh Eropa, setelah sebelumnya penaklukan telah terhenti, dengan meninggalnya Abdurrahman al-Ghafiqi, di bagian Selatan Prancis. Tak lama kemudian, Muhammad al-Fatih bertolak untuk menundukkan Murrah, Serbia, dan Bosnia. Beliau juga melakukan tekanan terhadap Italia, Hungaria, dan Jerman. Akhirnya, Tharabzun dan Cremia di kawasan Asia pun tunduk kepadanya. Setelah itu, dia kembali untuk menaklukkan Jerman dan beberapa bagian wilayah Italia, namun dia meninggal dunia sebelum bisa merealisasikan rencananya untuk menaklukkan Rodesia.
Dia kemudian digantikan oleh putranya, Yazid II, yang telah berhasil mewujudkan kemenangan armada laut Utsmani yang pertama, melawan armada Bunduqiyah (Italia). Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Salim I. Dialah yang kemudian menjadi sultan Utsmani yang paling besar dan mendapatkan kemenangan serta penaklukan paling banyak. Dia menyerang Sultan Safawi, Shah Ismail, yang telah berusaha menyebarkan mazhab Syiah, dan mengembangkan kekuasaan Persia hingga ke Irak. Dia berhasil dikalahkan di Galadiran, berdekatan dengan Tibriz. Sultan Salim I kemudian menduduki Diyarbakar dan Kurdistan, yang merupakan langkah awal untuk menaklukkan Syam dan Mesir, seiring dengan kemenangannya di Maraj Dabiq dan Raidaniyah. Pada saat itu, Kekhilafahan Islam secara syar‘î telah berpindah ke tangannya, setelah Khalifah al-Mutawakkil Alallah, Khalifah Abbasiyah terakhir di Mesir, menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I pun resmi menjadi khalifah kaum Muslim di seluruh dunia sejak tahun 923 H/1517 M. Dia kemudian meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga telah menyerahkan kunci-kunci dua tanah suci, Makkah dan Madinah, kepadanya.
Setelah itu, dia digantikan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Era kepemimpinannya dianggap sebagai era Kekhilafahan Utsmani yang paling jaya berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara Khilafah Utsmani telah meninggalkan jauh negara-negara Eropa, di bidang militer, sains, dan politik. Sulaiman juga telah berhasil menaklukkan Belgrade dan mengambil Rodesia dari pasukan berkuda Santo (Karel Agung) Yohana. Dia menuai kemenangan atas Hongaria dalam pertempuran Mouhackz, serta berhasil menaklukkan Armenia dan Irak, hingga armada laut Khilafah Utsmaniah disegani di seluruh perairan laut; mulai dari Laut Putih, Laut Merah, hingga Samudera Hindia —meskipun kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan berkuda Santo Yohana, penguasa kepulauan Malta. Kepulauan ini merupakan pemberian Charles V, ketika mereka diusir oleh tentara Khilafah Utsmaniah dari Rodesia pada tahun 1522 M.
Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Sulaiman al-Qanuni merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Hanya dalam waktu 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayap kekuasaannya dari Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Makkah hingga Budapest di satu sisi dan dari Baghdad hingga ke Aljazaer di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam pun jatuh ke tangannya. Sebagian besar Kerajaan Austria dan Hongaria pun jatuh ke tangannya. Kekuasaan mereka sampai di bagian utara Afrika dari arah negeri Syam hingga perbatasan Marokesh. Setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia pada tahun 974 H/1566 M, negara mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.
Realitas Politik Dalam Dan Luar Negeri Khilafah Ustmaniah Menjelang Keruntuhannya
Politik dalam negeri di sini, maksudnya adalah penerapan hukum-hukum Islam oleh negara di dalam negeri, ketika negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya; mengatur muamalah, menegakkan hudûd, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar dan ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Islam.
Dalam hal ini, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniah. Pertama, faktor buruknya pemahaman Islam. Kedua, faktor kesalahan dalam menerapkan Islam. Sebenarnya, buruknya pemahaman dan kesalahan dalam menerapkan Islam ini bisa diperbaiki ketika Khilafah Utsmaniah dipegang oleh orang yang kuat dengan keimanannya yang tinggi, namun sayangnya kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman, yang dijuluki al-Qânûni, karena jasanya mengadopsi undang-undang (al-qânûn) sebagai sistem yang diterapkan dalam Khilafah Utsmaniah, yang ketika itu juga seorang khalifah yang sangat kuat, justru menyusun undang-undang berdasarkan mazhab tertentu, yaitu mazhab Hanafi, dengan kitab Multaqâ al-Abhur (Pertemuan Berbagai Lautan)-nya yang ditulis Ibrahim al-Halabi (w. 1549 M). Padahal, Khilafah Islam bukanlah negara mazhab. Dengan kata lain, semua mazhab Islam seharusnya mempunyai tempat di dalam negara dan bukan hanya satu mazhab. Dengan tidak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk melakukan perbaikan, pemahaman Islam yang buruk dan penerapan Islam yang salah selama ini tidak pernah diperbaiki. Sebagai contoh, dengan diadopsinya undang-undang oleh Sultan Sulaiman, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, namun justru kasus ini tampak tak tersentuh oleh undang-undang. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, atau lemah. Sebut saja kasus Sultan Musthafa I (1026 H/1617 M), Utsman II (1026-1031 H/1617-1621 M), Murad IV (1023-1049 H/1622-1640 M), Ibrahim bin Ahmad (1049-1058 H/1639-1648 M), Muhammad IV (1058-1099 H/1648-1687 M), Sulaiman II (1099-1102 H/1687-1690 M), Ahmad II (1102-1106 H/1690-1694 M), Musthafa II (1106-1115 H/1694-1702 M), Ahmad III (1115-1143 H/1703-1730 M), Mahmud I (1143-1167 H/1703-1727 M), Utsman III (1168-1171 H/1758-1761 M), Musthafa III (1171-1187 H/1757-1773 M), dan Abdul Hamid I (1187-1203 H/1773-1788 M). Inilah yang kemudian mendorong pihak militer, Inkisyâriyah —yang dibentuk oleh Sultan Ourkhan— kala itu melakukan kudeta; masing-masing pada tahun 1525, 1632, 1727 dan 1826 M. Akhirnya, Inkisyâriyah dibubarkan tahun 1241 H/1785 M. Di samping itu, kemajemukan rakyat, baik dari segi agama, etnik, maupun mazhab memerlukan penguasa yang kuat, baik secara intelektual maupun yang lain. Jadi wajar, tampilnya penguasa yang lemah ini pada akhirnya memicu terjadinya gerakan sparatisme, seperti yang dilakukan oleh kaum Druz yang dipimpin oleh Fakhruddin bin al-Ma‘ni.
Inilah yang juga menyebabkan politik luar negeri Khilafah Islam, yaitu dakwah dan jihad yang bertujuan untuk melakukan penaklukan, telah terhenti sejak abad ke-17 M. Berhentinya penaklukan ini juga menyebabkan jumlah pasukan Inkisyâriyah semakin membesar, melebihi pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara semakin merosot. Kenyataan ini menyebabkan ekonomi Khilafah Utsmaniah terpuruk, ditambah banyaknya praktik suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatan mereka untuk menumpuk kekayaan dan menjilat Sultan. Ditambah dengan menurunnya pendapatan pajak yang dipungut dari komoditas dari Timur Jauh yang melintasi wilayah Utsmaniah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga komoditas tersebut bisa diekspor langsung ke Eropa. Semua ini menyebabkan mata uang Utsmaniah tertekan, sementara sumber pendapatan negara, seperti bahan tambang, tidak mampu menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.
Pada paruh kedua abad ke-16 M, telah terjadi krisis moneter, ketika emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru (Amerika) melalui kolonial Spanyol. Mata uang Utsmaniah ketika itu benar-benar terpuruk; inflasi melambung. Mata uang Barah diluncurkan oleh Khilafah Utsmaniah pada tahun 1620 M tetap tidak berhasil menyelesaikan inflasi. Kemudian, dikeluarkan pula uang Qisry pada abad ke-17 M. Faktor-faktor ekonomi inilah yang menjadi sebab pasukan Utsmaniah di Yaman melakukan pemberontakan pada paruh kedua abad ke-16 M. Dengan kehidupan pejabat yang korup seperti itu, akhirnya negara harus menanggung utang sebesar 300 juta lira.
Dengan tidak dijalankannya politik luar negeri sesuai dengan hukum Islam, yaitu dakwah dan jihad, mafhûm jihad sebagai metode untuk mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak kaum Muslim, termasuk para khalifahnya. Ini terlihat dengan jelas pada tindakan Sultan Abdul Hamid Khan ketika meminta syaikh al-Azhar agar membacakan Shahîh al-Bukhâri di al-Azhar supaya Allah memenangkan Sultan atas Rusia dalam peperangan yang berlangsung pada bulan Rajab tahun 1203 H. Sultan kemudian meminta Pasha (Gubenur) di Mesir kala itu agar memilih sepuluh ulama dari berbagai mazhab untuk membaca Shahîh al-Bukhâri setiap hari.
Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihatnya sebagai awal dari masalah ketimuran (al-mas’alah as-syarqiyyah), hingga abad ke-16 M, saat terjadinya penaklukan sebagian besar wilayah Balkan, seperti Bosnia dan Albania, serta Yunani dan kepulauan Ionia. Masalah ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama, antara sesama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakanya Konferensi Westavalia tahun 1667 M. Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Memang, setelah kekalahan Khilafah Utsmaniah atas Eropa (Paus Paulus V, Spanyol, Hungaria dan Perancis) dalam Perang Lepanto tahun 1571 M, Khilafah nyaris hanya mempertahankan wilayahnya. Kelemahan Khilafah Utsmaniah pada abad ke-17 M itu juga dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Utsmaniah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dengan Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M, dan semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).
Menghadapi kemerosotan tersebut, Khilafah Utsmaniah sebenarnya telah melakukan reformasi (ishlâh) sejak abad ke-17 M, yang diteruskan pada abad-abad berikutnya. Namun, lemah pemahaman Islam justru telah menyebabkan reformasi ini gagal. Sebab, ketika itu para penguasa Khilafah Utsmaniah tidak bisa membedakan antara hadhârah dan madaniyah; antara sains/teknologi dan tsaqâfah. Kelemahan para penguasa ini dimanfaatkan untuk membentuk struktur baru dalam negara, yang ketika itu dikenal dengan shadr al-a‘zham (perdana menteri). Struktur seperti ini tidak dikenal dalam sejarah Khilafah Islam, kecuali setelah terpengaruh dengan tradisi demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh Khilafah Islam. Pada saat yang sama, para penguasa dan juga syaikh al-Islâm ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi melalui fatwa-fatwa syaikh al-Islâm yang penuh kontroversi. Bahkan, dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M semakin mengokohkan tsaqâfah Barat, setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti Undang-undang Acara Pidana (1840 M), dan Undang-undang Dagang (1850 M), ditambah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.
Di dalam negeri, ahli dzimmah —khususnya orang Kristen— yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Bahkan, kemudian hak-hak istimewa inilah yang akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing dengan jaminan perjanjian. Masing-masing, antara Khilafah Utsmaniah dan Bizantium (1521 M) serta Prancis (1535 M) dan Inggeris (1580 M). Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris yang mulai melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah, mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M, dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban intellectual leadership mereka di Dunia Islam, disertai dengan serangan-serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan center of the Oriental Studies (pusat kajian ketimuran).
Jadi, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai dunia Islam, Islam —meminjam istilah Imam al-Ghazali— sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk meraih tujuan yang pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan yang kedua, mereka sengaja menghembuskan paham nasionalisme, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniah, dengan sebutan the Sick Man (orang yang sakit). Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniah lumpuh, sehingga dengan mudah bisa dijatuhkan dengan sekali pukulan, maka dilakukan upaya intentif untuk memisahkan wilayah Arab dan wilayah lain dari Khilafah Utsmaniah. Dari sinilah, lahir gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Bahkan, gerakan-gerakan keagamaan juga tak luput dari eksploitasi, seperti kasus Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Sa‘ud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dan sekitarnya, yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan oleh Inggris melalui gerakan kesukuan. Meskipun demikian, laju gerakan ini di beberapa wilayah akhirnya berhasil dibendung oleh Khilafah Utsmaniah melalui Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang —ternyata juga agen Prancis— didukung oleh Prancis. Sementara itu, di wilayah Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan, sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20, seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan. Begitulah, akhirnya Khilafah Utsmaniah kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa akhirnya hanya Turki.
Konspirasi Barat Dan Yahudi Menghancurkan Khilafah
Seperti telah dimaklumi, nasionalisme dan sparatisme yang telah dipropagandakan oleh negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia sengaja dilakukan untuk menghancurkan Khilafah Islam. Keberhasilan mereka menggunakan sentimen kebangsaan dan sparatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorong mereka untuk menggunakan cara yang sama di seluruh wilayah Khilafah Islam. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di wilayah Arab dan Turki. Sementara itu, kedutaan besar Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis Khilafah Islam yang lain —seperti Baghdad, Damaskus, Beirut, Kaero dan Jeddah— telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, telah dibangun dua markas, Beirut dan Istambul. Markas Beirut memainkan peranan jangka panjang, yaitu mengubah putra-putri umat Islam agar menjadi kafir serta mengubah sistem Islam menjadi sistem kufur. Sedangkan markas Istambul memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul Khilafah Islam dengan telak.
Kedutaan-kedutaan negara Eropa juga mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo, dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai oleh Rafiq al-‘Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup di tengah orang-orang Arab yang cenderung memperjuangkan nasionalisme. Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab telah mengadakan kongres di Paris, dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.
Sementara itu, di Markas Istambul, negara-negara Eropa tidak hanya puas dengan merusak putra-putri umat Islam di sekolah-sekolah dan universitas-universitas melalui propaganda. Mereka ingin memukul Khilafah Islam dari jarak dekat dengan telak. Caranya adalah dengan mengubah sistem pemerintahan Islam dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan ala Barat dan hukum-hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan oleh Rasyid Pasha, menteri luar negeri zaman pemerintahan Abdul Majid I, pada tahun 1839 M. Tahun yang sama, Honourable Script —yang dikenal dengan dengan Khalkhanah— yang dijiplak dari perundang-undangan Eropa diperkenalkan. Pada tahun 1855 M, negara-negara Eropa, khususnya Inggris, telah memaksa Khilafah Utsmaniah untuk melakukan amandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Midhat Pasha, salah seorang anggota Free Masonry, pada tanggal 1 September 1876 M diangkat menjadi Perdana Menteri. Midhat membentuk panitia Ad Hoc untuk menyusun UUD, sebagaimana yang dikehendaki oleh Inggris. Komisi ini berhasil menyusun UUD berdasarkan Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II, dan Sublime Port pun tidak bersedia melaksanakannya, karena dinilai bertentangan dengan Islam. Medhat Pasha pun akhirnya dipecat sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1908 M, Turki Muda yang berpusat di Salonika —pusat komunitas Yahudi Dunamah— melakukan pemberontakan. Khalifah dipaksa oleh Turki Muda, yang menjalankan hasil keputusan Konferensi Berlin, untuk mengumumkan UUD yang diumumkan oleh Turki Muda di Salonika, dan tanggal 17 Nopember 1908 merupakan tanggal pembukaan parlemen yang pertama dalam Khilafah Utsmaniah. Bekerjasama dengan syaikh al-Islâm, Sultan Abdul Hamid II akhirnya dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak saat itulah, sistem pemerintahan Islam telah berakhir.
Namun, Inggris tampaknya belum puas sebelum menghancurkan Khilafah Utsmaniah secara total. Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kemal Pasha, seorang agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu akhirnya menjalankan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam. Pada tahun 1919 M, dia menyelenggarakan Konggres Nasional di Sivas, yang berhasil menelorkan Deklarasi Sivas. Deklarasi ini mencetuskan kemerdekaan Turki dan negeri-negeri Islam yang lain dari penjajah, sekaligus melepaskan negeri-negeri tersebut dari Khilafah Utsmaniah. Irak, Syria, Palestina, Mesir, dan lain-lain kemudian mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga masing-masing menjadi negara merdeka. Pada saat itulah, sentimen kebangsaan semakin mengental, seiring dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan-Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
Perseteruan Antara Mustafa Kemal Dan Khalifah
Sejak tahun 1920 M, Kemal Pasha telah menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah Inggris berhasil menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara, dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan Khalifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan Khalifah dan sebaliknya memihak kaum nasionalis. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional, yang menobatkan dirinya sebagai ketuanya. Karena itu, pada saat itu ada dua pemerintahan; pemerintahan Khilafah di Istambul, dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional yang berpusat di Ankara. Meski kedudukannya semakin kuat, Kemal Pasha tetap tidak berani membubarkan Khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan draft yang mengatur pemisahan antara Khilafah dengan kesultanan (pemerintahan). Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, draft Kemal Pasha ini ditolak. Kemal Pasha pun mencari alasan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Nasional ini. Caranya adalah dengan melibatkan Dewan Perwakilan Nasional ini dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah krisis memuncak, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Kemal Pasha sebagai ketua Parlemen, yang diharapkan bisa menyelesaikan kondisi kritis tersebut.
Setelah resmi dipilih menjadi ketua parlemen, Kemal Pasha mengumumkan kebijakannya; mengubah sistem khilafah dengan republik, yang dipimpin seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum. Pada tanggal 29 Oktober 1923 M, Kemal Pasha dipilih oleh Parlemen menjadi presiden Turki yang pertama. Namun, karena track record Kemal Pasha yang dikenal buruk di mata kaum Muslim, ambisinya untuk membubarkan Khilafah Islam ini tidak mulus. Mustafa Kemal Pasha dianggap murtad, dan rakyat pun mendukung Sultan Abdul Majid, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tidak menyurutkan langkah Kemal Pasha. Justru sebaliknya, dia melancarkan serangan balik, dengan melakukan penyesatan politik dan pemikiran, bahwa siapa saja yang menentang sistem republik adalah pengkhianat bangsa, dan harus dihukum mati. Akhirnya, berbagai teror dilakukan oleh Kemal Pasha untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Pada saat yang sama, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing sehingga harus dienyahkan.
Setelah situasinya kondusif, Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional, dengan draft keputusan yang sudah di tangan. Tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, Kemal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem khilafah dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Kamal Attaturk, la‘natu Allâh ‘alayh.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan, bahwa faktor utama yang menyebabkan kemunduran dan hancurnya Khilafah Utsmaniah tak lain adalah buruknya pemahaman keislaman umat Islam dan kesalahan dalam menerapkan Islam pada waktu itu. Dari kedua faktor inilah, persoalan-persoalan derivat lainnya lahir dan berkembang. Akhirnya, berbagai konspirasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis Barat dengan mudah mendapatkan tempat. Inilah yang juga menjadi pintu masuknya orang-orang non-Muslim, termasuk mata-mata asing, di dalam negeri, sehingga gerakan misionaris bergerak dengan leluasa di negeri-negeri Islam, sembari menyebarkan racun nasionalisme dan patriotisme. Dari sinilah, gerakan-gerakan nasionalisme dan patriotisme, yang menuntut kemerdekaan negeri mereka, yang notabene akan menyebabkan wilayah mereka terlepas dari Khilafah Islam itu bermunculan. Karena faktor yang sama, usaha mulia dan brilian Sultan Abdul Hamid II melalui Pan-Islamisme-nya pun kandas di tangan para anggota Free Masonry, yang notabena adalah putra-putri umat Islam.
Lepasnya wilayah Islam, satu persatu dari negara induk menyebabkan lemahnya kekuasaan Khilafah Utsmaniah sehingga yang tersisa hanya Turki. Dengan mundurnya taraf pemikiran politik umat dan penguasa pada saat itu, upaya Inggris, Prancis, dan Rusia untuk menyeret Khilafah Utsmaniah dalam Perang Dunia I pun tak terbendung. Kekalahan pihak Jerman-Utsmaniah ini menyebabkan Khilafah Utsmaniah tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara pemenang perang. Akhirnya, tinggal sekali pukulan telak, institusi yang telah rapuh ini telah cukup untuk diruntuhkan. Eksekusi itu diserahkan pada Markas Istambul, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai eksekutornya. [Hizbut Tahrir Online]
Label:
Khilafah